Menilik Omnibus Law ditengah Hangatnya Wabah Corona

Oleh : Putri Hanifah, C.NNLP 
(Mahasiswi Sastra Arab Universitas Negeri Malang)

Selang beberapa hari sebelum isu corona mencuat di Indonesia memenuhi jagat maya para netizen +62 rasanya masih cocok untuk mengingatkan kembali soalan Omnibus Law. Bahkan beberapa spanduk di kampus saya masih berceceran tulisan “Tolak Omibus Law” memang ada apa dengan Omnibus Law? Mengapa harus ditolak, bukannya justru malah mengindahkan para pekerja? Mari kita bahas!

Omnibus Law biasa disebut sebagai Omnibus Bill, yakni undang-undang yang mencakup sejumlah topik beragam. Ini merupakan metode menggabungkan beberapa aturan yang substansinya berbeda, menjadi peraturan besar yang berfungsi sebagai umbrella act, diiringi pencabutan beberapa aturan tertentu.

Contohnya Irlandia yang telah mencabut kurang lebih 3.225 undang-undang untuk membuat UU baru pada tahun 2008. Praktik ini muncul pertama kali di Amerika Serikat tahun 1888 tentang pemisahan dua rel kereta api. Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia, dan Singapura pun mempraktikkannya.

Konsep omnibus law pernah digunakan Indonesia ketika deregulasi kehutanan dilakukan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional waktu itu, Sofyan Djalil. Demikian juga ketika menetapkan Perppu No.1/2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan/Automatic Exchange of Information-AEoI) dan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD (UU MD3).

Memang apa yang dijanjikan pemerintah lewat omnibus law?
Dari UU Cilaka, yang memberikan sweetener bagi pekerja, kurang dari tiga tahun mendapatkan bonus tunjangan 1x gaji. Lebih dari tiga tahun bonus 2x gaji, kerja lebih dari lima tahun bonus 3x gaji. Kerja lebih dari sembilan tahun mendapatkan bonus 4x gaji dan terakhir kerja lebih dari 12 tahun mendapatkan bonus 5x gaji.

UMKM didorong untuk memenuhi indikator kekayaan bersih, birokrasi tidak akan dipersulit, pemerintah bahkan akan membentuk peraturan supaya UMKM bisa kerjasama dengan perusahaan besar, jika tidak memiliki modal tidak masalah akan diberikan pinjaman. Belum lagi dari segi pajak yang tidak akan saya ulas disini, tentu tidak akan selesai.

Bila kita tidak cermat seolah-olah berbagai kemudahan yang dijanjikan oleh Pemerintah lewat Omibus Law ini akan memberi keuntungan, sayangnya tidak. Misalnya berbagai bonus gaji yang ditawarkan seakan-akan menyejahterakan rakyat, benarkah demikian?

Sayangnya tidak semanis itu janjinya saudara, konsep Industri yang bergerak dalam Negara Kapitalis ketika memandang ketenagakerjaan, manusia diibaratkan mesin atau alat untuk memproduksi sesuatu. Akhirnya saat ini orang bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, melainkan diperas habis-habisan untuk memenuhi kebutuhan perusahaan. Apakah orang harus bekerja 12 tahun dahulu supaya mendapatkan bonus 5x gaji? Semakin lama kita kerja di perusahaan, makin dapat bonus. Semua adalah sweetener supaya para pekerja betah menjadi robot-robot bagi perusahaan. Nggak heran bila tiap setahun sekali buruh minta dinaikkan gajinya.

Beralih ke UMKM, kali ini sektor ekomomi mikro seperti UMKM amat mendapatkan perhatian dari pemerintah. Sebuah wacana yang bagus, hanya saja yang perlu digarisbawahi yang mampu menaikkan ekonomi suatu Negara dengan impact yang besar adalah sektor makro (seperti sumber daya alam yang kita miliki) bukan mikro seperti UMKM. UMKM digenjot semaksimal apapun tidak akan memberikan pengaruh sekuat sektor makro. Masalahnya sektor makro yang kita miliki saat ini untuk siapa? Tidak lain dan tidak bukan disuguhkan untuk para pemilik modal alias kapitalis. Mari kita tilik, siapakah yang menguasai Batu Bara, Nikel, Gunung Emas saat ini? Tercatat Freeport, British Protelum, Migas Total (Perancis) dan masih banyak lagi semuanya siapa? Asing.

Sebuah ironi, masyarakat digenjot untuk menggerakkan sektor mikro sedang sektor makro diberikan kepada kapitalis secara cuma-cuma. Tidak heran sekarang banyak siswa, mahasiswa bahkan sampai ibu-ibu sibuk berjualan sampai lupa tugas utama mereka. Hmm. Sebab pola pikir masyarakat saat ini beralih, jika kita ingin kaya maka solusinya lewat ekonomi mikro. Padahal merosotnya ekonomi mikro karena ekonomi makro.

Kapitalisme memandang, ekonomi suatu Negeri naik apabila:
1. Jika APBN belanja pemerintah banyak. Bagaimana kalau pemerintah belanjanya dengan hutang? Apakah terkategori ekonomi kita sehat?
2. Apabila masyarakat yang berbelanja semakin naik. Bagaimana kalau masyarakat belanjanya dengan hutang?
3. Nilai investasi banyak disuatu Negara.
4. Peran Negara dalam perdagangan internasional (ekspor-impor). Bagaimana kalau yang di ekspor bahan mentah, sedangkan impornya bahan jadi, bukankah namanya rugi?

Hal ini sangat berbeda dengan Islam ketika memandang pertumbuhan ekonomi Negara. Islam memandang ekonomi Negara naik, ketika setiap individu sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar yang dia miliki. Apabila tiap individu sudah bisa memenuhi kebutuhan dasar dia (individu dapat hidup layak) maka bisa dibilang ekonomi bertumbuh.

Maka jangan mau dengan rayuan dan bujukan kapitalis yang kelihatannya manis sebenarnya merugikan kita juga. Buktinya pangkal dari semua ini yang paling diuntungkan adalah pemilik modal (korporat). Dan pemilik modal ada dalam perusahaan. Maka dengan wacana Omnibus Law ini bagaimana hukumnya? Dalam kacamata kapitalis ya sah-sah saja, karena ini adalah bagian dari cara kapitalis untuk tetap eksis. Tapi dalam kacamata Islam? Omnibus Law ini adalah sebuah kengawuran besar!

Lebih jauh dari itu kita menolak Omnibus Law karena memang tidak sesuai dengan apa yang Islam ajarkan. Maka solusi terbaik untuk menyejahterakan buruh dan mengembalikan ekonomi Indonesia yang sudah kian sekarat ini adalah menerapkan Islam kembali di muka bumi ini dengan menegakkan sistem Islam, yakni Khilafah. Wallahualam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post