Oleh: Nur Izzati Fajriyah, S.S., M.Pd
(Pemerhati Sosial-Malang)
Presiden Joko Widodo resmi melantik Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Yudian Wahyudi, sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada hari Rabu (5/2/2020) di Istana Negara, Jakarta Pusat.
Pengangkatan ini menimbulkan respon pro dan kontra di tengah masyarakat termasuk tokoh. Salah satunya adalah Anton Tabah, anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Beliau merasa heran dengan bapak Presiden yang telah mengangkat orang yang pernah mendapat peringatan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena Yudian telah menyetujui disertasi salah satu kandidat doktor yang mengambil tema tentang bolehnya hubungan seks di luar nikah. Bahkan beliau katakan juga Yudian pernah melarang mahasiswi UIN bercadar. Anton Tabah menyayangkan keputusan Presiden ini karena Bapak Anton menilai membolehkan seks di luar nikah dan pelarangan cadar merupakan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila.
Jika dilihat lebih jauh, pengangkatan ketua BPIP yang menimbulkan pro-kontra ini semakin menguatkan absurditas Pancasila dan tentang siapakah sosok yang Pancasilais itu sebenarnya. Dari dulu, perdebatan soal apakah Pancasila itu ideologi ataukah bukan sebenarnya belum usai. Jika ideologi, apakah layak diemban oleh sebuah negara, dijadikan falsafah dasar untuk mengatur rakyat. Memang, beberapa kali dari pihak pemerintah, termasuk Presiden Jokowi sendiri selalu mengatakan bahwa Pancasila itu sudah final sebagai ideologi bangsa Indoensia. Tidak perlu diutak-atik dan diperdebatkan lagi.
Namun, klaim pemerintah bahwa Pancasila itu sudah paripurna sebenarnya masih mengusik ruang berpikir rakyat yang mau memfungsikan akalnya lebih jauh. Pertanyaan paling sederhana sesungguhnya adalah tentang apa standard benar dan salah di dalam Pancasila itu sendiri? Tentang seks di luar nikah, misalnya. Jika Presiden mengangkat seseorang yang pernah meloloskan disertasi yang menyatakan hubungan seks di luar nikah boleh dilegalkan sebagai ketua pembina ideologi Pancasila, asumsi sederhananya adalah apakah seks di luar nikah itu sejalan dengan Pancasila?
Lebih jauh, seorang ketua harusnya orang yang lebih paham tentang Pancasila setidaknya bisa dikatakan Pancasilais. Apakah yang menyepakati seks di luar nikah adalah sosok Pancasilais? Jika benar demikian, maka harusnya lebih banyak lagi orang yang menyoroti kebenaran Pancasila sebagai pandangan hidup. Karena, sangat berbahaya dan tidak bisa kita bayangkan jika di negeri yang mayoritas kaum muslimin ini seks di luar nikah dilegalkan. Jika sebenarnya seks di luar nikah bertentangan dengan Pancasila, lantas mengapa Rektor UIN ini yang diangkat menjadi kepala BPIP? Apakah ada motif lain di balik pengangkatannya? Jika ada motif lain, justru semakin menguatkan absurditas Pancasila itu sendiri. Bahwa, bisa jadi sebenarnya Pancasila tidak eksis dan tidak benar-benar diniatkan untuk eksis di negeri ini.
Jika ingin mencari titik terang dari absurditas Pancasila, harusnya Pancasila diuji dari segi standard benar dan salah. Sebagaimana ideologi yang pernah dan sedang eksis di dunia yaitu Islam, Kapitalisme, dan Sosialisme, harusnya Pancasila memiliki landasan yang jelas. Landasan Islam jelas, yakni meyakini Allah sebagai pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan serta sebagai pengatur kehidupan manusia. Untuk itulah, di negara yang mengemban ideologi Islam, aturan yang diterapkan atas rakyat bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan kapitalisme berasaskan sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan. Paham kapitalis meyakini adanya Sang Pencipta tapi tidak menghendaki aturan Tuhan di dalam seluruh aspek kehidupan sebagaimana yang kita rasakan hari ini.
Sementara sosialisme meyakini dialektika materialisme sehingga aturan yang lahir dan diterapkan oleh negara mengikuti perkembangan alat-alat produksi. Sosialisme pernah tegak diemban negara, Uni Soviet. Namun, tidak lama, sosialisme runtuh. Tinggallah kapitalisme yang memimpin dunia hari ini. Hanya saja, sudah menjadi rahasia umum ketika kapitalisme yang merajai dunia, kerusakan demi kerusakan semakin nyata. Terutama adalah kesenjangan si kaya dan si miskin.
Sosialisme sudah runtuh. Kapitalisme memberikan kesengsaraan. Sementara ideologi Islam pernah memimpin dunia dengan memberi rahmat bagi semesta alam di bawah naungan negara Islam, khilafah Islamiyah. Sedangkan Pancasila? Masih dengan pro-kontra dan absurditasnya. Lebih-lebih setelah pengangkatan ketua BPIP yang baru. Jika masih absurd begini, sudah saatnya kita beralih pada ideologi yang jelas secara landasan dan terbukti memberi kebaikan, yakni ideologi Islam.
Post a Comment