Oleh : Ita Harmi
Pengamat Politik dan Sosial
Untuk kesekian kalinya, aksi intoleransi kembali terjadi di Indonesia. Kali ini terjadi di Minahasa, Sulawesi Utara. Pembakaran Masjid Al Hidayah oleh sekelompok oknum masyarakat menjadi viral setelah di unggah ke media sosial. Pasca kejadian, masjid tersebut didatangi oleh ribuan orang untuk melakukan sholat jamaah. Pangkal kerusuhan diduga karena ketudaksetujuan masyarakat tertentu atas pembangunan masjid di area tersebut.
Aksi protes yang berakhir dengan pembakaran masjid sudah sering kali terjadi di Indonesia. Terakhir kali terjadi di Papua bertepatan dengan hari raya Idul Fithri tahun 2015 silam. Saat kejadian pada waktu itu, masjid dibakar saat umat muslim hendak mengadakan sholat Id berjamaah, tiba-tiba sekelompok masyarakat melakukan aksi pembakaran. Anehnya, pelaku pembakaran masjid bukannya ditangkap dan diadili, tetapi malah diundang ke istana oleh presiden saat itu. Walaupun tidak menelan korban nyawa, namun tetap saja kerukunan umat antar agama masih jauh harapan bangsa ini.
Seringkalinya terjadi pembakaran rumah ibadah membuktikan bahwa toleransi yang digaungkan selama ini hanya sekedar dimulut saja. Kebanyakan kasus yang terjadi biasanya berada di daerah dengan notabene minoritas muslim. Arogansi kaum mayoritas atas minoritas adalah bukti bahwa toleransi dalam demokrasi hanyalah ilusi. Semboyan bhineka tunggal ika dan keragaman tidak mampu lagi menjadi mantera kedamaian.
Pada kebanyakan kasus, aksi-aksi seperti ini hanya terjadi jika kalangan minoritas adalah umat islam. Umat islam menjadi sasaran empuk kaum mayoritas yang tidak suka dengan kehadiran mereka. Padahal di daerah lain dengan penduduk mayoritas muslim, jarang ditemukan kasus-kasus perlakuan semena-mena terhadap minoritas non muslim.
Tak heran jika demokrasi selalu gagal dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Pasalnya, demokrasi berdiri diatas kebebasan, termasuk kebebasan berpendapat dan dalam berbuat. Setiap orang bebas melakukan apa saja atas dasar pendapat pribadinya, apalagi jika itu sesuai dengan pendapat kaum mayoritas di suatu daerah. Pendapat kaum mayoritas seolah menjadi legalisasi kebebasan untuk berbuat apa saja terhadap kaum minoritas. Sekalipun ada payung hukum untuk menindak para pelaku, namun sanksi yang diberikan tidak mampu membuat jera pelakunya. Buktinya kasus-kasus semisal ini selalu berulang kembali.
Selama kebebasan individu dipandang sebagai sebuah keutamaan, hal yang wajib dilakukan, maka selama itu pula konflik antar umat beragama akan terus terjadi dan menjadi sulit untuk menemukan titik penyelesaian. Toleransi hanya akan menjadi halusinasi dan kata basi dalam demokrasi.
Sebagai Pencipta Kehidupan manusia, Allah Subhanahu wata'ala telah memberikan manusia petunjuk bagaimana seharusnya manusia menyikapi berbagai perbedaan. Islam yang dikaruniakan Allah Ta'ala pada nabi terakhir Muhammad sholallahu 'alaihi wasalaam untuk umat akhir zaman memiliki seperangkat aturan yang mengurisi kehidupan manusia, baik urisan individu, masyarakat, dan negara.
Saat Rasulullah sholallahu 'alaihi wasalaam menjadi pemimpin Daulah Islam, bukan berarti penduduk Madinah hanya terdiri dari kaum muslim saja. Namun juga terdiri dari kalangan non muslim, seperti kaum nasrani dan yahudi. Sekalipun demikian bukan berarti pula setiap penganut agama yang berlainan bebas menyebarkan agamanya masing-masing. Non muslim dalam daulah islam mempunyai hak untuk menjalankan agamanya. Seperti yang telah ditetapkan oleh Allah Ta'ala,
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…" (QS. Al Baqarah : 256).
