Oleh : Shaffiyah
Jaminan konsumen untuk mendapatkan produk UMKM yang tersertifikasi menjadi salah satu hal yang diusulkan masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Demikian diungkapkan Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki di dalam wawancara khusus dengan Kompas.com, beberapa waktu lalu. "Itu berbagai usulan dari kami untuk Omnibus Law. Misalnya yang paling pokok untuk UMKM adalah sertifikat dari BPOM dan sertifikat halal. Karena itu yang sekarang memberatkan pelaku UMKM," ujar Teten.
Saat ini, UMKM sulit menyertakan sertifikasi BPOM maupun halal pada produknya. Pasalnya, sertifikasi itu diperuntukkan ke masing-masing produk. "Misalnya warung Padang. Sertifikat halalnya mesti satu per satu produk. Katakanlah dia punya 20 menu, satu menu biayanya Rp 10 juta. Satu restoran Padang untuk sertifikasi bisa Rp 80 juta. Ini kan menghambat," ujar Teten. Kementeriannya pun mengusulkan agar sertifikasi bukan lagi pada produk jadi, namun pada bahan bakunya. Dengan demikian, sertifikasi tidak dibebankan kepada pelaku UMKM, namun kepada produsen bahan baku. (Kompas.com)
Draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja menghapus kewajiban sertifikat halal. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) lantas memaparkan kajian terkait UU Jaminan Produk Halal.Halal.
Ketua PBNU Robikin Emhas menjelaskan, pihaknya melakukan kajian terhadap UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dalam Rapat Pleno PBNU 20-22 September 2019 di Purwakarta. Berdasarkan hasil kajian, ada sejumlah aspek yang dinilai bermasalah, antara lain:
1. Secara filosofis, UU ini bertentangan kaedah dasar hukum yakni al ashlu fil asyiya al ibahah illa an yadulla dalil 'ala tahrimiha (pada dasarnya semua dibolehkan/halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkan). Oleh karenanya, UU ini perlu ditinjau ulang secara menyeluruh, karena bertentangan dengan kaedah hukum.
2. Secara sosiologis, masyarakat Indonesia mayoritas muslim, berbeda dengan negara-negara lain di mana masyarakat muslim merupakan penduduk minoritas, sehingga yang perlu dilindungi oleh negara melalui regulasi adalah kelompok minoritas dari segi konsumsi makanan haram. Oleh karena itu, produk dari regulasi adalah jaminan halal (sertifikat halal).
3. Secara yuridis, berdasarkan teori distribusi kewenangan undang-undang ini bermasalah. Pada prinsipnya negara dapat mendistribusikan kewenangannya sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, namun konstitusi memberikan batasan yaitu untuk hal-hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Atas kajian tersebut, Robikin menjelaskan, pihaknya mendorong peninjauan ulang UU Jaminan Produk Halal. Dia pun bersyukur hal itu masuk draf omnibus law. "Betul kami mendorong agar UU JPH ditinjau ulang menyeluruh. Alhamdulillah kini masuk omnibus law," ujar Robikin, Selasa (21/1/2020). Lalu, dengan adanya peninjauan ulang UU Jaminan Produk Halal, apakah PBNU setuju dengan kewajiban makanan bersertifikat halal dihapus di omnibus law?
"JPH tetap perlu, dengan tetap berlandaskan pada asas hukum yang berlaku. Sehingga penilaian kehalalan suatu proses produksi dan hasil produksi (barang olahan) tetap mengindahkan asas hukum dan mempertimbangkan aspek sosiologis (lokal wisdom). Supaya tidak mematikan usaha kecil dan memperlemah daya saing Indonesia di mata dunia. Output JPH bukan lagi stempel 'halal', namun bisa berupa label 'tidak direkomendasikan bagi muslim' (untuk tidak mengatakan label 'tidak halal')," kata Robikin. (Detik.com)
Solusi Menurut Islam
Dalam Q.S. al Maidah (5): yang artinya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada hambanya agar mereka makan rezeki yang halal dan baik, yang telah dikaruniakan kepada mereka. Halal di sini mengandung pengertian halal bendanya dan halal cara memperolehnya. Sedangkan baik adalah dari segi kemanfaatannya, yaitu yang mengandung manfaat dan maslahat bagi tubuh, mengandung gizi, vitamin, protein dan sebagainya. Makanan tidak baik selain tidak mengandung gizi, juga jika dikonsumsi akan merusak kesehatan.2 Ayat ini memerintahkan untuk memakan yang halal lagi baik. Maksud ayat tersebut tidak terbatas pengertiannya hanya pada makanan, tetapi juga produk-produk lainnya, seperti kosmetika, obat dan barang gunaan lainnya yang harus halal.
