Penulis : Irianti Aminatun
(Siswi Ma’had Khodimus Sunnah)
Islam merupakan Din yang Allah turunkan untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia dengan seperangkat aturan yang agung nan paripurna, datang dari Rabb Pencipta Alam Semesta.
Islam merupakan aturan agung yang mencakup perkara akidah (keyakinan) maupun hukum syariah (amal perbuatan), dari mulai persoalan individu, keluarga, hingga persoalan komplek tata kelola kehidupan bernegara.
Kesempurnaan Din Islam ini sejalan dengan prinsip bahwa Allah swt telah menurunkan al Quran sebagai pedoman hidup manusia yang menjelaskan segala sesuatu. Abdul Qadim Zallum ketika menegaskan kesempurnaan Din Islam menukil firmanNya :
ÙˆَÙ†َزَّÙ„ْÙ†َا عَÙ„َÙŠْÙƒَ ٱلْÙƒِتَٰبَ تِبْÙŠَٰÙ†ًا Ù„ِّÙƒُÙ„ِّ Ø´َÙ‰ْØ¡ٍ ÙˆَÙ‡ُدًÙ‰ ÙˆَرَØْÙ…َØ©ً ÙˆَبُØ´ْرَÙ‰ٰ Ù„ِÙ„ْÙ…ُسْÙ„ِÙ…ِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) sebagai penjelas atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS an Nahl [16]:89).
Ayat di atas menegaskan kesempurnaan Din Islam. Kesempurnaan itu ditunjuk oleh kalimat tibyaanan likulli syaay’ yang bermakna sebagai penjelasan atas apa-apa yang dibutuhkan oleh umat. Dalam perinciannya, kedudukan al Quran diperjelas oleh As Sunnah yang menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan umat. Rincian ini menjadi dasar kokoh yang membuktikan adanya paradigma asasi; adanya konsep politik dalam Islam, yakni konsep pengaturan Islam atas kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tak bisa dipisahkan.
Allah tidak membiarkan manusia hidup menderita karena mengalami kebingungan tanpa pedoman. Maka Allah menurunkan kitab sebagai pedoman berupa al Quran, dan memilih utusanNya yang memandu manusia memahaminya. Maka menegakkan ajaran Islam adalah kemuliaan, berpegang teguh padanya adalah sebab keselamatan.
Kesempurnaan Din Islam juga ditunjukkan oleh keagungan mengatur kehidupan dunia, dalam wujud kehidupan bernegara. Ayat-ayat al Quran dan hadis-hadis Nabawiyah yang menyinggung soal pemerintahan dan kepemimpinan politik, adalah bukti tak terbantahkan kesempurnaan Islam sebagai Din yang mengatur tatakelola negara. Tak ada yang memungkirinya kecuali mereka yang terperdaya. Konsep agung ini sebagaimana ditegaskan para ulama salaf dan khalaf, kemudian dibahasakan oleh para ulama kontemporer dengan ungkapan “Islam adalah Din dan Daulah”. Yakni Islam merupakan Din yang mengatur kehidupan bernegara. Imam al Ghazali menegaskan “Al Din itu asas dan penguasa itu penjaganya. Apa-apa yang tidak ada asasnya, maka ia akan roboh; dan apa-apa yang tidak ada penjaganya, maka ia akan hilang”.
Dengan uraian singkat diatas bisa disimpulkan bahwa Islam adalah ideologi yang mengatur segala aspek kehidupan manusia dengan paradigma istimewa, termasuk di dalamnya pengaturan atas tatakelola bernegara.
Allah swt mengutus Rasulullah saw untuk memberikan contoh pada umatnya, bagaimana mengimplementasikan konsep Islam yang paripurna itu dalam kehidupan nyata, termasuk dalam tatakelola negara.
Rasulullah bukan sekedar pemimpin spiritual , melainkan sekaligus pemimpin politik. Dalam konteks sekarang beliau bisa disebut sebagai pemimpin negara. Hal itu bisa kita lihat dalam Piagam Madinah. “Bilamana kalian berselisih dalam suatu perkara, tempat kembali (keputusan)nya adalah kepada Allah “Azza wa Jalla, dan kepada Muhammad saw.....Apapun yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakati piagam ini,berupa suatu kasus atau persengketaan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah “Azza wa Jalla dan kepada Muhammad saw” (Ibnu Hisyam, As Siirah an Nabawiyyah, 1/503-504)
Kedudukan Rasulullah saw sebagai pemegang keputusan yang wajib ditaati oleh semua kalangan yang berada dalam wilayah kekuasaan beliau, cukup jelas menunjukkan beliau adalah seorang penguasa tertinggi di wilayah tersebut.
