BPFA : Janji Manis Pendidikan Untuk Perempuan

Oleh: Sulpiati Alpian
Aktivis Dakwah Kampus

Pendidikan dan perempuan bak kembar identik, keduanya tidak dapat dipisahkan. Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Menurut psikologi pendidikan Reky Martha, pendidikan adalah peluang bagi perempuan untuk mensejahterakan hidupnya. Melalui pendidikan yang tinggi, perempuan dapat memberikan ilmu bagi dirinya dan orang sekitar. Dengan begitu perempuan tidak dipandang rendah, serta mampu berperan dalam berbagai bidang sehingga harga diri dan derajatnya dihormati.

Di Indonesia pendidikan untuk perempuan belum merata, masih banyak perempuan yang belum mengenyam pendidikan yang layak. Hal ini dikarenakan banyaknya kendala terhadap perempuan dalam mengenyam pendidikan, baik faktor ekonomi, kekerasan seksual, pernikahan dini,  maupun faktor sosial yang menganggap rendah eksistensi perempuan hanya di tiga bidang yaitu kasur, dapur dan sumur. 

Survey Pusat Data dan Statistik Pendidikan (PDSP) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) tahun 2013 menunjukkan persentase perempuan pengajar perguruan tinggi sebesar 40,58%, sementara pengejar perguruan tinggi laki-laki sebesar 59,42%. Kecenderungan lebih sedikitnya perempuan peneliti atau doktor tidak hanya ditemukan di Indonesia. Di negara maju macam Amerika Serikat pun, jumlah perempuan penerima gelar doktor pun masih lebih rendah dibanding laki-laki. Survei National Science Foundation pada rentang 2010-2014 menunjukkan, terdapat 72.446 perempuan dan 104.425 laki-laki peraih gelar doktor. (Tirto.id. 18-Agustus-2017)

Ditengah  kemajuan pendidikan perempuan selama 25 tahun terakhir ,berbagai permasalahan pun tetap membelit perempuan saat ini, seperti kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan masih terjadi di banyak wilayah di seluruh dunia. Sebagaimana menurut sebuah laporan yang dirilis 3 Maret dari UNICEF, Entitas PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women), dan Plan International.

Di Indonesia sendiri tingkat kekerasan seksual semakin meningkat, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan -berarti sekitar 881 kasus setiap hari. Angka tersebut didapatkan dari pengadilan agama sejumlah 305.535 kasus dan lembaga mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Menurut pengamatan mereka, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat 9% dari tahun sebelumnya.(BBC. 16/05/2016 ). 


Tingkat kekerasan perempuan semakin masif jumlahnya, maka untuk menyelesaikan persoalan perempuan negara-negara yang terhimpun dalam PBB menawarkan solusi konkret untuk mengatasi problematika perempuan. Pada  tahun 1995, dunia mengadopsi Beijing Declaration and Platform for Action agenda kebijakan paling komprehensif untuk kesetaraan gender dengan visi mengakhiri diskriminasi terhadap wanita dan anak perempuan.

Namun nampaknya selama 25 tahun BPFA diskriminasi dan stereotip  terhadap perempuan masih saja dilakukan. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya tindakan-tindakan kekerasan terhadap perempuan, bahkan tidak terhitung lagi.

Kesetaraan gender yang diperjuangkan pejuang gender, nyatanya bukan solusi ampuh untuk menyelesaikan persoalan perempuan. Angan–angan  pejuang  gender untuk menggapai cita-cita dengan memperjuangkan hak-hak perempuan termasuk dalam pendidikan, nyatanya itu hanya ilusi belaka. Masih saja perempuan  dibungkam dan ditindas hak-haknya.

Kaum perempuan hanya dijadikan eksploitasi semata, dan menjadi alat pendongkrak kemanfaatan  dalam berbagai aspek sehingga perempuan lupa akan kodratnya sebagai wanita. 

Ditambah lagi dalam sistem kapitalisme yang hanya memandang asas kemanfaatan, materi diatas segala-galanya yang menjadikan kaum perempuan lupa akan kewajibanya sebagai awal mula tonggak peradaban. 

Kapitalisme pendidikan telah melahirkan mental perempuan yang jauh dari cita-cita pendidikan yang sebenarnya,  sehingga perempuan dijadikan sebagai praktik pembebasan dan agenda pembudayaan. Dengan kata lain sistem yang sekarang tidak megembangkan pendidikan yang sebenarnya yang menanamkan kecintaan akan ilmu, mengajarkan keadilan, dan anti penindasan dan kekerasan. Bahkan kentara sekali bahwa sistem sekarang lebih menekankan perannya dalam pasar kerja yang tersedia. 