Komponen dalam penentuan produk itu halal adalah terdiri dari bahan dan prosesnya. Bahan yang digunakan terdiri atas bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong. Bahan yang dimaksud tersebut berasal dari: a. hewan; b. tumbuhan; c. mikroba; atau d. bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Bahan yang berasal dari hewan sebagaimana dimaksud pada dasarnya halal, kecuali yang diharamkan menurut syariat.
Sedangkan Prosesnya terdiri dari cara produksi dan lokasi. Halal dimulai dari lokasi, tempat, dan alat Proses Produk Halal wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk tidak halal.
Resiko umat muslim yang berhubungan dengan berbagai hal haram:
1. Mendatangkan sesuatu yang buruk
Mengkonsumsi, menggunakan, atau melakukan sesuatu yang haram cenderung menghasilkan energi yang tidak baik. Dikutip dari kitab Ihya 'Ulum al-Din jilid 2, Al-Ghazali mengatakan, energi tersebut cenderung digunakan untuk hal yang berbau maksiat. Rasulullah SAW disebutkan selalu mengingatkan untuk mengkonsumsi dan melakukan hal yang baik atau halal. Sesuatu yang baik hanya datang dari hal balik, sebaliknya hal buruk berasal dari sesuatu yang juga buruk.
2. Doa terhalang
Risiko doa yang terhalang karena berinteraksi dengan sesuatu yang haram telah diingatkan Rasulullah SAW. Nabi SAW menyampaikannya pada salah satu sahabat Sa'd RA.
"Wahai Sa'd, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama empat puluh hari." (HR Sulaiman ibn Ahmad).
3. Sulit menerima ilmu Allah SWT
Risiko sulit menerima ilmu Allah SWT, karena sesuatu yang haram diceritakan Imam Syafi'i. Saat itu, Imam Syafi'i mengeluh pada gurunya Imam Waki karena sulit menghapal. Imam Waki menjawab keluhan tersebut dalam suatu sajak, yang mengumpamakan ilmu sebagai cahaya. Artinya, ilmu hanya bisa diterima mereka yang pantas yaitu yang menegakkan halal dan meninggalkan maksiat. Halal tidak hanya diterapkan pada makanan, tapi juga perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Neraka
Menjadi penghuni neraka adalah risiko lain bagi mereka yang nekat mengkonsumsi atau melakukan hal yang haram. Rasulullah SAW telah mengingatkan risiko ini dalam hadistnya.
"Setiap daging dan darah yang tumbuh dari perkara haram, maka neraka lebih utama terhadap keduanya." (HR Al-Thabrani).
Dengan ketentuan dan segala risiko yang telah ditulis, maka halal menjadi prioritas utama bagi muslim. Tidak adanya kewajiban sertifikasi, tak menjadi alasan muslim bisa mengkonsumsi atau melakukan hal yang tak sesuai hukum Islam.
Karena itu, bagi muslim sangat dianjurkan berhati-hati sebelum mengkonsumsi atau menggunakan suatu barang. Misal memastikan status halal makanan, minuman, atau berbagai hal lain sebelum digunakan.
Peran negara sendiripun harus memastikan produk dan barang-barang seperti makanan, minuman, atau berbagai hal lain yang tersebar di masyarakat memiliki status halal.
Wallahua'lam bi showab.a
Post a Comment