Oleh : Hj. Yeni
Permasalahan korupsi di negeri ini seakan tidak pernah sepi, bahkan tambah subur. Pemberantasan korupsi mengalami kemunduran. KPK yang diharapkan menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi makin hari makin tak berdaya, belum selesai yang satu sudah muncul yang baru, bahkan memasuki tahun 2020 kita dikejutkan munculnya kasus korupsi jiwasraya, kasus suap komisioner KPU dan kasus Garuda. Korupsi tumbuh subur di era demokrasi. Korupsi seakan sudah membudaya, virus korupsi sudah memasuki tiga Pilar demokrasi yaitu Exekutif, Legislatif dan Yudikatif. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Transparency Internasional Indonesia (TII) IPK Indonesia berada di peringkat ke 4 diantara Negara-negara Asia Tenggara.
Keberadaan lembaga hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian tidak cukup untuk bisa memberantas korupsi, bahkan adanya KPK lembaga yang diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam pemberantasasn korupsi makin hari makin tak berdaya. Adanya UU revisi KPK, kewenangan yang dimiliki KPK berkurang, KPK tidak lagi bisa menentukan penyadapan, penggeladahan dan penyitaan karena adanya Dewan Pengawas KPK. Lumpuhnya KPK terbukti ketika tidak berdaya menghadapi kasus suap Komisioner yang melibatkan pejabat DPP PDIP. Kebijakan-Kebijakan pemerintah yang menujukan bahwa tidak adanya komitmen serius dalam memberantas korupsi seperti memberi pengampunan kepada penguasa dan pengusaha yang terlibat dan memberikan hukuman yang tidak sesuai dengan perbuatan yang merugikan rakyat.
Islam adalah satu-satunya agama yang memberikan rincian keharaman hukum seputar harta yang didapat dengan kecurangan. Khusus untuk para pejabat ada aturan yang melarang mereka untuk mendapatkan harta diluar gaji/ pendapatan mereka dari Negara:
Pertama: Islam telah mengharamkan suap (risywah) untuk tujuan apapun. Rasulullah saw bersabda: ”Rasulullah SAW telah melaknat penyuap dan yang disuap” (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).
Kedua : Dalam Islam, pejabat Negara dilarang menerima hadiah (gratifikasi). Rasulullah saw bersabda: “siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah kecurangan“. (HR. Abu Daud)
Ketiga : Termasuk dalam katagori kekayaan gelap pejabat menurut Islam adalah yang didapat dari komisi/makelar dengan kedudukannya sebagai pejabat Negara.
Keempat : Islam menetapkan bahwa korupsi adalah salah satu cara kepemilikan harta haram. Korupsi termasuk tindakan Kha’in (penghianatan).
Islam memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap dan penerima komisi haram. Pada masa Rasululla saw. Pelaku kecurangan sepeti korupsi, selain harta curiannya di sita, pelakunya di Tasyir atau diumumkan kepada khalayak. Pada masa Khulafaur Rasyidin ada kebijakan yang dibuat Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Untuk mencatat kekayaan pejabatnya saat sebelum dan sesudah menjadi pejabat. Khalifah Umar ra. Juga tak segan merampas harta yang diberikan oleh para pejabat kepada karib kerabat mereka. Pelaku suap, korupsi dan penerima gratifikasi juga bisa diberi sangsi berupa hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’jir dalam sistem pidana Islam.
Pemberantasan korupsi dalam sistem Islam menjadi lebih mudah dan tegas karena Negara dan masyarakatnya dibangun atas dasar ketaqwaan. Hukumnya berasal dari wahyu, bukan dari hawa nafsu manusia sebagai mana dalam sistem Demokrasi. Karena itu sudah saat nya umat Islam kembali pada syariah Islam yang datang dari Allah Maha Sempurna.
Wallahu'alam bisshawab
Post a Comment