Oleh: Abida Wadiatun Ilahi
Masih tentang Natuna yang sejak
beberapa pekan lalu menjadi ramai diperbincangkan. Mengulas kembali peristiwa
yang terjadi, bahwa ada beberapa kapal nelayan milik Cina yang memasuki wilayah
perairan Natuna Utara yang secara berdaulat adalah wilayah Indonesia.
Berdasarkan ungkapan pihak bakamla, badan keamanan laut indonesia, dalam salah
satu acara diskusi TV yang bertajuk “Ada Cina di Natuna”, pihak Cina mengaku
bahwa wilayah setempat adalah bagian dari laut Cina Selatan. Kemudian dalam
perkembangannya, seolah menantang, Cina kembali memasukkan sekitar 30 kapal
nelayan yang di-backup oleh kapal Coast Guard militernya.
Terlepas dari kasus kapal nelayan Cina,
perairan Natuna adalah wilayah yang kaya dari berbagai segi; hasil laut,
keindahan panorama, bahkan cadangan migas yang sangat besar. Hasil laut Natuna
diantaranya adalah cumi-cumi, lobster, kepiting hingga rajungan. Dilansir dari
detik.com (5/1/20), ada 23.499 ton potensi cumi-cumi, 1.421 ton lobster, 2.318 ton kepiting dan 9.711 ton rajungan per
tahun. Belum lagi berbicara tentang komoditas perikanan tangkap potensialnya.
Kemudian dari segi cadangan migas,dilansir dari kompas.com (4/1/20) salah satu
blok migas yang sangat besar adalah lapangan gas Natuna D-alpha dan lapangan
gas Dara. Survei seismik laut berhasil menemukan cadangan migas terbesar
sepanjang 130 tahun sejarah permigasan Indonesia dengan cadangan gas 222
triliun kaki kubik dan 310 juta bbl minyak, dengan luas 25 x 15 km2 serta tebal
batuan reservoir lebih dari 1.500 meter.
Terhadap kasus natuna ini, tentu
semua kalangan yang memahaminya akan berkomentar marah akan sikap Cina yang
seolah menggambarkan sikap semena-mena terhadap Indonesia sendiri. Terlihat
dari timbal balik polisi kelautan cina yang kekeh mengakui wilayah tersebut
sebagai wilayah mereka yang sudah jelas secara berdaulat milik Indonesia.
Bahkan lebih dari itu, pengiriman 30 kapal nelayan mereka yang dibackup langsung Coast Guard militernya semakin mempertegas pengakuan mereka. Namun
di sisi lain, beberapa elemen pemerintah Indonesia malah lebih memilih lembek
dalam bersikap. Hal ini setidaknya tergambar dari pernyataan-pernyataan “Cina
adalah negara sahabat”, “Kita tidak boleh bersikap terlalu keras karena itu
akan mempengaruhi investasi” dan yang sejenis lainnya. Jika kita melihat lebih
luas, sikap lembek yang ditunjukkan pemerintah Indonesia ini setidaknya
dipengaruhi dua hal, yakni investasi-investasi Cina di banyak sektor Indonesia
dan ketergantungan rezim terhadap pemerintahan Cina.
Tak dipungkiri lagi perihal
investasi Cina yang banyak di Indonesia. Bahkan, sempat menjadi buah bibir
media-media Indonesia sampai tenaga kerjanya pun didatangkan langsung dari
Cina.Muncul persoalan, bagaimana seharusnya sebuah bangsa yang berdaulat menyikapi investasi
atau kerjasama-kerjasama antar negara dengan tepat dan bijak hingga tak sampai
mempengaruhi wibawa negara-negara yang menjalin kerjasama? Jika dalih ‘negara
sahabat’ atau sejenisnya menjadikan sikap lemah dan tidak marah ketika
kedaulatan negara hendak dirampas, dapat dikatakan pantas menyamakan investasi
dan kerjasama-kerjasama di sistem kapitalis ini sebagai penjajahan gaya baru.
Ditambah lagi dalam hal ini, perairan Natuna Utara termasuk wilayah yang
menawarkan SDA yang melimpah seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Tak
heran jika akan ada atau bahkan sudah ada motif-motif tersembunyi lain dalam
kasus natuna ini, sebagaimana dahulu hindia belanda adalah wilayah jajahan yang
melimpah rempah-rempahnya. Sehingga, Secara halus, perlahan, namun pasti
kerugiannya jika tidak berhati-hati.
Secara perlengkapan militer dan
kesiapan, memang Indonesia lemah dan kalah telak dari Cina, berdasarkan
gambaran perbandingan kepersenjataan Indonesia dan China dalam suatu acara TV
sebuah diskusi yang bertajuk Ada Cina di Natuna, namun iakah mesti diikuti
dengan sikap mental yang juga lemah? Dimana akan diletakkan harga diri bangsa
jika dalam kondisi seperti itu kekuatan mental juga dilemahkan. Teringat akan
perjuangan para pejuang kemerdakaan bangsa nan tercinta di masa silam.Terngiang kekuatan mental dari
cahaya iman yang mengiringi mereka. Semoga Allah merahmati pejuang-pejuang
ikhlas nan terhormat hingga kini. Sejauh mana bangsa ini telah merdeka dan meninggalkan
kondisi serba kekurangan di masa perjuangan waktu dahulu? Hingga kini pun masih
relevan rasanya menggambarkan kondisi Indonesia menghadapi Cina di perairan
Natuna Utara dengan Indonesia terhadap para penjajah sebelum kemerdakaan.
