By : Diwi
Di negara yang mayoritas mutlak rakyatnya beragama Islam ini (87 persen), ternyata masih ada segelintir radikalis ekstrimis dan fundamentalis Kristen yang berani memancing emosi ummat Islam dengan melakukan perusakan terhadap Masjid di Perum Agape, Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Memang di Minahasa Utara Sulawesi Utara, ummat Islam tergolong minoritas ditengah-tengah mayoritas Kristen. Tidak dapat dibayangkan, seandainya dulu penjajah Belanda yang Kristen, misionarisnya berhasil mengkristenkan Indonesia, maka nasib ummat Islam akan tertindas ditengah-tengah mayoritas Kristen. Seperti di negara lain dimana ummat Islam minoritas, contohnya India, Myanmar, Filipina, Thailand, Israel dan lain lain.
Kasus di Minahasa Utara Sulawesi Utara bisa menjadi salah satu bukti penindasan mereka terhadap umat Islam yang minoritas ditengah-tengah Kristen yang mayoritas. Ribuan umat Islam berdatangan ke Masjid Al Hidayah. Tak hanya dari kota-kota sekitar Sulut, tapi juga dari Poso, Sulawesi Tengah dan beberapa kota lainnya di Sulawesi. Mereka menyempatkan diri menunaikan salat berjamaah. Kondisi ini berpotensi menaikkan eskalasi di sana.
Namun sangat disayangkan terhadap pernyataan dari seorang penjabat negara yang anti dengan radikalisme menyatakan bahwa “Sebetulnya kasus yang ada, kita bandingkan lah ya, rumah ibadah di Indonesia ada berapa juta sih? Kalau ada kasus 1-2 itu kan sangat kecil," kata seorang menteri agama Fachrul di Kota Bogor, Kamis (30/1).”
Selain itu kerusuhan pun terjadi di Masjid Sumut, tepatnya di Jalan Belibis, Kelurahan Tegal Sari Mandala II, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, dilempari batu pada Jumat malam (26/1) lalu.
Dari kerusuhan yang terjadi Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Tengku Zulkarnain menanggapi pengrusakan musala di Minahasa Utara dan Sumaetra Utara (Sumut). Beliau menyebutkan bahwa semua pelaku bukan orang islam dan umat islam diibaratkan seperti lebah yang apabila diganggu dia akan membalas sampai mati.
Kasus perusakan Masjid di Perum Agape Minahasa Utara Sulawesi Utara itu, penyelesaiannya bisa difasilitasi tokoh-tokoh di Minahasa Utara dengan hasil yang terukur, sebagaimana yang pernah dilakukan ketika menangani kasus pembakaran Masjid Tolikara di Papua beberapa tahun lalu. Mengingatkan semua warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, wajib melancarkan ibadah sesama WNI karena ini merupakan Amanah UUD 1945 dan Pancasila. Jangan hanya berteriak “Saya Pancasila”, tetapi nihil dari sifat sifat kelima sila Pancasila tersebut.
Dalam islam larangan merusak tempat ibadah itu ditegaskan Surah Al-Hajj ayat 40, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid.”
Menurut Imam Al-Qurthubi, ayat itu cukup jelas menegaskan, syariat yang diberlakukan oleh Allah di muka bumi, telah melindungi tempat ibadah itu dari keganasan tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Rasulullah tak henti-hentinya menggarisbawahi agar hak Nasrani dan Yahudi ataupun non-Muslim lainnya diberikan secara adil dan proporsional. Hal itu terbukti, antara lain ketika Rasul memberikan kesempatan bagi para pendeta Bani Al-Harits dan Najran untuk tetap bebas beribadah.
Ketika Umar bin Khatab merebut Yerussalem, ia menjamin hak beribadah Kaum Nasrani dan berjanji tidak akan membumi hanguskan gereja mereka. Semua ini adalah secuil bukti bahwa Islam menolak berbagai bentuk perusakan terhadap tempat ibadah dan menebar teror bagi para penganut agama lain.
Jadi, telah tampak siapa yang menebar kebencian ditengah-tengah ummat. Sebab islam tidaklah mengajarkan hal yang demikian dan isu radikalis ekstrimis serta fundamentalis tidaklah terdapat pada ummat islam, sebab islam rahmatan lil’alamin.
Post a Comment