Oleh : Nurhalidah Muhtar
Sungguh malang nian negeriku. Rezim dalam mengurusi masalah hanya dengan mengubah makna frasa sesuai dengan keinginan mereka. Salah satunya yaitu Kufur nikmat. Kufur nikmat itu sendiri adalah terminologi islam yang dibajak oleh rezim guna meninabobokan rakyat dari sikap kritis dalam hal kegagalannya dalam membangunan ekonomi. Sehingga topeng mereka akan bumerang. Baru baru ini presiden melarang kita untuk tidak kufur nikmat.
Perihal larangan itu didasari atas pencapaian laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri ini. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 silam yaitu 5,02%. Merupakan angka terendah dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya pada 2018 sebesar 5,17% dan tahun 2017 sebesar 5,07%. Maka dari itu menurut presiden, kita wajib bersyukur sebab pencapaian masih diatas 5%.
Terlansir oleh cnbcindonesia.com.“Alhamdulillah, ini patut kita syukuri bahwa pertumbuhan ekonomi masih di atas 5%, 5,02%. Patut kita syukuri. Yang lain bukan turun, anjlok. Kita ini kalau engga kita syukuri artinya kufur nikmat,” tegas Jokowi.
Sungguh ironis memang jika menggunakan perbandingan kemajuan ekonomi dengan pencapain negara lain yang lebih kecil. Namun jika negara kita dibandingkan pencapaiannya dengan negara yang lebih tinggi pencapaiannya. Maka pencapaian tersebut hanya seperti secuil debu. Didalam islam standar pencapaian kemajuan dibidang ekonomi yaitu terpenuhinya pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak. Maka mengkritik pencapaian oleh rezim bukan merupakan kufur nikmat sebab faktanya rakyat banyak yang masih jauh dari kata sejahtera.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kemandekan ekonomi dinegara ini adalah adanya kesalahan sistemik yaitu diberlakukannya sistem ekonomi kapitalisme. Dimana sistem ekonomi dibangun di atas pondasi ketamakan dan eksploitasi. Suatu kebohongan besar yang diucapkan oleh para kapitalis bila sistem ini diklaim dapat merealisasikan empat tujuan yaitu menghapus kemiskinan, pertumbuhan yang berkesinambungan, keadilan dalam distribusi pendapatan dan kesempatan, serta hidup dalam lingkungan yang bersih.
Sebaliknya kita dapati bahwa kapitalisme gagal total dalam mewujudkan tujuan-tujuannya. Fakta yang terjadi adalah meningkatnya angka kemiskinan, pertumbuhan yang fluaktif, ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dan kesempatan, serta dominasi kelompok kaya atas kelompok lainnya. Ideologi kapitalisme sesungguhnya mengarahkan situasi perekonomian menuju sebuah akhir yang mengenaskan. Seluruh sumber daya dan kekayaan negara berhasil dikumpulkan ditangan segelintir orang. Sementara sebagian umat manusia masih terpuruk dalam kemiskinan yang penuh kehinaan. Kekayaan hanya tertumpuk pada para penguasa, pejabat pemerintahan, pemilik modal dan orang-orang kaya.
Jika diamati dengan pemikiran yang jernih, daya dukung dari semua aspek baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang ada di indonesia maka indonesia tidak akan mengalami kemandekan ekonomi jika dikelola dengan kebijakan yang benar. Namun kembali lagi bahwa indonesia menerapkan ideologi kapitalisme dimana kebijakannya sangat buruk. Maka kemajuan disegala bidang termasuk ekonomi hanyalah pencapaian semu dari rezim.
Begitulah pada hakikatnya tidak ada kebaikan dalam sistem kapitalis. Kapitalisme adalah sistem yang dibangun demi kepentingan kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Maka dari itu masihkah kita percaya dengan sistem ekonomi kapitalisme yang jelas rapuh dan cacat. Tentu jawabannya tidak. Sehingga yang harus dilakukan sekarang adalah bukan lagi berupa pembaruan pada kulitnya saja. Melainkan perombakan total dengan sistem yang baru yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi islam beserta sistem-sistem yang lain dalam islam secara menyeluruh seperti sistem pemerintahan, politik, pendidikan, peradilan, hubungan luar negeri, dll.
Karena sistem ekonomi tidak bisa berdiri sendiri sehingga harus ditopang oleh sistem politik dan pemerintahan islam. Maka akan terwujud rakyat yang makmur nan sejahtera. Wallahu a’lam bish-showab.
Post a Comment