By : Mia Annisa
(Narasumber WAG Kajian Muslimah Majelis Quran Lovers Bekasi)
Pasca presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan secara resmi dua warga positif terjangkit virus corona (covid-19), Senin, 2 Maret 2029, sentra alat dan produk kesehatan pasar Pramuka, Matraman, Jakarta Timur, dipadati masyarakat yang ingin membeli masker (tempo.com).
Kedua orang ini diduga tertular oleh kerabatnya, warga Jepang yang tinggal di Malaysia, saat bertemu pada 14 Februari 2020 di Jakarta. Keduanya kemudian berobat ke RS Mitra Keluarga Depok pada 27 Februari dengan keluhan flu dan sesak napas. Dua hari kemudian, ibu dan anak tersebut dirujuk ke RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara. Keduanya dinyatakan positif mengidap virus corona.
Sayangnya masker tiba-tiba menjadi langka dan mahal. Masker 3M 820 dijual seharga Rp 1,5 juta per kotak berisi 29 biji yang diklaim sejumlah pedagang berstandar internasional. Padahal masker ini dibutuhkan perusahaan yang bergerak di bidang ekspedisi untuk dipakai 30 karyawan saat bekerja. Bahkan toko alat kesehatan sampai kehabisan stok untuk jenis 3 Ply, sisanya jenis 3M 1860 seharga Rp2 juta per box isi 20 pc dan 3M 820 seharga Rp 1,5 juta per box isi 20 pcs.
Untuk stok masker N-95 kini tak bisa lagi ditemukan di penjual mana pun. Masker jenis terbaik yang bisa menyaring udara 90 %.
Dikutip dari Wartakota.co.id kondisi ini menjadi sorotan media asing yang berbasis di Singapura, Strait Times. Strait Times menurunkan laporan dengan judul "Coronavirus: Price of a box of N95 masks cost more than a gram of gold in Indonesia," yang jika diartikan kurang lebih "Coronavirus: Harga satu kotak masker N95 harganya lebih dari satu gram emas di Indonesia."
Tak hanya di Jakarta, di daerah pun juga mengalami kelangkaan stok masker. Di Manado, Sulawesi Utara misalnya, kosong di apotek-apotek. Ada warga yang memborong masker untuk dikirim ke keluarga mereka di Jakarta. Karena di Jakarta masker juga habis.
Dikutip dari Vivanews.com, selain kosong juga terjadi kenaikan harga penjualan masker. Padahal sebelum adanya virus corona, masker dijual Rp2 ribu per buah, sekarang naik Rp4 ribu per buah. Itu pun distributor menjual dengan terbatas. Satu orang membeli masker hanya boleh tiga buah saja, tidak boleh lebih. Sebab, ada yang membeli masker kemudian mereka menjual lagi ke orang lain, sehingga apotek melakukan penjualan secara terbatas.
Alasan masker belakangan menjadi langka karena tingginya permintaan dari masyarakat guna memproteksi dan antisipasi dari ancaman virus corona. Selain itu karena disebabkan bahan baku dari China yang mulai berkurang sejak maraknya wabah virus corona di negeri tirai bambu itu.
Parahnya lagi warga China yang tinggal di Indonesia memberi bantuan bagi keluarga mereka yang ada di Negeri Panda tersebut dengan mengirimkan masker dari Indonesia. Pemerintah China sendiri mengimpor masker dari berbagai negara termasuk Indonesia.
Patut disayangkan permintaan (demand) akan masker tinggi, produksi dalam negeri mengalami kesulitan untuk mengimbangi pesanan yang tinggi karena keterbatasan bahan baku yang harus impor dari China. Seperti kain spunbond sebagian besar harus diimpor dari sana. Pada saat bersamaan, China sendiri sedang dilanda wabah corona, membuat pasokan bahan baku ke Indonesia terkendala karena belum semuanya diproduksi di Indonesia.
Benarkah Indonesia tidak mampu secara mandiri memproduksi tanpa harus ketergantungan bahan baku dari China ?
Pertama, hal ini dikarenakan lemahnya industri alat-alat kesehatan yang masih menjadi problem saat ini dalam kebijakan dan tata kelola, terkait rantai perizinan yang panjang dan rumit untuk membuat pabrik alkes dari pembuatan PT sampai produksi, membutuhkan waktu 24 hingga 36 bulan. Industri alkes sangat terikat dengan banyak regulasi, tentu dengan segala sanksi hukumnya. Pemerintah juga terkesan mata duitan, pelaku usaha alkes akan diberi kemudahan apabila mencapai investasi seharga 100 milyar Rupiah. Tentu standar ini hanya bisa dipenuhi para investor asing.
