Islam Mengatasi Ketergantungan Impor dan Kenaikan Bawang Putih


Oleh: Rati Suharjo
Pegiat Dakwah dan Member Akademi Menulis Kreatif

Orang bilang tanah ini tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Coba, kita bayangkan  saat kita menyanyikan penggalan lagu tersebut? Apa yang kita bayangkan? Tidak lain kita membayangkan tanah yang subur dan masyarakatnya hidup makmur.
Namun sekarang apakah seperti itu? Tidak bukan, sekarang justru sebaliknya. Tanah yang subur tersebut seolah-olah tidak bisa memakmurkan rakyatnya. Buktinya, jagung, kedelai, beras, cabe, kentang, bawang merah, bawang putih, ketumbar dan yang lainya banyak yang impor.
Seperti bawang putih misalnya, Indonesia mengimpor bawang putih sebanyak 580 ribu ton pada tahun 2018 dan 465 ribu ton pada tahun 2019. Dengan jumlah tersebut membuktikan bahwa Indonesia membutuhkan bawang putih sangat banyak. 
Ditambah baru-baru ini Cina menghadapi virus Corona sehingga pengiriman ke Indonesia menjadi terhambat.
Belum lagi ditemukan penimbunan bawang putih yang terjadi di Kerawang,(detik news,17/2/2020).
Dua hal inilah yang mengakibatkan harga bawang putih naik hampir 100% di seluruh Indonesia.
Dilansir oleh Batam pos.co.id (17/2/2020), bahwa harga bawang putih di pasaran Batam naik hingga Rp 55 ribu perkilo, begitu juga di Jakarta, Bandung, dan Surabaya sama mengikuti lonjakan harga tersebut.
Dengan adanya lonjakan tersebut telah membuktikan bahwa Indonesia hampir 100% bawang putih berasal dari Cina.
Dilansir dari suara.com (10/10/2019), menurut Badan pusat statistik (BPS) bahwa Indonesia adalah mengonsumsi bawang putih sebanyak 400 ribu ton setiap tahun.
Padahal Indonesia banyak daerah-daerah yang cocok untuk budidaya bawang putih, akan tetapi lahan-lahan tersebut semakin  menyusut ditambah lagi bibit unggul pun sulit untuk ditemukan. Padahal seandainya lahan-lahan dikembangkan dan didukung iklim yang cocok ditambah bibit disediakan oleh pemerintah maka, Indonesia tidak akan menjadi  ketergantungan dengan impor.
Sebab impor yang jumlahnya 95% itu tidaklah sedikit dan wajib untuk mencari perhatian agar mendapatkan solusi yang tuntas. Dan dampaknya pun sangat jelas baik secara ekonomi maupun politik. Jika dibiarkan, secara otomatis yang dirugikan adalah para petani.
Inilah rusaknya demokrasi sekuler yang selalu memihak pada kapitalis asing  ditambah lagi Indonesia masuk anggota WTO. Sehingga semakin memudahkan perdagangan asing masuk ke Indonesia.
Untuk itu jika seandainya yang benar dilansir detikfinance.com (3/5/2019) bahwa Menteri Pertanian Amran Sulaiman ingin buka lahan 30.000 HA untuk membudidaya bibit  terlebih dulu guna menekan impor bawang putih. Apakah sanggup jika sistem masih mengikuti pasar globalisasi dan mengikuti WTO? 
Untuk itu pemerintah harus mundur dari lingkaran cengkraman globalisasi ini. Dan membentuk negara yang mandir sehingga kesejahteraan itu benar-benar dirasakan oleh rakyatnya yaitu sistem Islam.
Sebab,Islam adalah agama yang sempurna, selain mengatur dalam ibadah ritual Islam juga mengatur pertanian.
Di dalam Islam ketika terjadi kenaikan harga maka akan dicari penyebabnya diantaranya:
1. Gagal panen
2. Diserang hama
3. Jadwal panen yang tidak tepat
4. Penimbunan
5. Permainan harga
6. Liberalisasi ekonomi yang mengarahkan kepada penjajah
Dalam Islam rakyat selalu dibina agar keimanan terhadap qada dan qadar itu benar-benar terhunjam dalam hati mereka. Seandainya ada masalah dalam gagal panen, serangan hama. Maka Khalifah menyampaikan kepada rakyatnya untuk bersabar.
Dan khalifah mencari barang tersebut ke daerah yang lain namun, jika tidak ada maka Khalifah melakukan hubungan bilateral tetapi tidak lalai dalam memperhatikan produk dalam negeri.
Dan jika terjadi pelanggaran terhadap hukum syara seperti, penimbunan, penipuan maka Khalifah akan bertindak tegas agar perbuatan tersebut tidak terulang kembali.
Rasullullah saw pun sampai terjun ke pasar untuk melakukan pengecekan. Agar tidak terjadi penipuan dengan harga atau pun barang, dan juga agar tidak terjadi penimbunan.
Khalifah Umar bin Khatab juga mempunyai strategi yang lain yaitu agar setiap pedagang mengetahui fikih bisnis terlebih dahulu sebelum berdagang. Sebab itu untuk menghindari segala kemaksiatan yang akan merusak kehidupan ekonomi.
Adapun dalam mengatasi pertanian, tanah menjadi pondasi dasar pertanian, adapun tenaga keahlian dan alat hanya sarana. Tanahlah yang mengeluarkan hasil pertanian. Maka tanah menjadi obyek vital pertanian.
Untuk itu tanah bukan untuk memuaskan atau menjadi obyek investasi. Tetapi harus ditanami agar membuahkan hasil pertanian. Dan apabila ada lahan yang kosong yang di biarkan begitu saja oleh pemiliknya selama 3 tahun. Maka lahan tersebut akan diambil oleh Khalifah kemudian di tawarkan kepada petani yang sanggup mengelolanya. 
Selain itu juga  Islam mengatur bagaimana cara memiliki tanah dan cara mengelolanya.
Adapun di dalam memiliki tanah bisa dengan menghidupkan tanah yang mati, waris, hadiah, pemberian negara ataupun dengan cara pembelian. Dan di dalam mengelola Islam juga mengatur yaitu ditanami sehingga memperoleh hasil pertanian, bukan di sewakan, atau bagi hasil, sementara bila ada orang yang mengelola tanah dia hanya sebagai buruh, bukan sebagai pemilik tanah.
Untuk itu Islam sangat jelas di dalam menyelesaikan persoalan lahan pertanian dengan larangan pemisahan antara lahan dan pengelolaan  lahan pertanian.
Sebagaiman  sabda Rasulullah Saw 
" Barangsiapa memakmurkan( mengelola) tanah yang tidak menjadi milik siapa pun, maka dia berhak atas tanah tersebut." ( Hr. Bukhari)
Selain itu di dalam meningkatkan pertanian bagi yang tidak mempunyai modal maka, Khalifah akan memberikan bantuan berupa pinjaman dana tanpa bunga untuk mengelola lahan pertanian.
Setelah semua di hidupkan andaikan semua kebutuhan rakyatnya tercukupi maka Khalifah tidak mencari suplay tetapi  jika  masih kurang maka Khalifah akan mencari dari negara lain.dan apabila lebih maka Khalifah akan menawarkan ke luar negeri atau mengekspor.
Inilah cara Islam dalam memakmurkan petani dan menjaga ketahanan pangan sehingga cita-cita mensejahterakan rakyatnya inshaAllah akan terwujud.
Wallahu a'lam bishawab.







.

Post a Comment

Previous Post Next Post