Covid-19, Gagalnya Kapitalisme dan Urgensi Khilafah

Oleh : Desti Ritdamaya
Muslimah Bangka Belitung

Dalam tiga bulan terakhir, dunia dirundung kemelut Covid-19. Tenaga manusia pun terkuras untuk mengatasi pandeminya. Covid-19 semakin menunjukkan taringnya, menjalar di 200 negara. Jumlah kasus infeksi di seluruh dunia per Kamis (2/04/2020) mencapai 935.817. Negara dengan kasus terbanyak adalah Amerika Serikat, disusul Italia, Spanyol, China dan Jerman dengan lebih dari 60.000 kasus. 

Di Indonesia grafik kasus Covid-19 terus menanjak dengan cepat. Berdasarkan data yang tercatat melalui sumber resmi pemerintah pada Kamis (2/04/2020), jumlah pasien yang positif Covid-19 sebanyak 1.790 orang. Jumlah pasien yang sembuh 112 orang dan meninggal dunia 170 orang. Di Asia Tenggara Indonesia menjadi negara dengan angka kematian tertinggi. Bahkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyatakan case fatality rate (CFR) Indonesia menduduki posisi ke-2 tertinggi di dunia (Detik.com, Maret 2020) . 
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sendiri sudah dinyatakan masuk zona merah. Karena pasien positif bertambah menjadi 2 orang. Pasien kedua warga Kabupaten Bangka Selatan meninggal beberapa hari lalu. Sebelum hasil pemeriksaan labaoratorium Kemenkes keluar.  Kamis (2/04/2020) terkonfirmasi 513 orang dengan status Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan 28 orang dengan status Pasien Dalam Pengawasan (PDP) (RakyatPos.com, April 2020).

Bertambahnya korban Covid-19 dari hari ke hari, semakin menimbulkan keprihatinan, ketakutan dan kepanikan di tengah-tengah masyarakat. Banjir media melansir kritik pedas yang dilayangkan para politisi, pakar kesehatan, hukum tata negara kepada pemerintah. Terkait lalai dan gagapnya pemerintah dalam penanganan Covid-19. Pemerintah lalai melakukan tindakan antisipasi serbuan Covid-19, sejak kasus mencuat pertama kali di Wuhan China pada akhir tahun 2019. Sejak awal pemerintah terkesan “meremehkan”. Malahan beberapa pejabat pemerintah berguyon menanggapi kasus tersebut. Seperti “virus corona tidak masuk Indonesia karena izinnya susah”, “Indonesia kebal corona karena setiap hari makan nasi kucing”, atau “corona kan sudah pergi..corona mobil ?”.

Di tengah ramai upaya negara lain untuk lockdown, pemerintah justru melakukan tindakan kontroversi. Seperti memberikan insentif untuk maskapai penerbangan, diskon tiket dan tarif hotel bagi wisatawan domestik dan asing sebesar 30 persen. Alasannya untuk mendorong pariwisata di Indonesia. Selain itu “membiarkan” 49 TKA ilegal dari Cina masuk ke Kendari lewat bandara Haluoleo. Dan yang terbaru “membiarkan” 39 TKA Cina masuk ke Kabupaten Bintan Riau tanpa melalui proses karantina (Republika.com, Maret 2020).

Gagapnya pemerintah dalam menghadapi Covid-19, dilihat dari sengkarutnya tindakan pencegahan dan penanganannya. Ditinjau dari stimulus fiskal, pemerintah hanya mengalokasikan anggaran untuk Covid-19 kurang dari 1 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Yaitu sebesar Rp 118,3 triliun-Rp 121,3 triliun (Kompas.com, Maret 2020). Minimnya dana menyebabkan banyak kendala fasilitas dan perlengkapan kesehatan dalam penanganannya. Seperti keterbatasan ruang paasien, tenaga medis (dokter dan perawat), Alat Pelindung Diri (APD) dan sebagainya. Padahal tenaga medis paling beresiko terinfeksi Covid-19. Sudah banyak tenaga medis yang terjangkit Covid-19 bahkan ada yang meningggal dunia. Ultimatum mogok untuk menangani pasien Covid-19 pun dilayangkan oleh ikatan tenaga medis. Mogok akan dilakukan apabila tidak ada jaminan ketersediaan APD yang sesuai bagi mereka. 
Berbagai usaha pemerintah lakukan untuk menutupi “kekurangan” anggaran penanganan Covid-19. Termasuk membuka pintu donasi berupa uang atau barang dari berbagai pihak baik dalam dan luar negeri. Langkah pemerintah ini menjadi pembicaraan panas di media sosial. Ada yang mendukung tetapi yang menolak lebih banyak. Mengutip pernyataan DPP PKS, Aboe Bakal Alhabsyi yang dimuat dalam Akurat.com. Menurutnya pemerintah bekerja seperti lembaga sosial. Selama ini pemerintah sudah membebani rakyat dengan pajak dan cukai. Anehnya lagi pemerintah masih bersikukuh memindahkan ibu kota. Anggaran untuk pindah ibu kota ada, tetapi untuk penanganan Covid-19 harus saweran dari rakyat. 

