Oleh : Elizma Mumtazah
Pemerhati sosial, Penulis Tangerang
Menyitir perkataan Bung Karno di koran Ra'jat, 1932 yang menyatakan “Nasib kaum buruh tidak bisa langsung diperbaiki selama stelsel (sistem) kapitalisme masih merajalela".
Sejak Presiden Joko Widodo menyebut Omnibus Law dalam pidato pelantikannya 20 Oktober 2019 lalu, ia menegaskan hal tersebut akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni undang-undang perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Di bidang cipta tenaga kerja yakni UU Cipta Lapangan Kerja.
Kehadiran Omnibus Law, RUU Cipta Lapangan Kerja terus menuai polemik di tengah masyarakat. Khususnya tentang pasal 170 yang menyatakan presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) guna mengubah ketentuan UU. Pasal ini dianggap tidak sesuai dengan hirarki konstitusi, dimana yang bisa mengganti dan mengubah UU hanya UU baru dan Perpu yang kemudian harus disetujui DPR.
Selain itu, ada pasal 166 untuk mengubah pasal 251 dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 166 menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dapat digugurkan oleh peraturan presiden (Perpres).
Publik semakin bertanya-tanya, setelah Menko Perekonomian Airlangga Hartanto dengan tegas menyebut pasal itu ditujukan untuk mencegah presiden dari pemakzulan. Pernyataan tersebut sontak memicu perdebatan. Menurut Ketua DPP Partai Gerindra Iwan Sumule, tujuan dari Omnibus Law yang semula digadang-gadang mensejahterakan rakyat termasuk memberikan kepastian hukum sesuai dengan hirarki konstitusi sungguh telah berbelok. Namun faktanya hanya memberi kekuasaan lebih kepada presiden agar tak di-impeach. “Gila. Omnibus Law rupanya bukan untuk mensejahterakan atau beri kepastian hukum, tapi untuk beri kekuasaan lebih kepada presiden agar tak di-impeach,” ujar Iwan Sumule kepada redaksi rmol.id, Kamis (20/2/2019).
Istilah omnibus berasal dari Bahasa Latin "omnis" yang berarti banyak. Artinya, Omnibus Law bersifat lintas sektor yang sering ditafsirkan sebagai UU sapujagat. Omnibus Law bukanlah barang baru, biasa disebut omnibus bili, yakni undang-undang yang mencakup topik beragam. Di Amerika Serikat, istilah tersebut kerap dipakai sebagai UU lintas sektor. Ini membuat pengesahan Omnibus Law oleh DPR bisa langsung mengamandemen beberapa UU sekaligus.
Pada mulanya, latar belakang diterbitkannya Omnibus Law di Indonesia yakni adanya fakta terkait rendahnya upah buruh yang telah menjadi magnet tersendiri bagi para investor. Ironisnya, para pemodal menjaga kekayaannya dengan terus berinvestasi, sementara rakyat justru gigit jari. Pembukaan lapangan kerja melalui kran investasi sesungguhnya hanya teori semata. Tak bisa dipungkiri lagi, RUU Omnibus Law tampak nyata akan dipakai untuk melanggengkan oligarki.
Selama ini, mekanisme upah per bulan menunjukkan buruh berada di garis kemiskinan. Apalagi jika Omnibus Law diberlakukan. Buruh hampir sekarat, pasalnya digaji per jam, dengan skema saat menjalani cuti dan ijin, tidak bekerja karena sakit, mereka tidak mendapat upah. Walhasil buruh makin termarjinalkan.
Menggelitik apa yang disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto lewat joke politiknya. Dalam pertemuan dengan Menko Polhukham Mohammad Mahfud MD yang kemudian diposting di akun tweeter @mohmahfudmd. Begini narasinya “Alhamdulillah, 243 WNI yang pulang dari Wuhan dan diobservasi 14 hari di Natuna dinyatakan bersih dari Corona. Dalam kelakarnya, Menko Perekonomian Airlangga bilang. Karena perijinan di Indonesia berbelit-belit maka virus corona tak bisa masuk. Tapi Omnibus Law tentang perijinan lapangan kerja jalan terus.”
Yah, Omnibus Law bisa dianggap pembawa virus dalam perspektif yang nyata. Virus berbahaya begitu leluasa masuk lewat pintu Omnibus Law di antaranya adalah impor pangan kian ringan, impor ternak makin enak, upah buruh makin murah sementara jam kerja bertambah yang bisa cepat menurunkan daya tahan tubuh kaum buruh.
Lantas siapa sesungguhnya pembawa virus (virus carriers) dalam Omnibus Law itu? Airlangga memang sedang mengingatkan kita semua untuk berhati-hati terhadap Omnibus Law. (rmol.id,15/02/2020)
Fakta di atas merupakan karakter demokrasi kapitalisme. Dimana hukum bisa direkayasa sesuai kepentingan penguasa yang dikendalikan pengusaha. Birokrasi terlalu rumit dan tumpang tindih sehingga kemudahan berusaha dan akses pelayanan publik terhambat. Sistem kapitalistik jauh dari regulasi berbasis kepentingan rakyat. Hanya berpusat pada kepentingan para pebisnis kelas kakap. Penguasa disetir mengikuti kemauan korporasi dalam proses legislasi. Maka arti kesejahteraan rakyat hanya sebatas jargon untuk sebuah pencitraan.
Berbeda dengan Islam. Sebagai agama yang paripurna, Islam memiliki seperangkat aturan dalam setiap permasalahan kehidupan. Termasuk ketika menetapkan undang-undang. Islam menggariskan, wajib bagi negara mewujudkan kemaslahatan umat sesuai dengan syara, bukan memenuhi kepentingan elit politik tertentu. Negara wajib berdaulat penuh. Tidak boleh tunduk terhadap kepentingan para kapitalis lokal ataupun dikendalikan oleh kekuatan asing. Negara pun wajib memiliki tanggung jawab mewujudkan kesejahteraan rakyat. Keunggulan sistem Islam, memastikan solusi hakiki agar hukum senantiasa bersumber dari Allah Sang Maha Adil. Memperhatikan hal-hal kebutuhan individu dan masyarakat secara keseluruhan untuk pencapaian kemakmuran.
Kesempurnaan Islam sebagai mabda mampu menyelesaikan seluruh problematika umat secara fundamental. Dalam pandangan Islam, yang memiliki hak dan otoritas dalam membuat hukum hanya Allah Swt. Dalam Al-Qur'an surat al-An’am ayat 57 ditegaskan "In al-hukmu illâ lilLâh". Hak menetapkan hukum hanyalah milik Allah Swt.
Oleh karena itu, hukum tersebut wajib diterapkan. Hukum yang bersumber dari wahyu, yakni dari Al-Qur'an dan Sunnah, serta yang ditunjukkan oleh keduanya, yakni ijmak sahabat dan qiyas syar’i. Dari situlah semua hukum syariah berasal dan diambil. Sementara dalam demokrasi, rakyat menjadi pemegang kedaulan dan sumber hukum. Sebaliknya, dalam Islam kedaulatan ada di tangan syariah.
Islam merupakan solusi fundamental dan komprehensif terhadap segala persoalan umat. Maka saatnya kita campakkan demokrasi kapitalisme dan bersegera menerapkan Islam, karena itulah jaminan kebahagiaan dan keadilan bagi seluruh manusia.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Post a Comment