Kondisi ini melahirkan persaingan yang tidak sehat. Penyedia alkes dalam negeri mau tidak mau harus bisa bersaing dengan penyedia alkes dari luar negeri.
Kedua, alkes tidak cukup besar menarik perhatian pemerintah. Sehingga tidak ada keinginan menyeimbangkan kondisi ini dengan jaminan dan kemudahan berusaha demi mendukung pelayanan kesehatan nasional berjalan lebih baik. Maka mustahil rasanya merealisasikan 25 % target industri alkes dalam skala nasional pada tahun 2030.
Ketiga, anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk dana alat kesehatan semakin ditekan dengan cara pengurangan subsidi di sektor kesehatan.
Dari sekian banyak polemik alkes di Indonesia tidak mampu mandiri tidak lain semua karena alasan motivasi ekonomi. China enggan kehilangan pasar alkes di Indonesia yang mendatangkan keuntungan pundi-pundi uang bagi China. Indonesia tetap dibiarkan ketergantungan bahan baku demi menjaga politik dagangnya tetap aman.
Berbeda dalam Islam perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam. Industri dalam Islam mesti berkesinambungan antara manajemen pengelolaan sumber daya alam yang shahih menurut syariah serta orientasi politik tidak hanya dalam rangka pertahanan dan keamanan tapi juga berprinsip kemandirian dari sisi teknologi, modal, tenaga ahli bahkan memberikan kemudahan lisensi pagi pabrik-pabrik yang hendak di didirikan dalam wilayah daulah Islam.
“… Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 141)
Perindustrian dalam Islam senantiasa mampu berinovasi dan mengaplikasikan sesuai kebutuhan umat manusia apakah dalam keadaan aman atau genting. Seperti pabrik-pabrik tekstil penghasil kain untuk membuat pakaian sebelumnya ketika dalam kondisi genting harus bisa memproduksi kain spunbond agar negara tak perlu lagi mengimpor bahan dasar dari negara luar yang notabenenya adalah negara kafir harbi, untuk membuat masker sendiri sehingga tak khawatir lagi ada kelangkaan dan harganya yang mahal sebagaimana saat ini Indonesia yang ditimpa virus Corona covid-19.
Hal ini pernah dicontohkan pada 1.400 tahun lalu dimana modifikasi industri terus dilakukan Khalifah bekerjasama dengan arsitek-arsitek Muslim demi mengurusi urusan rakyat. Yang berhasil mengendalikan tenaga air, tenaga angin dan tenaga uap yang terlihat dengan menjamurnya berbagai kompleks pabrik (tiraz). Penggunaan kincir air di Dunia Islam yang dimulai sejak abad ke-7 hingga abad ke-9 digunakan untuk menjalankan industri makanan, industri kertas, industri gula dan industri roti. Pada abad ke-11 hampir seluruh wilayah propinsi Andalus (Spanyol Islam), Afrika Utara, TimurTengah hingga Asia Tengah sudah menggunakan teknologi ini dalam produksi tepung dalam Skala industri.
Negara benar-benar menaruh perhatian besar terhadap pabrik-pabrik industri. Apa yang dilakukan Khalifah Mu'thasim Billah misalnya, Untuk mendukung inovasi dalam teknik industri, kampus Jundishapur didirikan. Di antaranya ilmu tentang produksi gula dikembangkan sehingga bisa diterapkan di Khuzistan dan juga di Spanyol yang terkenal kualitasnya. Khilafah Abbasiyah tidak hanya memproduksi untuk kepentingan domestiknya. Khilafah juga mengekspor komoditas penting seperti produk pertanian, gelas, alai berat, sutra, tekstil, parfum seperti mawar, air, saffron, sirup dan minyak.
Jelas bahwa orientasi perindustrian didirikan bukan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, demi memonopoli kepemilikan atas sebagian yang lain. Industri dalam bingkai Islam semata-mata mendorong agar kemajuan ilmu dan teknologi senantiasa berkembang. Industri yang melayani hajat hidup orang banyak akan dikelola negara serta untuk mewujudkan pertahanan dan keamanan militer di tubuh daulah Islam. Agar negara bisa melindungi umat dari ancaman bahaya dan tidak terus-menerus ketergantungan kepada luar negeri. Wallahu'alam.
Post a Comment