Desakan berbagai pihak kepada pemerintah untuk segera memberlakukan karantina wilayah (lockdown), awalnya ditanggapi dengan “sentimen”. Jubir Pemerintah RI untuk Covid-19 Achmad Yurianto (18/03/2020), menyatakan bahwa opsi lockdown untuk memberantas penyebaran virus corona di tanah air terlalu ekstrem. Selaras juga dengan pernyataan Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo (22/03/2020), bahwa pemerintah meminta semua pihak menghentikan polemik lockdown. Fokus pemerintah hanya menjalankan social distancing (Merdeka.com, Maret 2020). Bahkan “mengancam” jika ada kepala daerah yang memutuskan untuk lockdown sendiri dan tidak mau berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Kepala daerah tersebut akan dikenakan sanksi pidana. Tetapi adanya lockdown lokal oleh beberapa kepala daerah dalam seminggu terakhir ini, menjadi bukti buruknya sinkronisasi pemerintah pusat dan daerah. 

Selasa (31/03/2020), Presiden Jokowi mengumumkan menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dan telah menyiapkan skenario dari ringan sampai terburuk dalam menghadapi pandemi ini. Salah satunya skenarionya adalah menerapkan darurat sipil. Kontan pernyataan ini menjadi blunder. Karena faktanya kondisi negara sekarang tidak dalam keadaan darurat keamanan (pemberontakan atau ancaman politik berbahaya). Ketua Yayasan LBHI Asfinawati curiga ada maksud lain dalam pemberlakuan darurat spil. Kemungkinannya untuk menggolkan agenda seperti RUU Cipta Kerja atau Ibu Kota Baru. Komisioner Komisi Nasional HAM Amiruddin Al Rahab pun menyatakan bahwa darurat sipil berpotensi pengingkaran HAM terutama hak-hak sipil dan politik (Tempo.com, April 2020). Sekjend LBH Pelita Umat Chandra Purna, mengatakan dengan darurat sipil pemberlakuan desakan karantina wilayah berpotensi tidak terjadi. 

Dalam survei kolaboratif 12 institusi dunia (termasuk Harvad dan Cambridge), Indonesia menempati posisi terburuk menurut persepsi publik terkait penanganan Covid-19 dibandingkan negara lain (detik.com, Maret 2020). Dengan model penanganan seperti ini, kedepan kondisi Indonesia sangat “mengkhawatirkan”. Karena Indonesia memiliki populasi yang sangat besar dan berpotensi terpapar infeksi semakin buruk. Publik menilai rakyat harus berjuang sendiri menghadapi pandemi yang mengancam nyawa ini. Publik mempertanyakan peran dan fungsi struktur negara dalam menjaga kesehatan dan nyawa rakyat. Negara hanya hadir saat menarik pajak dari rakyat, tetapi “absen” saat ditagih “political comitment” nya. Wajar muncul ungkapan ada dan tiadanya negara sama saja. Bahkan menurut pandangan tokoh senior Tje-Tje Hidayat Padmawinata Indonesia hari ini 'A Nation without a leader’, krisis kenegarawan" (Vivanews.com, Maret 2020). 

Akar Masalah
Buruknya penanganan Covid-19 semakin memperjelas wajah kapitalisme pemerintah sekarang. Bahwa pemerintah dalam pelayanan dan pengurusan rakyatnya, landasannya adalah materi dan manfaat. “Berat hati” nya pemerintah untuk lockdown karena alasan ekonomi. Beberapa pejabat pemerintahan menyatakan lockdown akan menyebabkan stabilitas ekonomi terganggu, pertumbuhan ekonomi terlambat bahkan berhenti. Pemerintah juga sengaja “lari” dari kewajiban memenuhi kebutuhan dasar rakyat terutama pangan apabila lockdown diberlakukan (sesuai UU Nomor 6 tahun 2018). Pemenuhan kebutuhan rakyat dianggap “membebani” anggaran di tengah-tengah kondisi defisitnya APBN dan utang yang semakin menggunung. Tetapi pemerintah begitu mudah menggelontorkan anggaran hingga 300 triliun rupiah di pasar modal. Sebagai upaya intervensi pasar guna menguatkan nilai tukar rupiah yang hampir terjun bebas menyentuh Rp. 16.706,50. Dalam pandangan pemerintah sekarang yang menjadi prioritas utama adalah keadaan ekonomi (materi) bukan nyawa rakyat. Urusan nyawa rakyat “diserahkan” pada seleksi alam (herd immunity). Bagi yang memiliki imunitas tubuh kuat yang mampu bertahan. Sedangkan yang rentan atau tidak memiliki imunitas akan menjadi korban yang tidak terelakkan.

Penanganan Covid-19 sejatinya masuk dalam otoritas kesehatan, malah tunduk dalam sudut pandang ekonomi. Kondisinya diperparah lagi dengan paradigma pelayanan kesehatan (termasuk penjagaan nyawa manusia) dalam sistem kapitalisme. Pelayanan kesehatan baru tegak berdiri apabila mendatangkan materi (profit). Apabila mengurangi/menguras materi (rugi) maka tidak akan ada “jaminan” untuk dilaksanakan pelayanan tersebut. Kesehatan menjadi komoditi yang diperdagangkan. Nilai-nilai kemanusiaan dan empati runtuh tergeser oleh pemuasan “syahwat” materi. 