Inilah akibatnya, apabila negara mengadopsi sistem sekuler kapitalistik. Maka peranannya dalam pendidikan hanya akan mewujudkan perempuan-perempuan berpindidikan sekuler kapitalistik. 

Ditambah lagi masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial ekonomi yang dimana status sosialnya lebih tinggi maka merekalah yang layak mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Padahal pendidikan adalah hak bagi setiap warga baik laki-laki dan perempuan. 

Dengan melihat berbagai macam problematika yang sedang menerkam perempuan. Lantas apa solusi yang tepat untuk permasalahan ini? Tentu solusinya bukan lagi berharap pada sistem yang sekarang demokrasi kapitalisme. Pasalnya, demokrasi bukanlah harapan bagi Indonesia, sebab sudah banyak pemasalahan yang ditimbulkan tanpa adanya penyelesaian yang nyata, sistem yang sekarang membungkam dan merugikan perempuan dalam segala aspek. 

Sudah semestinya kita putus dengan sistem sekarang, lalu kembali pada sistem Islam dalam bingkai daulah Khilafah.

Islam memandang bahwa perempuan merupakan sosok yang paling mulia. Perempuan bagaikan mengarungi hamparan lautan luas yang tak berujung, begitu banyak sisi kehidupan perempuan yang menarik untuk ditelaah lebih jauh lagi. Dalam Al-Qur’an terdapat surah khusus yang membahas tentang perempuan yaitu surah An-Nisa.  Artinya kedudukan perempuan sangat dimuliakan oleh Islam. Didalam hadits juga mengatakan”  Dunia adalah perhiasan, dan sebaik baik perhiasan adalah wanita shalihah" (HR. Muslim no 1467).

Islam selain memuliakan perempuan, Allah juga memerintahkan manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu atau menempuh pendidikan. Tidak ada pembeda antara laki-laki dan perempuan, semuanya wajib mencari ilmu. Sebagaiman Rasulullah Saw. bersabda:
“mencari ilmu itu adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan” (HR Ibnu Abdil Barr). 

Pendidikan merupakan hal yang penting  bagi perempuan, sebab perempuan adalah tonggak peradaban. Dengan ilmu yang didapatkan, menjadikan seorang perempuan mampu mendidik peradaban dan  mencetak generasi berkulitas.

Dalam Sistem Khilafah wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan, khususnya oleh wanita, seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik agar para wanita bisa menjalankan perannya yang mulia dengan baik pula. Wajib menjamin keamanan dalam kehidupan publik agar saat wanita keluar rumah untuk menunaikan kewajiban yang dibebankan padanya mereka mendapat ketenangan.

Oleh karena itu perempuan dan pendidikan tidak bisa dipisahkan karena perempuan menjadi central dalam menentukan keberhasilan suatu bangsa, perannya sangat berarti dan kontribusinya tak bisa dipandang sebelah mata. Maka perlindungan terhadap perempuan harus 100%  dan Negara yang akan  menjamin terlaksananya penjagaan  tersebut   dan ini hanya bisa terealisasikan jika islam diterapkan secara kaffah yaitu dengan Sistem Khilafah. 

Hal ini bisa kita flashback di masa kejayaan Islam dalam naungan Khilafah, dengan melihat Perempuan-perempuan revolusioner peradaban. Seperti halnya Fatimah binti Ubaidillah, merupakan seorang ibu hebat yang dengan tangan dinginnya mampu melahirkan ulama fenomenal sepanjang sejarah yaitu imam Syafi’I. Dan Muhammad Alfatih yang terlahir dari didikan seorang perempuan yang hebat. Dengan kemahirannya dalam penguasaan ilmu geografi, ia mampu mengajarkan Al Fatih kecil tentang letak Konstantinopel. Sehingga didikan tersebut sangat bermanfaat bagi Muhammad Al-Fatih dalam penaklukan konstatinopel.

Generasi-generasi terbaik terlahir dari didikan perempuan terbaik, dan itu tidak terlepas dari pendidikan perempuan.  Sebab Islam mmemandang bahwa baik buruknya sebuah negara bisa dilihat dari kualitas pendidikan perempuannya. 

Waallahu a'lam bish shawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post