Oleh: Shafayasmin Salsabila*
Jika akhir-akhir ini virus Corona menjadi headline berita, maka ada yang tak kalah meresahkan, yakni wabah padepokan. Terjadi di kabupaten Indramayu, ditemukan tiga padepokan mirip kerajaan. Dicurigai mengekor embah buyutnya, Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire. (radarcirebon.com, 22/1/2020)
Namun setelah dilakukan konfirmasi, ternyata ketiga padepokan tersebut dinyatakan steril dan bebas dari indikasi "halu" sebagaimana KAS dan SE. Uniknya, keresahan bercampur kecurigaan ini menjadi sinyal tersendiri betapa rentannya negeri kita dari rongrongan berbagai pihak. Termasuk dari internal, yakni rakyat awam.
Inisiatif mendirikan sebuah wadah, forum, komunitas atau perkumpulan, baik menggandeng istilah kerajaan, keraton atau bahkan padepokan, tentu bukan tanpa sebab. Salah satunya, bisa jadi lahir dari ketidakstabilan politik, ekonomi juga menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan negara.
Wajar jika beberapa orang terpanggil untuk tampil memimpin dan mengambil alih kemudi. Namun sayangnya, gerakan ini alih-alih menyerupai Avenger atau Robbin Hood, justru tergilas oleh mindset kapitalis, sehingga oportunis. Artinya mereka hanya memanfaatkan momen untuk menggondol uang bukan demi misi penyelamatan.
Terbukti dengan dipidanakannya para petinggi kerajaan tersebut dengan pasal penipuan. Akibat menjual harapan kosong kepada para pengikut setianya. Apakah akal sudah tidak beres atau semata karena rakyat sudah tidak tahu lagi harus kemana menggantungkan harap?
Fenomena padepokan menyimpang, melenakan rakyat dengan alur cerita rekaan. Dibangunlah sebuah kesan yang memerdayakan banyak orang. Sejarah seperti direkayasa, selayak dalam cerita. Namun jika diamati secara seksama, kemunculan perkumpulan seperti ini bisa mengawali friksi atau memantik gelombang perpecaha, mengancam kesatuan.
Untuk itu perlu upaya serius untuk mengakhiri wabah ini, jangan lagi ada di kemudian hari muncul sempalan serupa. Maka dalam hal ini negara harus segera mengembalikan kestabilannya. Diawali dengan mengambil pijakan yang benar dan tepat, yakni ruhi (kesadaran membangun negara karena perintah Allah)
Penyelenggaraan negara dengan asas ruhi berupa akidah Islam, memaksa seluruh jajaran pemimpin mengambil keputusan serta kebijakannya semata demi menjadikan negeri ini sebagai negeri yang diberkahi dan diridhai oleh Allah Ta'ala. Karena kepentingan mendirikan negara pun sejatinya hanya demi penerapan aturan Allah (syariat).
Milik siapakah manusia dan bumi ini, jika bukan milik Allah. Maka masuk akal jika ada kehendak Allah atas manusia dalam hal pengurusannya terhadap tata cara bersosialisasi dan bernegara (hablu min annaas). Di dalamnya ada seperangkat aturan Allah dalam mengelola negara, baik ekonominya, politik dalam negeri dan luar negerinya, dalam hal budaya, pendidikan, kesehatan, hingga persanksiannya.
Asas ruhi ini akan membawa keadilan dan kesejahteraan. Pemimpin dengan sendirinya akan ditaati, sejalan dengan ketulusannya dalam menyelesaikan masalah manusia yang dipimpinnya. Pencitraan sudah bukan masanya, kesadaran akan peran seorang pemimpin dalam melindungi dan membela kepentingan rakyat, akan memunculkan trust atau kepercayaan publik. Tanpa diminta rakyat akan berbaris rapih, berada dalam satu barisan yang kokoh.
Kecemasan akan adanya pemberontakan, perpecahan atau friksi pun melumer. Karena baik pemimpin maupun rakyat memiliki kesatuan dalam visi bernegara. Bukan hanya sejahtera di dunia tapi selamat bersama-sama sampai di akhiratnya.
Tidak lagi muncul fiksi, akal manusia menjadi realistis. Tidak dibutuhkan lagi khayalan kosong, karena apa yang dinamakan bahagia sudah ada di depan mata. Dan itu hanya terjadi jika para pemimpin sepakat untuk kembali kepada fitrahnya. Jalan yang sudah digariskan oleh Sang Pencipta. Lari atau melenceng darinya, hanya menghalalkan datangnya kehancuran dan membiarkan tercetusnya kecemasan. Wallâhu a'lam bish-shawab.
*Penulis Muslimah dari Indramayu
Post a Comment