Aroma Oligarki di Balik Solusi Problem Pandemi

By : Susmiyati, M.Pd.

Perekonomian dunia kian melesu sejak dihempas wabah Covid-19. Penyakit yang awalnya dari Wuhan China ini mendunia dan menjadi kasus Pandemi. Seluruh dunia kalang kabut dalam mengatasinya, tak terkecuali Indonesia. Wabah di negeri Zambrut Katulistiwa ini telah menciptakan gelombang PHK secara besar-besaran. Hal ini menambah angka kemiskinan yang sedari awal memang sudah besar.

Merujuk pada Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja sektor formal yang dirumahkan dan di-PHK ada sebesar 1.500.156 orang dari 83.546 perusahaan. Adapun pekerja sektor informal yang ikut terdampak virus Corona sejumlah 443.760 orang dari 30.794 perusahaan.

Bahkan menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ekonomi Indonesia di tengah wabah diprediksi akan menambah jumlah pengangguran baru. Sri menyampaikan skenario paling buruk adalah penambahan angka pengangguran mencapai 5,2 juta orang. (www.jawapos.com17/04).

Pemerintah pun lantas membuat program jaring pengaman sosial lewat 6 jurus. Salah satu dari enam jurus itu adalah proyek memberikan Kartu Prakerja. Tak tanggung-tanggung, dana sebesar 5,6 triliun akan digelontorkan pada proyek ini  dengan menunjuk Ruangguru  sebagai salah satu mitra resminya. Sebuah perusahaan milik Belva Devara Staf Khusus (stafsus) Presiden Jokowi. Ini bukan kali pertama Stafsus milenial  di lingkaran Jokowi berkasus. Sebelumnya,  ada dugaan _abuse of of power_ yang dilakukan oleh Stafsus Andi Taufan Garuda Putra, yang telah mengirimi para camat agar bekerja sama dengan perusahaan miliknya.

Penggelontoran dana pada proyek Kartu Prakerja sebesar 5,6 triliun ini dinilai tidak tepat sasaran. Selain itu, pelatihan kerja secara online tersebut tidak cocok dilakukan pada kondisi saat ini, dimana ekonomi sedang dilanda badai. 

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai bahwa Kartu Prakerja tidak cocok diterapkan saat terjadi badai perekonomian. Yang diperlukan saat ini adalah bantuan langsung untuk memenuhi kebutuhan rakyat miskin akibat PHK, sehingga mereka sanggup melewati masa-masa kritis ini. 

 _Proyek Penanggulangan Wabah, Memihak Korporasi_ 

Defisit APBN  telah menjadikan pemerintah pontang-panting mencari sumber pendanaan untuk penanggulangan wabah ini. Pemangkasan demi pemangkasan terus dilakukan di banyak sektor termasuk memotong tunjangan guru hingga sebesar 3,3 Triliun. Sungguh tak mengenal empati, di saat kondisi pandemi gaji guru yang tak memadai itu malah dipangkas.

Bahkan bukan hanya gaji guru yang dipotong. Sri Mulyani berencana menggunakan semua Dana Abadi Negara untuk menanggulangi dampak Corona, termasuk Dana Abadi Pendidikan. Hal demikian dilakukan untuk membiayai defisit anggaran yang diperkirakan mencapai 5,07 persen PDB atau sekitar Rp 853 triliun.(Bisnis.com, 10/4)

Tak urung, dana haji pun turut dibidik dalam strategi pangkas dana ini. Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Demokrat Nanang Samodra mengusulkan penggunaan dana haji, dengan alasan belum ada tanda-tanda Arab Saudi membuka penyelenggaraan haji.(cnnindonesia.com 13/04)

Bahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, menyampaikan salah satu alasan pembebasan 35 ribu narapidana adalah untuk penghematan dana, yaitu sebesar 260 miliar. Di tengah kesulitan ekonomi rakyat,  pemerintah malah memangkas dana yang hampir kesemuanya berhubungan dengan sektor hajat hidup rakyat.

Ironisnya, pemindahan ibu kota baru yang aroma bisnisnya lebih kental ketimbang manfaatanya bagi umat, yang anggarannya 2 triliun, malah tak disentuh. Begitu pun anggaran infrastruktur sebesar 419,2 triliun, hanya sedikit saja yang dialokasikan pada penanggulangan wabah. Padahal belanja infrastruktur dan pemindahan ibu kota merupakan proyek yang bisa ditunda.

Tampak bahwa kebijakan pemerintah tak berpihak kepada rakyat dan lebih condong ke arah  korporasi. Lihat, bagaimana menteri Keuangan memberi ijn atas ekspor APD di saat para tenaga medis yang kesulitan untuk memperolehnya

Realitasnya, permasalahan pokok  yang tengah terjadi di negeri ini adalah wabah corona. Adapun perekonomian yang carut marut merupakan ini masalah turunan. Seharusnya, pemerintah menyelesaikan permasalahan pokoknya dulu, yaitu mengatasi penyebaran virus corona. Setelah wabah ini berakhir, perekonomian pun akan kembali normal.

