DI BALIK MUSIBAH, PENIMBUN DATANG

By : Dr. Hj. Septimar Prihatini, M.Pd
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Ekonomi Umat)

Sepertinya pepatah yang mengatakan, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan sering terjadi di negeri kita. Sudah beberapa kali terjadi musibah, baik banjir, gempa bumi dan musibah lainnya, sering diikuti kelangkaan beberapa jenis sembako. Kelangkaan BBM paling sering terjadi.  Apalagi kalau ada indikasi pemerintah akan menaikkan harga BBM, yang biasanya di tengah malam, maka besok pagi akan sulit ditemui BBM di beberapa pom bensin. Atau pada beberapa saat sebelum pengumuman kenaikan, akan terjadi antrian panjang di pom bensin. Kelangkaan beberapa jenis sembako, misalnya beras pernah sampai berharga fantastis, dua kali lipat saat beberapa lumbung padi kebanjiran. Padahal BULOG sudah menyatakan bahwa persediaan logistik cukup. Namun kenapa harga beras melonjak tak masuk akal? Rupanya banyak terjadi penimbunan barang di beberapa titik oleh para pengusaha nakal yang menimbun beras di gudang gudang bayangan. 

Saat ini, di mana bencana virus Corona Covid-19 tengah melanda sebagian besar wilayah dunia, dan sedang dirasakan oleh sebagian warga Indonesia, kita mengalami betapa sulitnya menemukan masker penutup wajah. Jikapun ada, harganya selangit. Yang biasa harganya 3000 rupiahan per buah atau sekitar Rp 120.000 per boks, untuk jenis merk yang _recomended,_ melonjak jadi Rp 700.000 bahkan sampai ada yang menjual 1.7 juta via _on line_ . Mengapa masker bisa langka, sehingga harga melonjak tak terkendali? Salah satunya karena di rantai distributor, masker sebelumnya diborong oleh pengusaha tamak, ditimbun dalam jumlah ribuan boks. Jika sudah langka, perlahan dijual masker timbunan dengan harga berpuluh kali lipat. Semula harga Rp 35.000,-/boks dijual Rp 300.000,- /boks. Luar biasa pikiran curang  kapitalis culas. Ingin meraup untung sebesar-besarnya di tengah kesempitan masyarakat. 

Selain masker, harga hand sanitizer, tisu basah, hingga bahan pokok (sembako) melonjak  persis setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan dua WNI positif terinfeksi virus Corona. Bahan dasar _hand sanitizer_ , alkohol di toko toko kimia mulai langka dan harganya berlipat dari harga normal. Bukan hanya bahan dasarnya yang nyaris langka, kemasan botol kecilnyapun ikutan langka. 

Hal lain terjadi saat di beberapa medsos beredar bahwa  beberapa jenis rempah, rimpang (jenis umbi herbal seperti kunyit, jahe, temulawak) yang diramu menjadi empong- empong dapat menyembuhkan atau mencegah virus Corona. Tidak sampai dua hari beredar di medsos rumor tersebut, langsung harga jahe, temulawak, kunyit  melonjak 3 kali lipat. Mengapa bisa terjadi? Apakah karena berlaku hukum ekonomi jika _demand_ (tuntutan kebutuhan) masyarakat yang tinggi, maka _supply_ menjadi langka? Tidak juga. Karena masyarakat kita, khususnya para pemasok rimpang sudah terkondisikan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Kalau bisa meraih untung sebesar besarnya di masa kesulitan kenapa tidak? Itulah iklim kapitalis yang sekuler jika dibiarkan akan menyengsarakan rakyat juga.

Bagaimana seharusnya negara bertindak terhadap para penimbun barang ini ? Hukuman apakah yang seharusnya diterapkan bagi para penimbun barang ? Bolehkah menjual barang dengan harga semaunya apalagi untuk barang yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat? 

Hukum positif yang berlaku bagi para penimbun barang sudah cukup jelas dicantumkan dalam  pasal 107 UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yaitu  _“Pelaku usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan /atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalulintas Perdagangan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima (5) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).”_  Apakah hukuman ini cukup membuat para penimbun jera? Jika saja ditegakkan dengan benar dan sesuai dengan mekanisme pengadilan yang dapat dipertanggung jawabkan, boleh jadi tidak ada yang berani melakukannya lagi.  Namun seperti yang kita fahami, _law enforcement_ di negeri 062 ini sangat lemah. Buktinya para penimbun tidak takut ataupun jera melakukannya lagi. Yang penting untung banyak, bisa nyogok oknum aparat kalau ketahuan. 

Jika hukum positif  tidak membuat jera, bagaimanakah dengan  hukuman bagi penimbun barang dalam Islam?.  

Menimbun atau dalam istilah syara’ adalah _ihtikar,_ yakni tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar. Sedangkan masyarakat, negara, ataupun hewan memerlukan produk, manfaat, atau jasa tersebut. _Ihtikar_ (penimbunan) secara umum meliputi hal-hal berikut : membeli barang ketika harga mahal, menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar, kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik, penimbun menjual barang yang ditahannya ketika harga telah melonjak, penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar. 

