Negara Telah Mati Rasa



Oleh : Eviyanti
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

Lima tahun terakhir, pemerintah memutuskan mencabut sejumlah alokasi subsidi. Dan alasannya pun beragam.

Dikutip dari Merdeka.com, jum'at, 17/01/2020, salah satu alasan pencabutan itu karena subsidi akan dialokasikan ke kalangan yang lebih berhak atau masyarakat yang kurang mampu, sehingga dana subsidi akan dialihkan untuk pembangunan.

Ada tiga subsidi energi yang dicabut selama pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Pertama, BBM Bersubsidi, di awal periode kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden, menghapus subsidi BBM, khususnya premium. Menurut beliau, keputusan ini merupakan bentuk upaya pemerintah memperbaiki kesalahan masa lalu dengan mengalihkan subsidi BBM yang nilainya mencapai Rp. 300 triliun per tahun. Kedua, listrik 900 VA, pada Januari 2020, pemerintah juga mencabut subsidi listrik 900 VA rumah tangga mampu (RTM). Tarif listrik golongan pelanggan itu akan disesuaikan dengan golongan pelanggan non subsidi. Dengan pencabutan subsidi listrik untuk golongan pelanggan 900 VA RTM, maka tagihan listriknya akan naik Rp. 29 ribu per bulan. Namun, pemerintah urung menaikkan tarif listrik 900 VA untuk golongan RTM. Stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat jadi pertimbangannya. "Belum (ada kenaikan). Kami jaga kestabilan dulu," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, di Jakarta, dikutip dari Setkab.go.id, Senin, 30/12/2019. Dan ketiga, elpiji gas 3 kg. Nantinya subsidi tidak akan diberikan per tabung, tapi langsung ke penerima manfaat alias masyarakat tidak mampu. "Penerapan subsidi elpiji tertutup tidak lagi pada barang, tapi tepat sasaran," kata pelaksana tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Djoko Siswanto, di Jakarta. (Merdeka.com, 17/01/2020)

Untuk masalah elpiji 3 kg ini, sejumlah pedagang kecil atau UMKM mengkritik rencana pemerintah memberlakukan kebijakan pencabutan subsidi dan pembatasan elpiji melon. Seperti yang terjadi pada Iwan (49) pedagang soto di kawasan Sabang, Jakarta Pusat, mengaku bakal terbebani dengan perubahan skema subsidi itu. Pasalnya, kebutuhan gas melonnya mencapai 3 tabung untuk 2 hari. Dalam seminggu berarti minimal ada 9 tabung gas yang ia butuhkan. Kalau pembelian tabungnya dibatasi seperti rencana Dirjen Migas, praktis ia akan terpukul dengan kenaikan harga drastis. Saat ini saja harga gas yang ia beli berada di kisaran Rp. 18-20 ribu per tabung dan bisa membengkak menjadi Rp. 37-40 ribu per tabung tanpa subsidi. "Kalau gitu repot ya. Dibatesin gitu. Kalau enggak cukup nanti enggak bisa dagang. Kalau ramai mah enggak berasa, masalahnya kita enggak selalu ramai," ucap Iwan saat ditemui reporter Tirto, Sabtu (18/01/2020).

Beginilah yang terjadi di negara kita, ketika tidak menerapkan hukum-hukum Allah Swt. Dimana pemerintah yang menyatakan pro rakyat namun kenyataan tidak demikian. Karena semua kebijakannya sejak dulu tidak menunjukkan pro rakyat, namun semakin menyengsarakan rakyat.

Seperti masalah subsidi yang merupakan salah satu resep kapitalis dalam mengatasi gejolak rakyat, bukan wujud tanggungjawab negara untuk melayani dan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat. Kezaliman ini jelas sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat, terutama kalangan menengah ke bawah. Rakyat semakin terbebani dengan mahalnya berbagai kebutuhan hidup.

Dalam Islam, kebutuhan dasar masyarakat menjadi tanggungjawab dan kewajiban negara. Dimana negaralah yang mengatur pemberian layanan pada seluruh warga tanpa diskriminasi (kaya dan miskin). Namun, penguasa saat ini tampak berlepas tangan dari kewajiban untuk menjamin berbagai kebutuhan dasar yang menjadi hak rakyatnya.

Mari kita bersegera untuk menjalankan semua ketentuan Allah Swt. dan Rasul Nya, dengan cara melaksanakan seluruh syariah Islam. Penerapan seluruh syariah Islam membutuhkan peran negara. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini.

Wallahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post