Sistem Demokrasi Tak Mampu Wujudkan Kerukunan Beragama

Oleh : Dwi Daswati Rijki

Pengrusakan tempat ibadah kembali terjadi dan bukan kasus yang pertama kali. Kasus kali ini terjadi  Minahasa Utara, Sulawessi Utara (Sulut). Kasus ini viral di media sosial dan menjadi polemik. Seperti dilansir indopolitika.com (31/01/2020), aksi perusakan terhadap Masjid Al Hidayah yang berada di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), memicu reaksi keras umat Islam tak hanya di Sulut, tapi juga umat Islam di Poso Sulawesi Tengah dan beberapa kota lainnya di Sulawesi. Ribuan umat Islam berdatangan ke Masjid Al Hidayah. Tak hanya dari kota-kota sekitar Sulut, tapi juga dari Poso, Sulawesi Tengah dan beberapa kota lainnya di Sulawesi.

Menanggapi kasus tersebut, seperti dilansir politik.rmol.id (1/02/2020), komentar Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan, perusakan tempat ibadah jika dibanding dengan jumlah tempat ibadah di Indonesia memiliki rasio yang sangat kecil. Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat Brigjen Pol (Purn) Anton Tabah Digdoyo menilai apa yang dikatakan Fachru tidak tepat. Kata dia, komentar semacam itu bertolak belakang dengan semangat pemerintah yang menggaungkan untuk membangun radikalisme. "Nggak pantas Menag bicara seperti itu, katanya mau libas radikalisme. Lha kasus Minahasa ini adalah "the real radicalsm". Pengurus MUI Pusat ini menyebutkan, bahwa Fachrul sebagai menteri agama harus bisa menyejukkan suasana. Bukan malah memancik percikan radikalisme menjadi semakin besar. "Karena itu, sekecil apapun percikan api radikal intoleran harus dipadamkan .Jangan malah dikompori dengan kata-kata konyol," pungkasnya.  

Bagaimana bisa kasus perusakan mesjid kembali terjadi? Karena pemerintah tidak tegas dalam memberikan sanksi/hukuman kepada para pelaku perusak tempat ibadah (mesjid). Bahkan Menteri Agama pun menganggap kasus tersebut sebagai sesuatu hal yang kecil. Padahal kasus tersebut sangatlah urgent karena menyangkut kerukunan umat beragama. Jika kasus seperti ini terus dibiarkan dan dianggap sebagai hal yang sepele, ini akan memancing emosi dari tiap penganut agama yang pada akhirnya sikap toleransi terhadap umat beragama itu tidak diindahkan lagi

Terhadap beberapa kasus perusakan tempat ibadah umat Islam, pemerintah selalu memberikan keringanan kepada para pelaku perusakan. Tetapi berbeda ketika yang dirusak adalah gereja, maka pemerintah akan menelusuri dan menghukum para pelakunya. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa pemerintah telah bersikap tidak adil dan berat sebelah. Sikap seperti ini jauh dari seorang pemimpin yang sesungguhnya. Dan akan berpotensi memunculkan tirani minoritas.

Hal tersebut telah menunjukkan bahwa sistem demokrasi tidak bisa menjaga kerukunan beragama, dan telah gagal dalam mewujudkannya. Berbeda jauh dengan keadaan kepemimpinan Islam yang mampu menjaga kerukunan umat beragama. Di dalam kekhilafahan tidak hanya umat Islam yang berada di dalam naungannya, tetapi terdapat juga agama yang lainnya seperti Kristen dan Yahudi. Kekhilafahan tidak melarang umat Kristen dan Yahudi untuk beribadah sesuai ajaran mereka, justru memberikan dan membebaskan mereka untuk beribadah selama mereka tidak mengganggu ibadah umat yang lain. Bahkan mereka pun mendapatkan perlakuan yang sama dalam segi fasilitas didalamnya juga dilindungi sebagaimana mestinya. Dengan syarat mereka tidak mengganggu dan melakukan kerusakan di kekhilafahan. Hanya didalam sistem Islamlah kerukunan umat beragama bisa terwujud.

Post a Comment

Previous Post Next Post