Islam memandang perbuatan menimbun barang sebagai bentuk kezaliman dan bertentangan dengan _maqashid syariah_ berdagang karena tindakan menimbun akan menyengsarakan orang banyak. Penimbunan masuk dalam kategori kejahatan ekonomi dan sosial. Ulama seperti Ibnu Hajar al-Haitsami menganggap pelakunya sebagai pelaku dosa besar. 

Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan menimbun barang kecuali dia seorang pendosa.” (HR Muslim). Dalam hadis tersebut pelaku penimbun barang disifati dengan kata khoti’ atau pendosa. Sifat khoti’ ini jugalah yang dilabelkan Allah SWT kepada para thagut yang berlaku zalim seperti Firaun (QS al-Qashash [28]: 8).

فَٱلۡتَقَطَهُۥٓ ءَالُ فِرۡعَوۡنَ لِيَكُونَ لَهُمۡ عَدُوّٗا وَحَزَنًاۗ إِنَّ فِرۡعَوۡنَ وَهَٰمَٰنَ وَجُنُودَهُمَا كَانُواْ خَٰطِ‍ِٔينَ  ٨

 _"Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah"._ 

Dalam hadis lain disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menimbun makanan selama 40 hari, ia akan lepas dari tanggungan Allah dan Allah pun cuci tangan dari perbuatannya, dan penduduk negeri mana saja yang pada pagi hari di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan, sungguh perlindungan Allah Ta’ala telah terlepas dari mereka.” (HR Ahmad dan Hakim).

Bahkan, dalam sistem sosial Islam ditekankan jika ada pelaku penimbunan di tengah-tengah mereka, Allah mengancamnya dengan penyakit berat dan kebangkrutan. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menimbun bahan makanan bagi kaum Muslim, maka Allah akan menimpakan penyakit lepra dan kebangkrutan ke atasnya. “ (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim).

Berdasarkan banyak hadis yang menjelaskan tentang haramnya perilaku penimbunan yang berkaitan dengan bahan makanan, pendapat yang kuat karena sesuai dengan keumuman dalil-dalil tentang _ihtikar_ ini adalah diharamkannya penimbunan atas semua jenis barang yang menjadi hajat orang banyak karena akan menyusahkan mereka jika terjadi penimbunan. 

Adapun penyebutan penimbunan bahan makanan secara khusus dalam beberapa hadis, sebagian ulama menerangkan, maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa penimbunan bahan makanan lebih berbahaya ketimbang penimbunan barang lainnya.

Syariat ekonomi Islam sangat menghormati usaha seseorang dan melindungi kepemilikan pribadi, tetapi Islam juga memberikan hak kepada pemerintah untuk merampas atau memaksa pelaku penimbunan untuk menjual barangnya dengan harga pasar, serta berhak untuk memidanakannya jika pelaku penimbunan menolaknya karena tindakan tersebut adalah tindakan melawan hukum. Sehingga untuk menerapkan syariat ini jelas diperlukan ketegasan pemerintahannya. 
Jika penerapan Islam secara kaffah sudah bisa ditegakkan, dan ini hanya mungkin dengan tegaknya khilafah, maka praktek praktek penimbunan barang akan ditindak tegas dan dihilangkan.  Karena fungsi negara adalah menjamin terealisasinya hukum dan peraturan yang diterapkan negara.  Dan hukum-hukum tersebut dirancang berdasarkan sumber-sumber Syariat : al-Qur'an, Hadis, ijmak sahabat dan qiyas.  Termasuk aturan pemenuhan kebutuhan masyarakat.  Negara sangat bertanggung jawab terhadap semua distribusi barang yang merata ke seluruh wilayah.  

Negara khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam dan seperangkat hukum-hukum Syariat lainnya yang saling berkaitan. Memberikan edukasi kepada masyarakat dengan suasana "Imani" semangat ketaqwaan yang tinggi.  Tak boleh lagi ada umat yang dirugikan oleh praktek curang para antek kapitalis dan sekuler, seperti saat ini.  Sangsi tegas bagi pelaku kecurangan tanpa tebang pilih.  Karna penegakan hukum berfungsi sebagai pencegah pencegah _(jawazir)_ dan penebus _(jawabir)._  Dalam Islam tidak berlaku hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, semua warga negara diperlakukan sama dalam penegakan hukum.  

Hikmah penting di balik diharamkannya penimbunan adalah agar jangan sampai sifat tamak sebagian orang dalam suatu masyarakat menyebabkan kesengsaraan dan kesulitan bagi banyak orang.
  
Disamping itu, kebutuhan Khilafah-Negara yang akan menjamin seluruh hukum-hukum diterapkan. Nilai sesuatu bukan dipandang dari untung rugi, tapi pahala dan dosa. Sebab, Islam adalah agama yang bertujuan memberikan dan merealisasikan kemaslahatan bagi masyarakat banyak serta mencegah dari kemudharatan.[]

Wallahu alam bi shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post