Dalam kepemimpinannya, Rasulullah saw menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Dalam pelaksanaan penerapan syariah tersebut beliau sangat tegas. Misalnya, pada saat beliau dirayu oleh Fatimah putri kesayangan beliau untuk tidak menerapkan hukuman secara syar’i dalam kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang wanita terpandang dari kalangan Quraisy. Beliau kemudian bersabda “Wahai manusia, sungguh orang-orang sebelum kalian itu binasa karena bila yang melakukan pencurian itu orang terpandang, mereka biarkan. Tapi bila yang mencuri itu kalangan rakyat jelata, mereka menerapkan had atasnya. Demi Allah, kalau saja Fathimah putri Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya.” (HR Muslim).
Dalam menjalankan roda pemerintahannya Rasulullah hanya menjadikan Islam dan syariahnya sebagai dasar. Beliau tidak mentolerir aturan yang tidak berasal dari Islam. Beliau menyatukan masyarakat yang beliau pimpin dengan ikatan yang kokoh yaitu ikatan akidah islam yang termanifestasi dalam ukhuwwah islamiyyah serta melenyapkan ikatan-ikatan ‘ashabiyyah jaahiliyyah seperti ikatan kesukuan dan kebangsaan.
Dalam kepemimpinannya beliau juga menjalankan misi agung menyebarkan Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Misi inilah yang kemudian dilanjutkan oleh para pengganti –khulafaa-- beliau sepeninggal beliau. Hasilnya, kekuasaan Islam mencapai apa yang belum pernah dicapai oleh imperium raksasa manapun dalam sejarah manusia.
Oleh karena itu, meneladani Rasulullah saw bukan hanya dalam aspek akidah, spiritual, moral dan sosial saja. Tapi juga teladan kepemimpinan dalam bernegara, berpolitik di dalam dan luar negeri, menjalankan pemerintahan, menerapkan hukum-hukum Islam dan menyelesaikan persengketaan.
Meneladani Rasulullah berarti mengambil apa saja yang beliau bawa dan meninggalkan apa saja yang beliau larang. “Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah; dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya” (TQS al-Hasyr [59]:7)
Menerima apa saja yang di bawa Nabi saw dan menjauhi apa saja yang beliau larang hakikatnya adalah mengambil seluruh syariah yang beliau bawa dalam segala aspek sebagai pedoman. Hal ini adalah bukti kebenaran iman. “Demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara apapun yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (TQS an-Nisa [4]:65).
Karenanya pernyataan Guru Besar Tata negara Universitas Islam Indonesia yang juga Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD yang menegaskan bahwa meniru sistem pemerintahan Nabi Muhammad saw haram hukumnya, adalah pernyataan yang bertentangan dengan Islam dan bisa mencederai keimanan. Ia menegaskan hal itu pada Diskusi Panel Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia di Gedung PBNU Kramat raya, Jakarta, Sabtu (25/1) (https://www.nu.or.id).
Tak heran jika Ketua Komisi Hukum MUI Pusat Anton Tabah menyebut perkataan Mahfud sebagai keseleo lidah. Anton menjelaskan bahwa Allah swt telah menetapkan Nabi Muhammad saw sebagai teladan terbaik bagi orang beriman. Hal itu termaktub dalam al Quran yang tidak boleh diingkari. Atas alasan itu, Anton mendesak Mahfud untuk lebih hati-hati dalam berbicara dan segera bertaubat atas kesalahan yang diperbuat. (https://politik.rmol.id)
Kesedihan umat muslim yang begitu mendalam adalah saat para pemimpin yang seharusnya ada di garda terdepan dalam membela agama, nyatanya mereka malah menistakannya. Memang sejak Sistem Islam runtuh, kaum Muslimin hidup dalam sistem sekuler yang menjerat setiap muslim untuk berfikir sekuler dan menentang ketaatan sempurna pada syariat.
Sistem sekulerlah yang melahirkan para pemimpin yang senantiasa menantang Islam. Syariat hanya akan terjaga jika kaum Muslimin mengambil teladan Rasulullah dalam tatakelola negara, bukan malah mencampakkannya.
Wallahu a’lam bi showab.
Post a Comment