Ini menunjukkan bahwa kebebasan dalam melaksanakan ajaran agama bagi tiap non muslim dijamin oleh islam. Tapi juga bukan berarti mereka bebas untuk menyebarkan agamanya kepada kaum muslim dan memurtadkannya. Apalagi untuk menyebarkan paham pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama itu sama.
Islam juga mengajarkan bagaimana cara hidup berdampingan dengan non muslim dalam bernegara. Hal ini tampak dalam kehidupan praktis mereka. Dalam islam, kaum non muslim yang tinggal didalam daulah islam disebut dzimmi, yang berasal dari kata dzimmah yang berarti kewajiban untuk memenuhi perjanjian. Maksudnya, kaum dzimmi tersebut diperbolehkan untuk menetap didalam daulah dengan perjanjian bahwa mereka diwajibkan untuk membayar jizyah, yakni sejenis upeti atau pajak kepala. Inilah hukum islam pada kaum dzimmi.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
"Barangsiapa membunuh seorang mu'ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun". (HR. Ahmad)
Rasulullah SAW juga bersabda:
"Barangsiapa menyakiti dzimmiy, maka aku berperkara dengannya, dan barangsiapa berperkara dengan aku, maka aku akan memperkarakannya di hari kiamat." (al-Jaami' al-Shaghiir, hadits hasan].
Sangat jelas bahwa daulah islam begitu melindungi mereka yang diluar islam, bahkan Nabi menyamakan hak hukum mereka dengan kaum muslim. Meskipun demikian, Islam sangat menjaga batas-batas agar hubungan antar agama tidak mengarah pada runtuhnya bangunan Islam. Islam memberi batasan tegas antara kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kekufuran, yang makruf dan yang munkar, atau upaya penyesatan dan dakwah kepada kebenaran. Kehidupan keragaman agama tetap berada pada batasan syariat, sebagaimana yang dikatakan Allah Ta'ala:
"Untukmu agamamu dan untukku agamaku." (QS. Al Kafiruun : 6)
Adapun pengaturan hubungan antara muslim dengan warga non muslim dalam daulah Islam dijelaskan sebagai berikut;
Dalam kaitannya dengan akidah, para kaum dzimmi dibiarkan menganut keyakinan mereka dan menjalankan kegiatan ibadahnya. Dengan memperhatikan pelaksanaannya tidak dilakukan dalam kehidupan umum sehingga mengganggu ketertiban di masyarakat. Misalnya, dalam mengkonsumsi makanan dan minuman tertentu. Demikan pula dengan pakaian, kaum wanitanya tetap diatur agar tidak merusak tatanan sosial masyarakat Islam yang mewajibkan wanita tertutup auratnya. Tidak ada paksaan atas mereka untuk memeluk islam. Diriwayatkan dari 'Urwah bin Zubair, ia berkata, "Rasulullah SAW pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, "Siapa saja yang tetap memeluk agama Nashrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya, mereka hanya wajib membayar jizyah."(HR. Ibnu 'Ubaid)
Dalam masalah muamalah seperti politik dan ekonomi, serta masalah sanksi, mereka kaum dzimmi wajib patuh pada ketetapan yang telah ditentukan syariat islam. Sedangkan mengenai urusan pernikahan dan perceraian dikembalikan kepada keyakinan mereka masing-masing.
Demikianlah islam mengatur kehidupan antar umat beragama dalam sebuah negara. Aturannya detail bahkan sampai ke ranah individu. Semua pihak mendapatkan hak sesuai porsinya masing masing. Inilah bentuk keadilan. Yang telah diterapkan selama hampir 14 abad lamanya. Sungguh toleransi yang hakiki hanya bisa ditemukan saat pengaturan kehidupan dikembalikan kepada aturan Pencipta Kehidupan.
Wallahu a'lam bishowab.
Post a Comment