Oleh: Rini Ummu Ihya
(Pemerhati Masalah Sosial)
Aji mumpung, begitulah kira-kira yang tergambar dari kasus korupsi di Indonesia. Mumpung menjabat, mumpung berkuasa, mumpung ada kesempatan, dll. Korupsi bak jamur di musim hujan, menyasar semua level penyelenggara negara mulai dari pemerintah daerah, pusat, BUMN, legislatif sampai yudikatif. Korupsi bernilai fantastis, miliaran hingga triliunan rupiah. Seperti kasus Jiwasraya (Rp. 13,7 T), Asabri (Rp. 10 T), Bank Century (Rp. 7 T), Pelindo II (Rp. 6 T), Kotawaringin (Rp. 5,8 T dan 711.000 dollar AS), BLBI (Rp. 4,58 T), E-KTP (Rp. 2,3 T) dan Hambalang (Rp. 706 M) (kompas.com,17/1/2020).
Baru-baru ini, kasus korupsi juga menimpa Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan mantan anggota Bawaslu Agustiana Tio Fridelia. Keduanya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap yang melibatkan petinggi partai penguasa. Silih berganti pemimpin negeri, dari periode ke periode. Tak dapat memberantas korupsi. Justru korupsi semakin menjadi. Akankah kasus korupsi berakhir jika solusi pemerintah hanya setengah hati? Sepertinya kasus korupsi sampai mati akan terus-terusan mewarnai kehidupan. Mungkin perlu solusi hukuman mati agar tidak ada lagi kasus korupsi. Sehingga benar-benar terlihat, pemerintah serius berniat memberantas korupsi.
Sistem Korup
Korupsi bukan lagi kasus orang per orang. Melainkan telah menjadi budaya di kalangan para penyelenggara negara. Bila kasus perorangan, tentu kasusnya tidak masif dan merata. Korupsi yang terjadi saling terkait antar pejabat lembaga negara. Seperti mengikuti garis komando mulai dari level atas sampai bawah. Terang sekali, korupsi ini merupakan masalah sistem. Masalah sistem terkait erat dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Sejak berdirinya, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengadopsi hukum perundangan warisan penjajah Belanda. Kelemahannya, peraturan tersebut dibuat untuk kepentingan para penjajah pada waktu itu. Meski saat ini pemerintah bersemangat mengganti peraturan perundangan. Faktanya, peraturan yang dibuat tetap memiliki ruh yang sama. Peraturan banyak merugikan rakyat dan hanya menguntungkan segelintir orang. Tengok saja kasus revisi undang-undang KPK. Dalih meningkatkan kinerja. Hal itu justru berpotensi melemahkan KPK. Walaupun rakyat menolak atas usaha pelemahan KPK. Undang-undang tersebut tetap disahkan.
Pemberantasan korupsi jauh panggang dari api. Bila sistem pengaturan negeri masih mengadopsi sistem demokrasi yang korup. Demokrasi lahir dari paham sekuler. Paham ini mengesampingkan peran Tuhan. Tuhan hanya diposisikan sebagai pencipta. Bukan sebagai pengatur kehidupan. Demokrasi telah memberi ruang pada manusia untuk membuat peraturan (undang-undang) untuk mengatur hidupnya. Baik buruk peraturan ditakar dari pandangan manusia semata. Padahal manusia tidak akan mampu membuat peraturan yang adil. Demokrasi ini melahirkan kekacauan. Demokrasi telah mendorong manusia keluar dari nilai-nilai kebenaran hakiki.
Bangsa Indonesia didominasi umat Islam. Pemimpinnya pun demikian. Namun, tidak menunjukkan perilaku yang baik. Justru sebaliknya. Mereka sibuk melakukan praktek-praktek korupsi dan kecurangan. Ini disebabkan mereka tidak menjadikan aturan agamanya sebagai panduan kehidupan. Mereka memilih demokrasi dengan berbagai ide kebebasannya. Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan bertingkah laku. Mereka membuat peraturan-peraturan yang bertentangan dengan agama. Bila hari ini korupsi dianggap haram, bukan suatu yang mustahil di masa yang akan datang korupsi menjadi halal. Dengan dalih karena kesepakatan. Itu lumrah saja dalam sistem demokrasi.
