Oleh: Putri Hanifah, C. NNLP
(Mahasiswi Sastra Arab Universitas Negeri Malang)
Kasus korupsi seolah tidak pernah sepi dari negeri ini, padahal Indonesia adalah Negeri penyandang gelar muslim terbesar di dunia, mirisnya para pelaku korupsi itu kebanyakan adalah seorang muslim. Sungguh, suatu ironi. Tentu kita tidak lupa dengan deretan kasus korupsi beberapa tahun lalu. Ada kasus Hambalang, Wisma Atlet, Century dan masih banyak lagi. Tahun ini kita dikagetkan dengan kasus korupsi Jiwa Sraya.
Pada 16 Agustus 2018 lalu KPK merilis data bahwa sepanjang 2004 – Agustus 2018 terdapat 867 pejabat negara atau pegawai swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 311 orang di antaranya berprofesi sebagai anggota DPR dan DPRD, gubernur, bupati dan walikota yang notabene hampir seluruhnya berasal dari partai politik. Tahun lalu, KPK menyatakan potensi kerugian negara akibat korupsi diperkirakan mencapai Rp 200 triliun. Bukannya berkurang, angka korupsi pun terus naik.
Sayang seribu sayang solusi yang pemerintah ambil justru melemahkan gerakan pemberantasan korupsi. Ada beberapa sebab yang membuat penindakan korupsi makin lemah. Pertama: KPK telah dilemahkan melalui revisi UU KPK. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, terdapat 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK. Pasalnya, sejumlah kewenangan yang dulu dimiliki KPK—berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK—dikurangi. Saat ini, misalnya, ada Dewan Pengawas KPK, yang lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK. Dewan Pengawas KPK juga yang menentukan boleh-tidaknya dilakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Lumpuhnya KPK terbukti ketika tak berdaya menghadapi kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang melibatkan pejabat DPP PDIP, Hasto. Tim penyidik tak bisa melakukan penggeledahan karena Dewan Pengawas tak kunjung mengizinkan.
Lazimnya sebagai intelektual ketika akan menyolusikan suatu permasalahan tentu kita akan melihat dulu kan akar masalahnya apa? Ternyata akar masalah korupsi di negeri ini bukanlah karena personal diri saja sehingga solusi yang diambil tidak bisa sekedar menangkapi orangnya saja. Satu orang ditangkap, bisa jadi seribu orang tumbuh lagi untuk korupsi. Malah bahaya.
Ternyata kalau kita mau menelaah lebih jauh kasus korupsi kian merebak dari hari ke hari tidak lain dan tidak bukan karena mindset kapitalis yang berhasil mendarah daging dalam tubuh masyarakat akibat penerapan sistem kapitalis sekuler. Wajar jika pemberantasan korupsi saat ini diibaratkan bak mimpi disiang bolong sebab:
Pertama, sistem sekulerisme dengan akidah pemisahan agama dari kehidupan dan bernegara, menyebabkan nilai-nilai ketakwaan hilang dari masyarakat khususnya dalam ranah politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal dalam diri masyarakat, politisi, pejabat, aparatur dan pegawai. Akhirnya, semuanya hanya bersandar pada kontrol eksternal, dan pengawasan dari atasan, inspektorat dan aparat hukum. Masalahnya, mereka semua tidak jauh berbeda bahkan sama saja. Di sisi lain, hukum juga tumpul, aturan hukum yang ada mudah direkayasa dan sanksi bagi yang terbukti bersalah pun sangat ringan.
Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal menjadi salah satu sumber masalah korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi politisi, kepala daerah apalagi presiden. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh puluhan bahkan ratusan miliar, tidak akan tertutupi dari gaji dan tunjangan selama menjabat. Maka cara singkat untuk mengembalikan modal secara cepat adalah dengan korupsi.
Ketiga, korupsi telah begitu berurat dan mengakar, sementara sistem pengendalian begitu lemah. Buktinya KPK sampai dilemahkan. Keempat, dalam sistem politik yang ada saat ini, agenda pemberantasan korupsi tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok, partai, politisi, cukong, bahkan kepentingan koruptor. Hal mendasar adalah sistem hukum. Dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh wakil rakyat bersama pemerintah. Disitulah kendali partai, kepentingan kelompok, pribadi dan cukong pemberi modal amat berpengaruh.
Kelima, sering terjadi ketidakpaduan antar lembaga dan aparat. Keenam, sistem hukum berbelit untuk membuktikan kasus korupsi dan banyak celah bagi koruptor untuk lolos. Sanksi bagi koruptor juga sangat ringan. Jangankan mencegah orang melakukan korupsi, koruptor yang telah dihukum pun tidak jera untuk kembali melakukan korupsi.
Sehingga jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan korupsi ini supaya tidak sekedar ilusi hanyalah dengan menerapkan syariat Islam sampai tataran negara. Islam bukan hanya sebuah agama ritual, Islam merupakan jalan hidup yang mengatur seluruh aktivitas manusia. Pertama Akidah Islam mampu melahirkan kesadaran bahwa setiap gerak-gerik kita senantiasa diawasi oleh Allah SWT sehingga melahirkan ketakwaan pada diri masing-masing.
Kedua, sistem politik Islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah, tidaklah mahal. Sehingga tidak akan muncul persekongkolan untuk mengembalikan modal yang digunakan sewaktu menikuti pemilihan.
Ketiga, politisi dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak bergantung dan tersandera oleh kepentingan parpol, sehingga hukum tidak akan tersandera oleh kepentingan seperti dalam sistem demokrasi. Peran parpol dalam Islam adalah fokus dalam mendakwahkan Islam, amarmakruf dan nahi mungkar atau mengoreksi dan mengontrol penguasa.
Keempat, struktur dalam sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan Khalifah, sehingga ketakpaduan antar instansi dan lembaga bisa diminimalisir bahkan tidak terjadi. Faktor absennya peran kepemimpinan bisa dihindari, berbeda dengan fakta yang ada sekarang. Kelima, sanksi bagi pelaku korupsi mampu memberikan efek cegah dan jera. Bentuk dan kadar sanksi atas tindak korupsi diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi.
Post a Comment