Oleh : Diana Wijayanti, SP
Baru-baru ini viral manusia goa. Seorang pria bernama La Udu (50) sudah sepuluh tahun tinggal di gua di Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra). Gua dipilih karena La Udu tak memiliki tempat tinggal. Warga Kelurahan Warumusio, Baubau ini mulanya dikabarkan hilang sekitar tahun 2000. Tapi pada tahun 2008, La Udu ditemukan warga tinggal menetap dalam gua rekahan batuan karang pesisir pantai.
"Tidak punya rumah, jadi saya tinggal di sini (gua)," katanya kepada wartawan, Senin (3/2/2020).
Tak hanya menimpa La Udu, kemiskinan kian merajalela. Dalam sebulan belakangan ini pukulan ekonomi bertubi-tubi dirasakan oleh rakyat karena kenaikan berbagai komoditi kebutuhan hidup, harga cabe kian meroket, BBM naik berkali-kali, harga beras terus merangkak. Disusul oleh telur dan daging ayam, harga daging sapi sudah naik jauh hari tak kunjung turun hingga sekarang. Di sisi lain nilai rupiah terus melemah terhadap dolar. Menembus Rp 14.555,-. Akibatnya, harga sejumlah komoditi impor ikut naik. Sejumlah sektor usaha pun terpukul.
Anehnya, Pemerintah berulang menyatakan sikap optimis. Katanya, ekonomi Indonesia makin membaik. Pemerintah mengklaim angka kemiskinan justru menurun. Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat angka kemiskinan pada September 2019 mencapai 9,22 persen. Angka ini turun 0,19 persen poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44 persen poin terhadap September 2018.
Sementara jumlah penduduk miskin pada September 2019 tercatat 24,79 juta orang. Angka ini turun dibandingkan catatan. Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2018 sebesar 9,82% atau 25,95 juta jiwa adalah yang terendah sepanjang sejarah. Benarkah demikian?
Sementara Bank Dunia baru saja merilis laporan bertajuk Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class. Di dalam laporan tersebut dijelaskan, meski pemerintah telah berhasil menekan angka kemiskinan di bawah 10 persen, sebanyak 45 persen atau mencapai 115 juta populasi penduduk Indonesia masuk kategori rentan atau terancam bisa kembali masuk kategori miskin. World Bank Acting Country Director untuk Indonesia Rolande Pryce mengatakan, kelompok tersebut adalah yang berhasil keluar dari garis kemiskinan, tetapi belum berhasil masuk ke dalam kelompok kelas menengah.
Makna Kesejahteraan
Kepala BPS Suhariyanto merincikan, pada Maret 2019 garis kemiskinan Indonesia menjadi sebesar Rp 425.250 per kapita per bulan. Asumsi ini yang dibuat Pemerintah dalam menentukan garis kemiskinan. Penentuan ambang batas kemiskinan tersebut dipertanyakan banyak kalangan. pasalnya, standar Pemerintah dalam menentukan angka kemiskinan tidak logis.
Bayangkan, setiap orang dengan pengeluaran Rp 15 ribu rupiah perhari, misalnya, dianggap telah sejahtera. Mereka dianggap bukan orang miskin. Padahal jelas, dengan Rp 15 ribu perhari, orang hanya bisa makan sekali sehari. Itu pun alakadarnya. Lagi pula, manusia hidup tak cuma butuh makan. Apalagi cuma sekali sehari. Manusia hidup juga butuh pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, biaya transportasi, dll. Faktanya, semua itu tidak gratis.
Jelas standar kemiskinan Rp 13 ribu perhari sangat merendahkan orang miskin. Apalagi PBB pada tahun 2015 telah merevisi pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1,25 dolar (AS) menjadi 1,9 dolar (AS). Berdasarkan standar ini orang dinyatakan sangat miskin jika memiliki pendapatan/pengeluaran kurang dari 1,9 dolar perhari (sekitar Rp 27.550 perhari). Jika standar PBB ini digunakan maka jumlah warga yang terkategori amat miskin akan melejit, bisa mencapai 30 persen warga Indonesia atau lebih dari 75 juta orang.