Peradilan Lemah
Tindak pelanggaran hukum terjadi bukan saja karena niat, melainkan karena ada kesempatan. Pemberantasan kasus korupsi dengan penindakan saja tidak cukup. Tanpa upaya pencegahan dan penguatan sistem peradilan. Pencegahan korupsi di Indonesia masih lemah. Faktanya, penyelenggara pemerintahan masih diisi pejabat negara yang jelas-jelas terlibat kasus korupsi.
Peradilan yang diterapkan di Indonesia merupakan produk peradilan Kapitalis. Peradilan pada sistem kapitalis sangat lemah, karena terdiri dari banyak peradilan dan hukum. Peradilan yang banyak menyulitkan proses penegakan hukum. Hukum yang dianut pun bermacam-macam sumbernya, tergantung para penyusunnya. Hal ini dapat menimbulkan kontradiksi antara hukum yang satu dengan hukum yang lain.
Di sisi lain, peradilan dalam sistem kapitalis mengenal istilah banding, kasasi, peninjauan kembali, mediasi dan voting. Karenanya, putusan pengadilan dapat diubah bahkan dibatalkan. Ini berdampak pada ketidakpastian hukum. Peradilan semacam ini menjadi lemah. Terbukti, banyak pelaku korupsi bebas dari jeratan hukum. Meski sudah masuk dalam kasus KPK. Contoh kasus, Sofyan Basir mantan Direktur Utama PT. PLN divonis bebas oleh majelis pengadilan Tipikor Jakarta pada 4 November 2019 dalam perkara pembantuan kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) (cnnindonesia.com, 5/11/2019).
Sebelumnya, Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad divonis bebas pengadilan Tipikor Bandung di Pengadilan Negeri Bandung pada 11 Oktober 2011, dalam perkara penyuapan anggota DPRD Bekasi sebesar Rp 1,6 miliar.
Solusi Islam
Islam merupakan ajaran sempurna untuk kehidupan manusia. Korupsi akan mudah diberantas dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Bagaimana Islam memberantas korupsi? Pertama, mencetak individu takwa. Setiap warga negara diarahkan dan dibimbing untuk menguasai hukum-hukum Islam (syariat Islam). Menerapkannya dalam setiap aspek kehidupan. Kedua, kedaulatan tertinggi di tangan syariah (Allah Swt). Peraturan perundangan hanya digali dari hukum Allah swt, bukan buatan manusia sehingga tercipta kepastian hukum di tengah masyarakat dan tidak rawan kepentingan.
Ketiga, khilafah menciptakan peradilan yang kuat. Menurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku “Peraturan Hidup dalam Islam”, Peradilan Islam dibangun untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara masyarakat, atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak jamaah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan aparat pemerintah, penguasa atau pegawainya, khalifah atau lainnya. Setiap perbuatan yang melanggar hukum akan diadili dengan sanksi yang menjerakan dan tanpa tebang pilih.
Peradilan Islam tidak mengenal banding, peninjauan kembali dll. Sanksi yang diterapkan bersifat pasti dan mengikat. Tidak bisa dibatalkan oleh siapa pun. Kecuali, putusan hakim bertentangan dengan hukum Islam atau vonisnya bertentangan dengan hakekat permasalahannya.
Peradilan Islam terdiri dari 3, yaitu khushûmât, hisbah dan madzâlim. Para hakim diketuai oleh seorang Qâdhî, yang disebut Qâdhî Qudhât. Khusumat adalah peradilan yang dipimpin oleh Qâdhî Khushûmât yang berwenang menyelesaikan perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalah dan ‘uqûbât [sanksi]. Hisbah adalah peradilan yang dipimpin oleh Qâdhî Muhtasib yang berwenang menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan hak-hak masyarakat. Madzâlim adalah peradilan yang dipimpin oleh Qâdhî Madzâlim berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan negara.
Wallahu a’lam.
Post a Comment