Oleh : Ummu Hawa el-Shirazy
(Santri PIRT Khodimus Sunnah)
Belum genap sepekan menjabat, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasilan (BPIP) Yudian Wahyudi membuat pernyataan kontroversial. Seperti dikutip dari salah satu pernyataannya kepada media daring nasional, Yudian mengatakan, musuh terbesar Pancasila adalah agama, bukan kesukuan. Pernyataan itu terkait dengan adanya kelompok-kelompok tertentu yang mereduksi agama sesuai dengan kepentingannya sendiri dan bertentangan dengan Pancasila (news.detik.com, 12/02/20).
Pernyataan Yudian yang tidak mendasar dan irrasional ini kemudian viral dan menuai kritik dari berbagai kalangan. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, misalnya, turut memberi tanggapan soal pernyataan Yudian Wahyudi. Haedar menilai, seorang pejabat harus cermat dalam berkata dan membuat pernyataan ke publik. Reaksi serupa juga diperlihatkan oleh Mantan Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Beliau mencuitkan di akun twitternya @hnurwahid, "Pernyataan radikal Ketua BPIP itu ahistoric & irrasional. Presiden Sukarno & Suharto tak jadikan agama sebagai musuh Pancasila. Bung Karno muliakan agama dalam relasi dengan Pancasila (saat di BPUPK, Panitia 9 maupun PPKI). BPIP tidak dibentuk untuk membuat gaduh seperti ini."
Sebelumnya, Yudian Wahyudi yang menjabat sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta pernah membuat kebijakan yang kontroversial juga yaitu larangan bercadar bagi mahasiswi tahun 2018, dan juga salah satu yang meloloskan disertasi yang menghalalkan zina atau seks non marital karya Abdul Aziz tentang milk al-yamin.
Sangat disayangkan, sosok Yudian sebagai seorang muslim seolah tak mengenal ajaran agamanya. Rekam jejaknya sebagai rektor dari sebuah perguruan negeri Islam tak pernah memihak syari'at bahkan cenderung anti syariat. Hal ini menguatkan dugaan bahwa ada kebencian terselubung terhadap agama terutama agama Islam yang di bangun di negeri ini. Allah berfirman dalam Qs. Al-Imron [3] ayat 118,
"........ Sungguh telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat."
Diskursus pancasila dengan agama terus menerus dibenturkan. Pemilihan kata "musuh terbesar" yang salah diantara rentetan penjelasan panjang lebar Yudian, terlanjur menyakiti hati umat beragama, terutama agama Islam. Menyebut agama sebagai musuh ideologi Pancasila tak ubahnya seperti kaum sosialis-komunis dan atheis yang menganggap agama sebagai candu dengan berupaya mereduksi bahkan menghapus keberadaan agama. Sehingga agama, terutama Islam, harus disingkirkan dari kehidupan.
Padahal, agama tidak mungkin bertentangan dengan Pancasila, sebab Pancasila hadir karena Indonesia merupakan negara yang penduduknya beragama. Pancasila memang bukan bagian dan lahir dari syariat Islam, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak bertentangan dengan Islam karena isinya merupakan hasil dari perjuangan para ulama negeri ini meski tidak secara utuh.
Islam dan Pancasila faktanya memang beda. Islam bukan Pancasila, dan Pancasila bukan Islam. Islam ada sebelum Pancasila. Bahkan ada sebelum negara Indonesia ini lahir. Kepiawaian Islam dalam mempersatukan keberagaman serta kemampuannya memberi solusi atas problem-problem kehidupan sudah teruji sepanjang sejarah peradaban manusia. Islam adalah agama politik spiritual yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam. Mengajarkan konsep-konsep keimanan, sekaligus menuntun manusia dalam menjalani kehidupan sesuai fitrah penciptaan, sebagaimana firman Allah dalam Qs Al-Anbiya [21] ayat 107,
"Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."
Karenanya, Islam tidak bisa dibenturkan dengan Pancasila sebagai sebuah falsafah yang mengajarkan nilai-nilai moral, atau ditempatkan di bawah pancasila, apalagi disingkirkan atas nama pembumian nilai-nilai Pancasila.
Meski pernyataan Yudian yang kontroversial ini sudah diklarifikasi dengan menyatakan bahwa yang ia maksud adalah bukan agama secara keseluruhan tapi mereka yang mempertentangkan agama dengan Pancasila (republika.co.id, 13/02/20) namun statement-statement kebablasan tanpa arahan syariat sepertinya akan terus bermunculan di sistem demokrasi sekuler ini.
Jabatan tinggi, dengan gaji yang bombastis begitu melenakan sampai-sampai lupa bahwa setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawaban. Harta dan jabatan seolah-olah lebih berharga ketimbang keimanan dan ironisnya banyak mengantarkan pejabat publik menjadi penentang syariat.
Semoga para pejabat negara bisa cepat belajar, bahwa bermain-main dengan agama hanya akan mengundang keburukan. Setidaknya umat akan melihat, bahwa kepemimpinan yang tidak tegak atas dasar Islam, sama sekali tidak bisa diharapkan bisa membawa kebaikan, apalagi keberkahan.
Satu-satunya solusi untuk menghadapi perilaku kebablasan, dangkal akidah, membenci ajaran agama hingga menyakiti kaum muslimin ini hanya bisa diatasi dengan diterapkannya syariat Islam melalui institusi Islam, yakni khilafah rasyidah ala minhajin nubuwwah.
Wallahu a’lam bish showab
Post a Comment