Oleh : Samsinar
Member Akademi Menulis Kreatif
Ibu adalah guru yang utama dan pertama bagi anak-anaknya. Seorang ibu harus menjadi guru yang hebat. Sebab itulah seorang ibu atau calon ibu harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya, agar ia bisa menjalankan perannya sebagai ibu dan guru bagi anak-anaknya. Hal ini begitu dijunjung tinggi dalam Islam. Menurut pandangan Islam, perempuan adalah ummu wa rabbatul bait yakni perempuan adalah ibu bagi anak dan pengurus rumah.
Ummu wa rabbatul bait maksudnya adalah tugas pokok bagi seorang ibu yakni mendidik anak dan mengatur rumah. Menjadi ibu dengan kedua tugas pokok tersebut adalah kemuliaan bagi perempuan. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam: “Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (HR. Muslim)
Namun, sistem pendidikan dan kesetaraan gender hari ini telah memalingkan fungsi keibuan menuju peran pemberdayaan ekonomi. Perempuan dituntut untuk menempuh pendidikan tinggi untuk kemudian dijadikan sebagai roda perekonomian keluarga. Isu gender telah mengabarkan dan menjanjikan hal manis kepada para perempuan. Perempuan bekerja untuk menyelamatkan perekonomian keluarga. Para perempuan diiming-imingi win-win solution yakni mereka akan diberi solusi saat menghadapi masalah dalam dunia kerja. Misalnya, saat ibu mempunyai bayi, ada pemenuhan fasilitas ibu menyusui disediakan di tempat kerja dengan adanya Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI). Sehingga dengan demikian para ibu akan merasa bahwa kedua tugasnya bisa terpenuhi yakni memenuhi hak anak dan menuntaskan tugas di tempat ia bekerja.
Padahal sesungguhnya hal tersebut hanyalah menjadi bisikan manis dari pemikiran gender. Bagaimanapun juga perempuan adalah manusia biasa. Ia tidak akan mampu menjalankan dua peran sekaligus secara totalitas. Ia tidak akan bisa menjalankan fungsi keibuannya secara totalitas karena separuh waktunya adalah untuk bekerja. Saat seorang ibu harus bekerja di luar rumah, maka perhatian kepada anak dan keluarga tentu saja akan berkurang dan tugasnya di rumah akan terbengkalai.
Isu gender telah menjangkiti pemikiran sebagian besar ibu di Indonesia. Hal ini terbukti pada adanya kesibukan ibu yang lebih mengarah pada persoalan ekonomi. Tanggung jawab perempuan sebagai ibu dan guru bagi anak seringkali terabaikan dan dinomor duakan. Hal yang paling nyata hari ini adalah ibu tak lagi bisa maksimal menjadi guru bagi anaknya. Terlebih lagi kala pandemi melanda dunia yang mengharuskan anak-anak di negeri ini belajar di rumah. Karena sudah menjadi keputusan pemerintah bahwa dalam kurun waktu yang panjang, anak-anak sekolah diliburkan dan ibu menjadi pengawas serta guru bagi anak di rumah. Kondisi ibu yang tiba-tiba harus menjadi guru dan pengawas bagi anak dalam belajar menunjukkan ketidaksiapan kaum ibu menyiapkan bahan pembelajaran bagi anak. Banyak kendala yang dihadapi anak maupun orang tua. Mereka nampak tak siap dengan pandemi yang melanda tiba-tiba dan semakin cepat meluas.
Sejak diputuskannya untuk meliburkan anak sekolah karena pandemi, tidak ada lagi pembelajaran di sekolah selama masa darurat Corona. Semua murid belajar di rumah. Berbagai persoalan pun bermunculan. Anak-anak juga orang tua terutama ibu menjadi stres karena banyaknya tugas dari sekolah yang harus diselesaikan tanpa penjelasan dari guru secara langsung. Otomatis anak-anak akan bertanya kepada ibu. Ibu pun kadangkala tidak memahami pelajaran anak sehingga harus googling terlebih dahulu. Sebagaimana pernyataan seorang wali murid yang dikutip dari Republika.co.id berikut ini,
“Ini anak-anak belajar di rumah orang tua yang sibuk. Aku stres banget nih jadi pengawas. Materinya banyak banget,” ujar Mesya seorang wali murid
“Aduh pusing, mana tugasnya pakai bahasa Inggris semua. Terpaksa aku pakai google translate,” ujar Mesya.
Orang tua murid lainnya Inung mengatakan, “Menjadi pengawas bagi anak yang belajar di rumah memiliki tantangan tersendiri. Yakni, bagaimana disiplin dengan waktu”.
Beberapa kutipan di atas menunjukkan bahwa nampaknya ibu tak siap menjadi guru bagi anak di rumah. Karena memang tak pernah ada edukasi dari negara bahwa penting bagi orang tua khususnya ibu agar selalu mendampingi anak-anak belajar di rumah. Ditambah lagi seruan dari para penyeru kesetaraan gender yang telah menyibukkan kaum ibu bekerja di luar rumah. Sehingga tatkala anak-anak dengan terpaksa harus belajar di rumah, membuat orang tua terutama ibu ikut menjadi stres karena tak ada persiapan.
Hal apapun yang menimpa manusia sebenarnya pasti ada hikmah yang bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mau berpikir. Adanya pandemi yang melanda dunia tentu saja ada banyak hikmah yang bisa kita ambil sebagai pelajaran berharga. Salah satunya adalah bagi ibu. Saatnya ibu belajar memahami tugas dan tanggung jawab bagi ibu di rumah. Ibu mempunyai tugas utama yakni mengurus anak dan menjadi guru bagi anak. Pandemi ini seyogyanya mengembalikan ibu pada posisinya sebagai ummu wa rabbatul bait.
Corona telah memulangkan ibu ke rumahnya dan mengingatkan ibu bahwa tugasnya ada di rumah. Mendampingi anak-anak dalam bertumbuh menghadapi dunia dan menyiapkan bekal untuk akhirat. Wahai kaum ibu, janganlah termakan bisikan manis berisi racun para kaum yang menyerukan kesetaraan gender. Sesungguhnya bisikan-bisikan mereka sangat beracun dan berbahaya. Alih-alih menyelamatkan ekonomi keluarga, yang akan terjadi adalah justru menjauhkan ibu dari keluarga serta menjauhkan wanita pada kodratnya sebagai ibu. Hal tersebut dapat membunuh serta melumpuhkan masa depan anak-anak bangsa ini.
Kini saatnya kaum ibu menjadikan physical distancing sebagai sarana mendekatkan diri pada keluarga dan menanamkan nilai-nilai utama untuk pembentukan kepribadian Islam bagi generasi. Karena hanya dengan menjadikan mereka berkepribadian Islam, mereka akan dapat memahami hakikat hidupnya dan kelak menjadi generasi yang unggul. Unggul dalam perkara dunia dan ahli dalam perkara akhirat.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment