Oleh : Nur Izzati Fajriyah, S.S., M.Pd (Pemerhati Perempuan)
Baru-baru ini publik kembali dihebohkan perihal pornografi. Pasalnya, seorang aktris layar lebar, Tara Basro mengunggah foto telanjang dengan tujuan kampanye body positivity. Tindakan dia sempat dikomentari oleh Kepala Biro Humas Kemkominfo, Ferdinandus Setu, bahwa memajang foto bugil kepada publik berpotensi melanggar UU ITE karena mengandung konten pornografi.
Namun, tak selang berapa lama, Mekominfo, Johnny G Plate buru-buru mengklarifikasi dan menegaskan bahwa Tara Basro tidak melanggar UU ITE terkait postingan foto tanpa busananya di akun twitter pribadi dia. Beliau menganggap itu bagian dari seni.
Spontan, aksi kontroversial ini mendapat respon dari masyarakat luas terutama netizen. Banyak yang kontra dengan postingan foto bugil tersebut. Tapi, tak sedikit juga yang mendukung, termasuk dari kalangan artis. Yang tak sepakat dengan unggahan itu beralasan bahwa ini Indonesia, tak pantas meng-copy ala Barat untuk kampanye cintai tubuh sendiri. Ada juga yang membawa dalil agama, apalagi Indonesia adalah negeri dengan mayoritas penduduknya muslim. Di dalam Islam, jelas menampakkan aurat ke hadapan khalayak ramai adalah sesuatu yang terlarang.
Sementara itu, yang mengatakan bahwa tindakan Tara Basro itu bukanlah suatu pelanggaran beranggapan bahwa ada niat positif yang perlu digarisbawahi, yaitu Tara mengajak kaum perempuan untuk lebih menghargai dirinya sendiri, tanpa takut omongan dan bully-an orang di luaran sana yang selalu mengkonstruksi cantik adalah dengan standard tertentu. Banyak juga yang sepakat bahwa tindakan tersebut bagian dari seni dan kebebasan berekspresi. Lantas, bagaimana seharusnya kita memandang fenomena ini?
Dari sudut pandang apapun, aksi mem-publish foto telanjang sebenarnya tak bisa dibenarkan. Dari adat ketimuran Indonesia, jelas hal ini melanggar etika bermasyarakat yang selalu menjaga kesopanan termasuk dalam berbusana dan etika pendidikan. Konten tersebut bisa menginspirasi generasi muda untuk melakukan tindakan serupa. Tidak bisa kita bayangkan, jika ke depan di negeri Indonesia ini para perempuan beramai-ramai upload foto tanpa busana di media sosial mereka.
Sedangkan, ajaran Islam jelas mengharamkan tindakan seperti ini. Gambar yang menampakkan aurat perempuan dikategorikan porno. Sedangkan gambar porno yang diumbar bisa menjadi sarana bagi orang lain untuk melakukan keharaman, yakni zina. Begitu juga bagi yang melihat gambar porno tersebut, bisa mengantarkan dirinya kepada keharaman. Memajang gambar porno kepada khalayak ramai berarti mempersilakan banyak orang untuk bermaksiat berjama’ah.
Lalu, bagaimana jika memajang foto bugil tidak ditujukan untuk merangsang orang berzina melainkan untuk kampanye body positivity sebagaimana yang diklaim oleh Tara Basro? Apa sebenarnya body positivity itu?
Body positivity adalah penerimaan setiap perubahan tubuh mulai dari bentuk, ukuran, hingga kemampuan tubuh seiring bertambahnya usia. Istilah ini berkembang di tengah konstruksi kecantikan perempuan yang seolah mengarahkan definisi cantik adalah ketika memenuhi syarat-syarat fisik tertentu. Misalnya, cantik adalah berkulit putih, langsing, dan tinggi semampai. Patokan semacam ini menjadikan kaum perempuan berlomba untuk memenuhinya agar dikatakan cantik. Sebaliknya, sebagian orang menjadi kurang percaya diri karena belum mencapai kriteria tersebut.
Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya yang memberi ukuran cantik secara fisik itu adalah kapitalisme. Dalam kapitalisme, perempuan dijadikan objek eksploitasi yang bisa menghadirkan pundi-pundi uang, tentu dengan “menjual” sisi femininitasnya. Untuk itulah, di dalam kehidupan yang berpandangan kapitalistik hari ini, perempuan dimotivasi untuk “mempermak” dirinya secara fisik demi memperlancar mesin kapitalis, misalnya lewat industri hiburan, fashion, dan kosmetik.
Kaum humanis yang selalu menitikberatkan pada sisi kemanusiaan manusia tentu tak terima dengan konstruksi kecantikan seperti itu. Oleh karenanya, mereka mengajak perempuan untuk tidak termakan standard buatan kapitalis serta agar lebih menghargai dirinya sendiri, apa adanya.
Sebenarnya, tidak perlu terlalu jauh pada teori humanisme. Di dalam Islam sudah diajarkan bagaimana seorang hamba Allah harusnya menerima takdir yang sudah Allah tetapkan pada dirinya, termasuk bentuk, ukuran, dan warna tubuhnya. Manusia tidak akan dihisab karena ketetapan itu. Namun, yang akan diperhitungkan kelak di akhirat adalah amal perbuatan dia selama di dunia. Allah melihat hamba-Nya juga dari sisi ketakwaan bukan dari kondisi fisik seseorang.
Masalahnya, para penganut humanisme menjadi tidak punya standard yang jelas kepada segala sesuatu. Mereka hanya menghargai perasaan seseorang. Sementara batasan benar dan salah dikembalikan pada tiap-tiap orang; kebenaran menjadi sangat subjektif. Pandangan mereka bahkan menjadi rancu. Di satu sisi mereka mengajak kaum perempuan untuk menghargai tubuh mereka, tapi di sisi lain mentoleransi perempuan yang mengumbar tubuh mereka ke muka umum. Bukankah itu justru melecehkan kehormatan perempuan sendiri. Pandangan inilah yang rusak.
Akibatnya bisa mirip seperti yang dilakukan Tara Basro. Demi mengajak orang untuk menghargai tubuhnya, sebar foto telanjang kepada publik dinilai tak masalah. Padahal, dalam Islam, untuk menyampaikan sebuah kebaikan tetap saja tak boleh dengan cara-cara yang melanggar syari’at seperti halnya pornografi.
Memang, hanya satu pandangan yang bisa membenarkan pornografi, yaitu paham kebebasan (liberalisme). Paham ini dijamin oleh demokrasi. Di bawah payung demokrasi, setiap orang dibolehkan berekspresi sesuai yang diinginkannya. Jika ada yang tak suka dengan sikap orang lain, seseorang tinggal mengabaikan saja sikap orang lain tersebut, tak perlu diributkan. Asalkan bukan tindakan yang melukai atau mencelakai orang lain, meskipun bertentangan dengan syari’at Islam, demokrasi tak mempersoalkan.
Dalam demokrasi, sekulerisme, yakni pemisahan aturan agama dari kehidupan memang tumbuh subur. Akhirnya, pornografi diminta untuk tidak selalu dipandang dari kacamata agama. Melainkan dari sudut pandang seni, HAM, dan kebebasan.
Beginilah jika kita terus-menerus hidup dalam sistem demokrasi. Paham liberalisme akan terus merajalela, didukung oleh para pemuja kebebasan. Bahkan, para penguasa menganggapnya bukan masalah. Penilaian menurut syari’at seringkali dituduh tak manusiawi dan oleh karenanyalah banyak kaum muslim justru menjadi penentang syari’at. Tapi, tak ada sanksi tegas dari negara. Kondisi seperti ini hanya bisa dihentikan jika negara mengadopsi standard benar-salah yang ditetapkan Sang Pemilik langit dan bumi, termasuk bumi Indonesia, Allah SWT. Negara yang seperti ini tentu hanyalah negara yang menerapkan aturan Allah SWT secara menyeluruh, yakni khilafah Islamiyah.
Post a Comment