Penerapan sistem kapitalisme tidak lepas dari paham sekuler yang mengesampingkan aturan agama dalam kehidupan. Dalam pelayanan dan pengurusan rakyat landasannya bukan karena menjalankan amanah rakyat yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Tidak ada rasa berdosa saat mengabaikan kewajiban pemenuhan hak-hak mendasar rakyat (termasuk kesehatan). Sehingga buruknya pelayanan dan pengurusan rakyat (termasuk “pembiaran” terhadap nyawa yang melayang) seperti sekarang adalah buah dari sistem sekuler kapitalistik. 

Solusi Islam
Penerapan sistem kapitalisme sekuler bertentangan dengan ideologi Islam. Karena ideologi Islam memandang bahwa menjaga jiwa dan akal manusia adalah kebutuhan penting (dharuriyyah). Termasuk dalam menghadapi wabah penyakit menular yang akan mengancam jiwa dan akal manusia. Islam mempunyai langkah preventif dan kuratif menghadapinya sesuai tuntunan Rasulullah SAW. 

Langkah preventif diwujudkan dengan pola hidup bersih dan sehat sebagai bagian dari kepribadian (syakshiah) Islam. Dalam Islam diperintahkan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal dan thayyib. Islam mengharamkan makanan dari hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam. Karena hewan-hewan tersebut terbukti sebaga pembawa penyakit (zoonosis). Islam juga memerintahkan menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan dengan senantiasa bersuci untuk menghilangkan kotoran atau najis. Rasulullah SAW bersabda : “Kebersihan sebagian dari iman” (HR.Al- Tirmidzi). Sehingga kaum muslim tidak mudah terkena penyakit, dapat beribadah kepada Allah dengan baik dan produktif dalam menjalani kehidupannya. Rasulullah SAW bersabda : “Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah” (HR. Muslim). 

Negara berada pada garda terdepan melakukan langkah kuratif apabila wabah penyakit menular melanda kaum Muslim. Dalilnya yaitu hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari.

الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ

Artinya : Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya

Karantina wilayah (lockdown) menjadi wajib dilakukan. Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu” (H.R. Bukhari dan Muslim). Untuk memastikan perintah tersebut dilaksanakan, Rasulullah SAW mendirikan tembok di sekitar daerah yang terjangkit wabah (lockdown). Rasulullah SAW menyampaikan bahwa bagi yang bersabar dan tinggal di rumah mendapat pahala. Sedangkan bagi yang meninggal dunia termasuk mati syahid.

Khalifah Umar bin Khattab mengamalkan hadis Rasulullah SAW di atas, saat mengatasi wabah amawas di daerah Syam. Umar bin Khattab mengarahkan Amr bin Ash (gubernur Syam) untuk memerintahkan penduduk yang sehat segera menyingkir ke bukit-bukit (lockdown). Penduduk diminta saling menjauh satu sama lainnya. Selama lockdown tentu roda ekonomi rakyat tidak bisa berjalan sebagaimana kondisi normal. Sehingga kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) rakyat dijamin oleh negara. Sebagaimana yang dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khattab saat terjadi paceklik di Madinah. Umar bin Khattab meminta bantuan Mesir (provinsi khilafah) untuk mengirimkan bantuan makanan dalam jumlah besar. Lalu Beliau memberikan bantuan makanan tersebut secara cuma-cuma kepada rakyat di Madinah. 

Untuk mengobati rakyat yang terkena penyakit menular, negara menyediakan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai dan mudah diakses tanpa pungutan. Karena Islam memandang kesehatan termasuk kebutuhan dasar rakyat yang bersifat komunal. Di pundak pemimpinlah tanggung jawab untuk memenuhinya melalui mekanisme secara langsung. 

Negara juga mendorong para ilmuwan menemukan jenis obat atau teknik pengobatan yang tepat untuk penyakit menular. Semuanya didasarkan pada perkembangan ilmu dan teknologi. Termasuk vaksin di dalamnya. Sebagaimana dulu metode varolation (cikal bakal vaksinasi) ditemukan pertama kali oleh ilmuwan muslim di masa Khilafah Ustmani untuk mengatasi wabah smaallpox. 

Sudah seharusnya sistem kapitalisme sekuler dibuang ke tong sampah peradaban. Karena terbukti gagal memberikan solusi permasalahan rakyat. Bahkan membawa kesengsaraan dan kenestapaan pada rakyat. Hanya dengan penerapan ideologi Islamlah yang mampu mengatasi permasalahan rakyat dengan tuntas termasuk wabah penyakit menular. Sehingga menjadi kebutuhan mendesak (urgen) bagi rakyat untuk mengembalikan sebuah institusi yang menerapkan ideologi Islam secara kaffah. Yaitu khilafah Islam. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Post a Comment

Previous Post Next Post