 _Oligarki di Balik Penanganan Wabah_ 

Kehadiran Perppu no 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan Pandemi Covid-19 telah melahirkan polemik di tengah masyarakat. Hal itu berkait adanya dugaan kekebalan hukum bagi penyelenggara negara yang tertuang pada pasal 27. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis bukan kerugian negara. Karenanya pejabat pemerintah terkait pelaksanaan Perppu tersebut tidak dapat dituntut, baik secara perdata ataupun pidana jika melaksanakan tugas berdasarkan itikad baik dan segala keputusan berdasarkan Perppu bukan objek gugatan ke peradilan tata usaha negara. (kompas.com 13/04)

Mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua mengatakan  bahwa Perppu tersebut sudah terkategori korupsi politik. Korupsi politik adalah korupsi yang dilakukan pihak-pihak terkait melalui undang-undang atau kebijakan yang seakan-akan bertujuan baik tetapi hakikatnya untuk kepentingan golongan tertentu. Alias kepentingan konglomerat yang serakah dalam mempertahankan kekuasannya. (tempo.com).

Kian terasa kentalnya kepentingan oligarki dalam perkara ini. Pasalnya, instrumen dalam penanggulangan bencana sudah ada, yaitu UU nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU nomor 4 Tahun 1988 tentang wabah dan penyakit menular, dan UU nomor 6 tahun 2018 tentang karantina. Kenapa lantas harus dibuat  instrumen yang baru?

Tak heran kalau Amin Rais mengajukan permohonan gugatan Perppu tersebut pada MK, Tujuannya agar tak terlang kasus BLBI dan Century. Namun begitulah pejabat dalam demokrasi. Mereka menempati kursi jabatan bukan untuk mengurus kesejahteraan rakyat melainkan untuk kepentingan golongannya. Pemerintah tak peka dengan  korban Covid-19 yang terus berjatuhan. Bahkan korban kelaparan mulai berdatangan, penguasa malah  membuat program yang tak mampu untuk menyentuh kebutuhan mereka.

Terindara dengan jelas bahwa penguasa dalam sistem demokrasi, akan cenderung bermental koruptor. Sistem ini telah mendukung lahirnya perampok negara dan  dile gkapi dengan undang-undang yang melindungi elit politik.

Trias politika yang membagi kekuasaan menjadi tiga hanyalah ilusi. Nyatanya para penguasa itu kompak bersatu membentuk kekuatan dalam rangka menjaga kepentingan mereka. Para penguasa itu bergandengan secara erat dengan para konglomerat untuk merampas uang rakyat. Rakyat hanya diperlukan suaranya sebagai kendaraan untuk menapaki kursi kepemimpinan. 

Oligarki kekuasaan nampak pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Di masa sulit pandemi para penguasa, malah memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mereka. Melalui proyek-proyek yang seakan demi kepentingan rakyat. 

 _Islam dan Penanggulangan Bencana_ 

Politik dan kebijakan ekonomi dalam sistem islam berfokus pada kemaslahatan umat. Keberadaan penguasa semata untuk mengurusi kebutuhan umat, tak memandang apakah dia kaya ataupun miskin, bermanfaat bagi penguasa ataukah tidak. 

Keselamatan nyawa rakyat adalah yang utama, jauh dibandingkan dengan keselamatan ekonomi. Tentu, penguasa dalam Islam tidak akan membolehkan para pengusaha mengekspor APD (Alat Perlindungan Diri) yang dibutuhkan para tenaga kesehatan (nakes) dalam negeri. Meskipun keuntungan ekspor jauh lebih besar daripada dipakai oleh nakes dalam negeri.

Negara membangun sistem keuangan berbasis syariah islam Bukan dari utang yang mengandung riba atau memangkas dana kemaslahatan umat, seperti gaji guru, dana haji dan lainnya.

APBN dalam syariat Islam, sudah diatur bagaimana negara Khilafah mendapatkan sumber pemasukan untuk penanganan bencana, salah satunya adalah pos kepemilikan umum.

Barang tambang migas, mineral, batubara akan dikelola negara dan hasilnya menjadi milik umum. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan ini sebagian akan dialokasikan untuk menangani bencana.

Selain pos kepemilikan umum, terdapat sumber lain berupa  fa’iy (harta rampasan perang), kharaj (pungutan atas tanah kharajiah) dan pos dharibah (pungutan atas kaum muslim). Dharibah dalam sistem islam berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme.

Dharibah hanya diambil dari warga yang kaya saja, berbeda dengan pajak yang kini dijadikan urat nadi perekonomian bangsa. Itupun dipungut hanya pada kondisi kas negara kosong, sedang ada kebutuhan rakyat yang mendesak untul dipenuhi, misalnya wabah. Bahkan nonmuslim tidak dipungut dharibah.

Indonesia adalah negara kaya. Kekayaan yang merupakan kepemilikan umum seperti barang tambang, migas, mineral dan batubara begitu melimpah. Maka sumber pendanaan untuk menanggulangi wabah sudah cukup dari pos kepemilikan umum ini, tanpa harus ada pungutan pada warga negara yang kaya. Dengan catatan pengelolaan sumber alam ini dilakukan oleh pemerintah, bukan swasta apalagi Asing

Kondisi ini hanya bisa direalisasikan jika tata kelola negara secara keseluruhan sesuai dengan syariat Islam, yaitu dalam sistem Khilafah yang sesuai dengan metode kenabian. _Wallahu a'lam bishshowab._

Post a Comment

Previous Post Next Post