Oleh : Netty Susilowati,S.Pd
(Staf Pengajar Sekolah Tahfidz Plus Khoiru Ummah Malang )
Bagi kalangan pegiat emansipasi, sosok Kartini dianggap pas untuk merepresentasi perjuangan pembebasan perempuan. Tapi benarkah?
Kartini memang perempuan cerdas yang memiliki bacaan jauh ke depan. Bacaan yang jauh melebihi bacaan perempuan kebanyakan di masanya. Masa di mana perempuan tak mendapat tempat semestinya, bukan hanya dalam posisinya sebagai perempuan, tapi juga dalam posisinya sebagai manusia.
Kaum pegiat emansipasi bisa jadi tidak membaca sejarah Kartini. Tulisan-tulisan dan surat-surat beliau kepada sahabatnya. Bisa jadi belum ada budaya literasi di kalangan mereka. Atau membaca tapi tidak memahami konten bacaan itu sendiri. Beginilah jika budaya literasi telah tergerus dari negeri ini.
Sebenarnya ada banyak hal yang bisa kita teladani dari seorang Kartini. Bukan. Bukan pemikiran emansipasi yang merupakan klaim sepihak penggiatnya. Tetapi perhatikanlah cara Kartini berliterasi.
Bagaimana beliau menenggelamkan diri dalam bacaan-bacaan yang bermanfaat untuk mengisi waktu beliau. Kartini sering membaca surat kabar Semarang De Locomotief. Juga majalah Leestrommel dengan tema yang beragam mulai kebudayaan, ilmu pengetahuan ,social, politik. Termasuk juga majalah Belanda De Hollandsche Lelie.
Dari hasil membaca ini beliau tuangkan dalam berbagai surat ditujukan untuk Nona Zeeehandelaar yang kini menjadi inspirasi dunia, Door Duisternis tot Licht (HabisGelapTerbitlah Terang). Kartini menuliskan atas semua rasa, semua pikiran yang ada di kepala. Selain menuangkan pemikiran, menulis surat menjadi selfhealing bagi Kartini. Kita juga bisa melihat, dengan membaca, menulis menjadikan Kartini terbuka cakrawala berpikirnya sehingga di akhir hayat, beliau mampu menerima kebenaran Islam dari hasil pergulatan pemikiran dan berusaha memperjuangkan.
Berikut beberapa kutipan surat Kartini yang menunjukkan perubahan pemikiran beliau dari hasil literasinya :
“Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; Orang baik-baik meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi; dan mereka meniru yang tertinggi lagi yaitu orang Eropa.” (Surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899).
Surat ini ditulis Kartini pada saat masih memuja Eropa dan segala pemikirannya. Juga pujiannya pada Belanda:
“Bolehlah negeri Belanda merasa bahagia memiliki tenaga-tenaga ahli yang amat bersungguh-sungguh mencurahkan akal dan pikiran dalam bidang pendidikan dan pengajaran bagi remaja-remaja Belanda. Dalam hal ini, anak-anak Belanda lebih beruntung daripada anak-anak Jawa yang telah memiliki buku selain buku pelajaran sekolah.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902).
Di akhir hayatnya, saat Islam mulai lebih jauh dikenalnya, inilah yang Kartini tulis pada sahabat penanya:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal-hal indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal yang tidak bisa disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini Kepada Ny Abendanon, 27 Oktober 1902).
“Moga-moga kami mendapat rahmat dapat bekerja membuat umat agama lain memandang Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).
Dan ini adalah surat Kartini yang bisa mematahkan argument pegiat emansipasi :
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap dalam melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri dalam tangannya; Menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Jadi,jika ada adigium membaca membuka cakrawala dunia, memang benar adanya. Kartini sudah membuktikannya. Sekarang giliran kita semua. Meneladani Kartini dalam berliterasi. Banyak membaca, menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan hingga mampu mengubah pemikiran dunia untuk berjuang bersamanya.
Bisa dibayangkan andai Kartini tak paham pentingnya literasi, beliau tidak akan membaca. Pemikiran beliau tidakakan berubah. Terkukung adat dan terdiskriminasi.
Andai Kartini tak paham literasi, beliau tak akan menulis surat kepada teman-temannya. Hingga tidakada jejak dan mewarisi perjuangannya. Mudah memutarbalikkan fakta sejarah tentangnya.
Beruntung, bagi kita yang mampu menelusuri jejak-jejak literasi Kartini hingga memahami apa sebenarnya yang beliau inginkan dan perjuangkan. Bukan sekedar emansipasi keblinger ala kaum Feminisme. Tetapi sebuah derajat kehormatan wanita yang telah diatur oleh Sang Penciptanya.
Jadi, mari kita teladani Kartini. Dalam sumbangsihnya terhadap budaya literasi di Indonesia. Bukan dari sisi emansipasi. Yang jelas-jelas itu bukan harap dan keinginannya.
Post a Comment