Moderasi Islam dan Kemunduran Pemikiran


Oleh : Maya Dhita
Aktivis Muslimah dan Member  Akademi Menulis Kreatif

Akhir-akhir ini banyak bermunculan istilah baru dan lama yang kembali diviralkan mengenai pemahaman Islam. Misalnya kosmopolitanisme Islam, moderasi Islam, Islam nusantara, wasathiyah, Islam moderat. Istilah ini pun terdengar lebih bijak dan luwes untuk diterapkan di Indonesia dengan latar belakang suku, agama, dan ras yang beragam. Namun, apa sebenarnya yang terjadi di balik munculnya ide-ide baru ini?

Berbagai upaya dilakukan barat untuk membendung pemikiran Islam, murni sebagai jantung berlangsungnya kehidupan Islam dalam institusi khilafah. Ketakutan barat cukup beralasan, walaupun kekhilafahan Turki Utsmani telah mampu mereka runtuhkan. Namun, pemikiran Islam, murni masih ada di benak para ulama-ulama lurus dan pembelajar-pembelajarnya. Seperti bara dalam sekam.

Barat masih menggunakan cara lama untuk membendung kebangkitan Islam. Sama seperti saat mereka meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah. Yaitu dengan menggelontorkan pemikiran-pemikiran baru di luar Islam seperti filsafat India, Persia, dan Yunani ke tubuh umat Islam. Mereka menggunakan cara halus, tanpa kekerasan dan peperangan. Sebab mereka tahu umat Islam memiliki jiwa berjihad yang sangat kuat. Menggunakan tangan-tangan muslim sendiri untuk menjalankan rencana busuk mereka. Menancapkan kuku-kuku mereka pada muslim-muslim berpengaruh yang memiliki pemikiran lemah dengan memberikan sedikit imbalan materi dan kekuasaan. Sehingga, kita dapati petinggi negeri dan mereka yang terpelajar maupun terpandang di negeri ini memberikan statemen yang bertentangan dengan pemikiran Islam.

Mereka memasukkan pemikiran kapitalis ke dalam otak pelajar dan mahasiswa. Dengan tujuan menjauhkan umat dari pemikiran Islam murni yang bersumber pada  ajaran Islam dan nash. Bahkan, sekelas Grand Syaikh Al Azhar pun telah terkontaminasi oleh pemikiran ini. Seperti diberitakan pada media online NU (www.nu.or.id/10/02/2020) mengenai pertemuan bersejarah antara Grand Syekh Azhar Ahmed al-Thayeb dan Paus Fransiskus di Uni Emirat Arab (UEA), pada Senin (4/2) yang menandatangani Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan.  Memberikan harapan baru atas hubungan antarumat beragama yang sebelumnya mengalami banyak persoalan.

Ide pemikiran lama dengan nama baru ini melogikakan bahwa permasalahan-permasalahan kontemporer tidak ada hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah. Sehingga, kita harus memaknainya secara kontektual. Membuat pembaharuan hukum yang bisa diterapkan sesuai dengan waktu dan tempat terjadinya. Hukum yang mampu mendamaikan semua pihak. Bersifat lebih lunak dan lebih luwes. Bahkan, bila hukum tersebut bertentangan dengan isi Al-Qur'an dan sunah pun tetap akan dilegalkan atas dasar kemanusiaan.

Di dalam Islam, terdapat empat sumber hukum yang wajib untuk diketahui. Dua sumber yang utama yaitu Al-Qur'an dan sunah. Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi saw., “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

Sumber hukum Islam yang ketiga ada ijma. Secara istilah, ijma adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid yang dilakukan setelah zaman Rasulullah untuk menentukan solusi dari sebuah masalah dalam perkara agama.

Sumber hukum keempat adalah qiyas. Qiyas dapat diartikan sebagai analogi. Qiyas menurut istilah ushul fiqhi, ialah menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur'an dan sunah), karena adanya persamaan illat hukumnya (motif hukum) antara kedua masalah itu. Adapun dalam pengambilan keputusan atau hukum melalui ijma atau qiyas tetap tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunah. Begitu pula dengan permasalah-permasalah kontemporer harus tetap diputuskan dan diambil hukumnya berdasarkan keempat dasar hukum ini melalui jalan ijtihad.

Jadi bukan Al-Qur'an dan sunah yang tidak relevan sebagai sumber hukum kontemporer. Tetapi karena keterbatasan muslim itu sendiri yang tidak mampu beritjihad dengan benar dikarenakan kemunduran berpikirnya. Salah satu penyebabnya adalah ditinggalkannya bahasa Arab sebagai ilmu yang wajib dipelajari umat muslim. Allah Swt. berfirman,

"Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (TQS. Yusuf: 2).

Imam Syafi'i rahimmahullah pernah berkata, 
"Wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari bahasa Arab dengan sekuat tenaga agar bisa menjalankan yang wajib.”

Sebagai seorang muslim yang berpemikiran Islam, hendaknya kita mampu berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam. Mempelajari pemahaman Islam yang murni yang Islami dan tidak bercampur dengan pemahaman asing di luar Islam. Pemahaman yang bersandar pada ajaran Islam dan nash semata.

Sebagaimana kita ketahui bahwa perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh pemahamannya. Dengan kuatnya pemahaman yang benar tentang Islam, maka membuat seorang muslim kuat dalam menjalani kehidupan. Sehingga, tidak akan terpengaruh oleh berbagai pemahaman kontemporer yang bathil. Sebaliknya, pemahaman yang lemah tentang Islam menyebabkan sikap dan perilaku yang lemah dalam menghadapi kehidupan. Inilah yang disebut kemorosotan dalam berfikir. Menjadikan umat mudah dijajah secara lahir maupun pemikiran.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post