Standar Islam
Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak. Allah SWT berfirman:
Kewajiban para ayah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga secara layak (TQS al-Baqarah [2]: 233).
Tempatkanlah para istri di tempat mana saja kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian. Janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (TQS ath-Thalaq [85]: 6).
Bahkan dalam Islam, orang baru dikatakan kaya atau sejahtara jika memiliki kelebihan harta di atas 50 dirham. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah seseorang meminta-minta, sementara ia kaya, kecuali pada Hari Kiamat nanti ia akan memiliki cacat di wajahnya.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa yang menjadikan ia termasuk orang kaya?” Beliau menjawab, “Harta sebesar 50 dirham…” (HR an-Nasa’I dan Ahmad).
Mengomentari hadis di atas. Syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan, “Siapa saja yang memiliki harta sebesar 50 dirham—atau setara dengan 148,75 gram perak, atau senilai dengan emas seharga itu—yang merupakan kelebihan (sisa) dari pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal; juga pemenuhan nafkah istri dan anak-anaknya serta pembantunya—maka ia dipandang orang kaya. Ia tidak boleh menerima bagian dari zakat (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî ad-Dawalah al-Khilâfah, hlm. 173). Jika satu dirham hari ini setara dengan Rp 50 ribu saja, maka 50 dirham sama dengan Rp 2,5 juta. Kelebihan harta di atas 2,5 juta itu tentu merupakan sisa dari pemenuhan kebutuhan pokoknya (makanan, pakaian, perumahan; juga nafkah untuk anak, istri dan gaji pembantunya).
Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan
Pertama: Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 233). Rasulullah saw. juga bersabda:
Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain (HR ath-Thabarani).
Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai Zat Pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah SWT. Nabi saw. bersabda:
Janganlah kamu berdua berputus asa dari rezeki selama kepala kamu berdua masih bisa bergerak. Sungguh manusia dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merah tanpa mempunyai baju, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla memberi dia rezeki (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda: "Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu" (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Rasulullah saw. juga bersabda: "Penduduk negeri mana saja yang di tengah-tengah mereka ada seseorang yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan (perlindungan) Allah terlepas dari diri mereka" (HR Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah).
Ketiga: Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda: "Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus" (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.
Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan uang.
Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.
Hal di atas hanyalah sekelumit peran yang dimainkan penguasa sesuai dengan tuntunan syariah Islam untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Pentingnya Penerapan Syariah Islam
Saat ini kemiskinan yang menimpa umat lebih merupakan kemiskinan struktural/sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang diberlakukan oleh negara/penguasa. Itulah sistem kapitalisme-liberalisme-sekularisme. Sistem inilah yang telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Di negeri ini telah lama terjadi privatisasi sektor publik seperti jalan tol, air, pertambangan gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan tersebut yang sejatinya adalah milik mereka.
Akibat lanjutannya, menurut laporan tahunan Global Wealth Report 2016, Indonesia menempati negara keempat dengan kesenjangan sosial tertinggi di dunia. Diperkirakan satu persen orang kaya di Tanah Air menguasai 49 persen total kekayaan nasional.
Di sisi lain rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan, misalnya, rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara.
Dalam konteks global, di semua negara yang menganut kapitalisme-liberalisme-sekularisme telah tercipta kemiskinan dan kesenjangan sosial. Hari ini ada 61 orang terkaya telah menguasai 82 persen kekayaan dunia. Di sisi lain sebanyak 3.5 miliar orang miskin di dunia hanya memiliki aset kurang dari US$ 10 ribu. Karena itu mustahil kemiskinan bisa dientaskan bila dunia, termasuk negeri ini, masih menerapkan sistem yang rusak ini. Bahkan Oxfam International yang meriset data ini menyebut fenomena ini sebagai “gejala sistem ekonomi yang gagal!” (Tirto.id, 22/01/2018).
Karena itu saatnya kita mencampakkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT. Hanya syariah-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Syariah akan menjadi rahmat bagi mereka (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Lebih dari itu, penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah wujud ketakwaan yang hakiki kepada Allah SWT. []
Post a Comment