Faktanya, Indonesia kini merdeka. Faktanya, para pejuang memang tidak memiliki
senjata secanggih lawan di masa itu, hanya bambu runcing yang sungguh tak
sebanding. Begitu lemah dari sisi perlengkapan.
Namun, kekuatan mental karena imanlah yang menggerakkan mereka. Mereka
tidak lemah secara mental dan perjuangan. Masa lalu memang sebagiannya adalah
cermin untuk introspeksi diri bagi mereka yang biijak. Maka, tidakkah Indonesia kini bercermin kepada
pejuang-pejuangnya di masa lalu?
Dari sejarah kemerdekaan Indonesia
yang original kita tahu bahwa nikmat kemerdekaan tersebut sama sekali tidak
bisa dilepaskan dari peran Islam dan orang-orangnya di masa silam. Sehingga tak
salah jika banyak ulama kita yang menyampaikan bahwa Indonesia merdeka dengan
pekikan takbir. Tergambar bagaimana Islam melunakkan hati-hati pejuang-pejuang
di masa lalu untuk bersatu, bergandengan tangan, menjaga batasan-batasan Allah
agar kemerdekaan bagi Indonesia. Tentu saja Islam mewarisi sikap mental yang
kuat yang dimiliki para pejuang terdahulu dengan ajarannya, mewarisi agar
pejuang-pejuang terdahulu bersatu tidak berpecah-belah dan beliau-beliau
berpegangteguh pada ajaran islam tersebut hingga muncullah kekuatan dahsyat
yakni tiada ketakutan selain kepada Allah. Buktinya, penjajah yang berperlengkapan
canggih melawan bambu runcing yang seadanya melahirkan Indonesia merdeka. Kini,
bagaimana Indonesia mengisi kemerdekaan? Sudahkah mengamalkan apa-apa yang
diamalkan pejuang kemerdekaan? Namun, kini dengan kasus natuna ini dan begitu
banyak kasus lain dibelakang bahkan didepannya Indonesia terlihat lemah dengan
tanggapan-tanggapan penguasanya yang tidak mencerminkan sikap negara yang
independen. Jika sikap-sikap Islami para pejuang di masa silam dimiliki oleh
umat Islam sekarang bagaimana jadinya? Karena itu, umat Islam harus bersatu,
bergandengan tangan, dan menjaga batasan-batasan Allah agar rahmat dan
keberkahan menyertai dalam mengisi kemerdekaan ini. Dengan perstuan umat dan
mengamalkan sikap para pejuang di masa silam, kasus natuna, bahkan kasus-kasus
yang lain akan teratasi dengan cara yang terbaik dengan izin Allah in syaa
Allah. Lemah perlengkapan namun tak lemah dalam sikap mental.
Lebih dari itu, pernah ada sebuah institusi
yang berwibawa dan sangat terkenal kewibawaannya di masa silam, sangat benar
untuk bangsa-bangsa kini bercermin kepadanya. Di mana dalam peraturannya, Ia
memiliki landasan pemikiran yang kuat melebihi jangkauan dunia yang kemudian
dari landasan berpikir itulah ia mengembangkan berbagai peraturan-peraturan
cemerlang yang menyejahterakan rakyatnya tentu saja dan bahkan lebih dari
sekadar kesejahteraan yang didapat yakni ridho Tuhannya pun soalan utama, tak
terkecuali dalam mengatur hubungannya dengan negara-negara lain disekitarnya.
Dari sanalah ia dikenal dan dirasakan kewibawaannya. Institusi ini adalah
Institusi Khilafah yang telah berabad tahun lamanya berdiri tegak menguasai dua
per tiga dunia. Khilafah dalam politik luar negerinya adalah dakwah dan jihad
kemudian politik dalam negerinya adalah menerapkan syariat Islam yang tentu
saja akan mendatangkan rahmat tidak hanya bagi rakyat melainkan juga bagi
seluruh alam. Sehingga dalam hal investasi dan kerjasama-kerjasama antar
negara, khilafah tidak akan sembarangan. Jika itu akan memperlemah institusi
Khilafah maka investasi maupun jenis kerja sama sejenis akan sama sekali
ditolak. Khilafah memenuhi segala keperluannya dengan memaksimalkan SDA dan SDM
yang dimiliki dan dengan penjagaan syariat Islam tentu saja, selain itu masih
ada lagi sumber pendapatan lainnya bagi Khilafah. Begitu juga perihal
batas-batas wilayah, negara Khilafah tentu saja sangat memperhatikan hal
tersebut. Salah satu caranya adalah memperkuat penjagaan di wilayah-wilayah
perbatasan dengan penjagaan penuh. Kalau kini negara-negara bermasalah dengan
kadang terlepasnya suatu daerah atau wilayah dari negaranya entah karena apa
pun, maka tahukah bahwa di negeri Khilafah bahkan sebaliknya. Batas wilayah
tidak konstan, melainkan berkembang seiring perkembangan dakwah Islam.
Post a Comment