Oleh : Miniarti Impi
(Member WCWH)
Dua kejadian baru-baru ini kembali memicu keresahan dan mengancam retaknya kerukunan antar umat beragama. Dilansir dalam pojok satu.id Masjid di Sumut, tepatnya di Jalan Belibis, Kelurahan Tegal Sari Mandala II, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, dilempari batu pada Jumat malam (26/1) lalu. Sedangkan musala di Perumahan Agape, Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara dirusak puluhan massa pada Rabu malam. Tengku Zulkarnain di akun Twitternya meminta polisi segera mengusut tuntas dan menangkap pelaku pengrusakan musalah di Minaha Utara.
Kasus pengrusakan rumah ibadah bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Koordinator Program Imparsial mengemukakan ada 31 kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia dalam kurun satu tahun terakhir, sejak November 2018-2019. 12 kasusnya atau yang paling banyak terjadi adalah pelarangan atau pembubaran atas ritual, acara, ceramah dan sebagainya terhadap pelaksanaan agama, Jumlah kasus itu disusul oleh 11 kasus atas pelarangan mendirikan tempat atau rumah ibadah, tiga kasus perusakan tempat ibadah, baik gedung maupun properti, dua kasus pelarangan terhadap perayaan budaya atau etnis tertentu. (Tempo.co).
Banyaknya kasus perusakan rumah ibadah membuktikan masih lemahnya pembangunan kerukunan beragama. Dan bahwa kerukunan beragama disistem demokrasi nampaknya hanyalah ilusi. Sebab sistem demokrasi yang dianut negeri ini lebih berkonsentrasi menegakkan pembelaan berlebihan terhadap warga minoritas yang justru potensial memunculkan tirani minoritas termasuk dalam sikap beragama.
Selain itu ketidak mampuan pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku minoritas, justru ini membuat hal serupa kembali terulang dan terulang. Padahal kerukunan hidup antar umat beragama adalah salah satu aspek penting dalam keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka di butuhkan suatu sistem yang mampu mengatur harmonisasi kehidupan beragama, dan sungguh itu akan didapatkan dalam Islam. Sistem Islam memiliki seperangkat aturan untuk mengatur keragaman tersebut. Sebab, mustahil Allah SWT menciptakan makhluknya (termasuk keragaman) tanpa aturan untuk mengatur semua itu.
Islam sangat menjaga batas-batas agar hubungan antar agama dengan batasan tegas antara kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kekufuran, yang makruf dan yang munkar, atau upaya penyesatan dan dakwah kepada kebenaran yang sesuai syariat. Hal-hal semacam ini tetap menjadi pegangan dalam menjaga kurukunan dalam negara Islam.
Terbukti, Rasulullah SAW, berhasil menciptakan kerukunan antar kelompok dan penganut agama dengan perjanjian yang beliau buat (Piagam Madinah). Semua kelompok agama yang ada terikat dengan perjanjian tersebut. Dan apabila ada yang melanggarnya, maka mereka dianggap telah membuat front yang layak dilawan oleh negara. Dengan demikian, negara (daulah) Islam pernah membangun mekanisme kehidupan yang baik antar penganut agama.
Dalam kaitan dengan masalah akidah, non muslim dibiarkan untuk menganut keyakinan mereka dan menjalankan kegiatan ibadah mereka. Mereka tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam. Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, ”Siapa saja yang tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya, mereka hanya wajib membayar jizyah.”[HR. Ibnu 'Ubaid].
Dalam masalah politik, ekonomi dan sanksi maka kaum non muslim (Kafir dzimmi) wajib taat dan patuh pada seluruh hukum syariah yang diterapkan dalam kehidupan publik. Adapun dalam urusan yang berkaitan dengan kehidupan privat, mereka diberi keleluasaan mengikuti ajaran agamanya masing-masing dengan memperhatikan pelaksanaannya tidak dilakukan dalam kehidupan umum sehingga mengganggu ketertiban di masyarakat. Misalnya, dalam mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu. Demikan pula dengan pakaian, kaum wanitanya tetap diatur agar tidak merusak tatanan sosial masyarakat Islam yang mewajibkan wanita tertutup auratnya. Sedangkan untuk urusan pernikahan dan perceraian di antara mereka juga diatur berdasarkan agama mereka.
Itulah cara Islam mengatur warga negara non muslim dalam daulah. Negara melakukannya karena ketundukan kepada Islam sebagai bentuk takwa kepada Allah, tidak boleh disertai sikap arogan dan sewenang-wenang. Dengan cara inilah kehidupan beragama dalam negara terwujud dengan baik, tanpa pertentangan, kekerasan. Sungguh persoalan intoleransi dan kekerasan antar pemeluk agama hanya bisa diselesaikan dengan ditegakkannya sistem Islam dalam wadah negara (daulah) Khilafah Islam. Wallahu’bishowab.
Post a Comment