Oleh : Mia Agustiani
Pertengahan bulan Januari ini, kita dikejutkan oleh peristiwa seorang siswi SMPN Jaktim yang lompat dari lantai 4 gedung sekolah. Aksi nekat bunuh diri dari siswa inisial SN tersebut, menimbulkan banyak tanya "apa gerangan yang menyebabkan dia nekat bunuh diri, salah asuhan kah?"
Walaupun korban tidak langsung meninggal dan sempat dirawat di Rumah Sakit. Dari penemuan dilapangan menurut unggahan media sosial yang dimiliki korban, "ada jejak digital bahwa korban niat bunuh diri", ungkap AKBP Hery Purnomo, Kasatreskrim Polres Jaktim.
Pihak sekolah pun angkat suara, bahwa tidak ada tindak bullying yang terjadi pada SN.
Komisioner KPAI Retno, mengajak kepada orang tua dan guru harus lebih peka terhadap perubahan perilaku anak. Orang tua tidak boleh menyerahkan sepenuhnya kepada guru saja atas tanggungjawab pengawasan anak, justru harus bersinergi untuk menjadi rujukan penyelesaian masalah.
Ibu kandung SN ternyata sudah meninggal dunia, dia berasal dari orang tua yang bercerai, nenek yang telah meninggal, sehingga kerap kesendirian yang dialami, krisis empati yang menyebabkan kegalauan karena tertolak oleh lingkungan.
"Bunuh diri bukan tindakan instant, tapi merupakan proses yang menumpuk, berupa tekanan dari setiap titik masalah yang kompleks" tutur psikolog Liza M. Penerimaan dalam lingkungan sangat berperan penting. Ketika ditolak lingkungan dan tidak ada kedekatan orang tua, maka hoplessness yang terjadi. Dan bisa jadi menurutnya bunuh diri adalah solusi dari semua masalah yang dihadapi.
Sungguh diluar nalar solusi yang diambil, ini adalah buah sekulerisme yaitu salah satu dampak pendidikan kita di Indonesia yang hanya mengedepankan kecerdasan intelektual saja, padahal kecerdasan emosional pun harus diperhatikan, yaitu kemampuan fleksibilitas terhadap kehidupan, sosial skill yang baik, emosional skill dalam mengelola emosi, itu semua perlu dilatih dan peran serta orang tua sangat dibutuhkan. Dan kecerdasan emosional berkontribusi 80% pada keberhasilan pendidikan anak.
Dalam mencapai kepribadian Islam pada anak harus ada upaya sistemis dalam mengurusi anak sesuai dengan standart hukum-hukum hadhonah (pengasuhan) dalam Islam agar anak tidak terlantar tumbuh kembangnya.
Bangunan keimanan sejak dini menentukan bangunan diatasnya. Jika kepribadian Islam adalah tujuan dari pendidikan kita maka akidah Islam itu adalah landasannya.
Ada target proses berpikir sesuai usia anak dalam dunia pendidikan Islam yang hendak dicapai:
1. Usia dini adalah stimulus berpikir dan proses pembentukan berpikir (0-6) tahun. Keteladanan orang tua pada usia dini sangat penting.
2. Usia tamyiz adalah pembentukan metode berpikir dan proses berpikir benar (7-10) tahun, mulai membentuk pola dalam berpikir, menjadikan akidah Islam sebagai kaidah berpikir. Anak mulai mendisiplinkan diri dalam pola khususnya pola harian anak muslim.
3. Usia baligh tahap I adalah berpikir benar dan proses berpikir serius (10-14) tahun, karena informasi yang sudah diterima menuntut untuk direalisasikan bukan sekedar dihafal atau ma'lumat saja tapi sudah menjadi pemahaman yang mempengaruhi amal. Di tahapan ini anak sudah mencapai kepribadian Islamnya.
4. Usia baligh tahap II adalah berpikir serius dan proses berpikir politis (>15 tahun), pemikirannyatidak hanya seputar dirinya tapi juga mengurusi urusan orang lain, hadir di tengah-tengah manusia melakukan aktivitasamar ma'ruf nahyi munkar menjadi khairu ummah. (Yanti Tanjung, 2020)
Dengan adanya fase usia dalam pencapaian target proses berpikir pada anak, maka pola pengasuhan akan lebih kena sasaran. Berbeda dengan dunia pendidikan saat ini yang berkiblat ke Barat usia remaja bisa sampai 18 tahun bahkan 20 tahun dan masih terkategori anak-anak. Pendidikan Barat tidak memiliki teori tanda-tanda kedewasaan secara spesifik sebagaimana dalam Islam.
Dalam pergaulan sistem pendidikan sekuler saat ini remaja memiliki emosi yang labil, mudah baper, lebih senang teman-teman ketimbang orang tuanya dan lain sebagainya. Mereka, remaja yang tidak mengalami pendidikan fase usia dalam pendidikan Islam akan sangat rentan kehilangan kendali dalam menghadapi setiap problematika.
Memastikan anak sudah baligh itu penting agar orang tua memperlakukannya sesuai hukum syara'. Jika anak sudah ihtilam bagi anak laki-laki dan haidh bagi anak perempuan maka anak sudah dikatakan baligh.
Pada usia baligh mereka diperlakukan layaknya seperti orang dewasa, sudah menjadi mukallaf dibebankan hukum-hukum Allah, disini peran orang tua harus aktif dan komunikatif, adanya keterbukaan, saling interaksi pemikiran dan perasaan serta aturan-aturan hidup yang diterapkan, lakukan secara intens.
Di zaman Rasulullah SAW, anak laki-laki diberi batasan usia 15 tahun untuk terjun ke medan jihad, sebagaimana kisah ini:
Ibnu Umar radhiallahu 'anhu meriwayatkan, "Sesungguhnya Rasulullah SAW memanggil saya agar hadir kehadapannya menjelang Perang Uhud dan ketika saya berusia 14 tahun dan beliau tidak mengijinkan saya untuk hadir ke hadapannya menjelang Perang Khandaq ketika saya berusia 15 tahun dan beliau mengijinkan saya untuk berperang." Nafi' berkata, "Saya datang kepada Umar Bin Abdul Aziz yang merupakan Khalifah pada waktu itudan menyampaikan riwayat tersebut kepadanya. Ia berkata, 'Usia ini (lima belas tahun) adalah batas antara anak-anak dan orang dewasa.' Dan ia memerintahkan kepada para gubernurnya untuk memberikan tunjangan kepada siapa saja yang telah mencapai usia lima belas tahun. (HR. Bukhari)
Dari riwayat tersebut bahwa usia 15 tahun sudah dianggap dewasa, dan sudah mampu melejitkan potensi diri untuk kematangan dalam pemikiran maupun kematangan jiwa.
Dengan kata lain, peristiwa nekat bunuh diri yang dilakukan siswi SMPN tersebut sangatlah tidak mungkin dilakukan oleh remaja yang mendapatkan fase pendidikan Islam yang berkesinambungan oleh orang tua sedari dini. Karena remaja usia 15 tahun akan terikat dengan hukum syara' dan selalu menghadirkan Allah dalam setiap aktifitas ataupun masalah yang dihadapi.
Mereka akan menjadi remaja yang tangguh, inspiratif dan justru lebih memperhatikan lingkungannya daripada berlama-lama dalam kegalauan dan ketidakstabilan emosi. Dan tidak akan mudah goyah dengan bullying sepele, karena kesadaran emosionalnya langsung menyentuh naluriah ketimbang menyentuh akal anak untuk mengharapkan munculnya kesadaran rasional.
Besar harapan kasus seperti ini dapat dicegah, dengan hadirnya sosok orang tua dalam setiap tumbuh kembang anak. Tak hanya dari internal keluarga inti, semoga Negara, sekolah, masyarakat pun tidak abai dalam mewujudkan kepribadian Islam sesuai perintah Allah.
Post a Comment