Oleh : Nur Fitriyah Asri
Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif
Tampak jelas bahwa sistem demokrasi sekuler ibarat racun berbalut madu. Alih-alih menjanjikan kesejahteraan, keadilan, persatuan, perdamaian dan lainnya, justru sebaliknya menjadi penyebab kerusakan, kesengsaraan dan kehancuran. Dalam sistem sekuler, dimana agama merupakan wahyu dan petunjuk hidup tidak diberikan ruang, hanya sebatas akidah dan ibadah mahdah saja. Kini para penguasa negeri ini dan kaki tangannya beramai-ramai menghujat syariat, bahkan menuduh agama menjadi musuh Pancasila, dijadikan tumbal. Kita sekarang menjadi tahu, posisi mereka yang sesungguhnya berada dimana.
Dilansir oleh CNNIndonesia.com (12/2/2020), Kepala BPIP Yudian Wahyudi kepada tim Blak-blakan diberita online, di video wawancara detik.com, dengan jelas mengatakan ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
"Si minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan," kata Yudian.
Pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Profesor Yudian Wahyudi menyulut kontroversi, dari sejumlah pihak mengecam, bahkan ada yang menuntut dipecat dan BPIP dibubarkan. Salah satunya adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sekjen MUI, Anwar Abbas mengatakan jika benar pemikiran Prof. Yudian Wahyudi selaku Kepala BPIP seperti yang dimaksudkan,
maka yang bersangkutan dipecat tidak dengan hormat. Jika Presiden Jokowi masih mempertahankan Prof. Yudian atas pernyataannya yang menyesatkan itu soal Pancasila, maka bisa dipastikan sulit mendapat kepercayaan dari rakyat. Ungkap Ketua PP Muhammadiyah itu.
Pernyataan Prof. Yudian Wahyudi 'agama adalah musuh Pancasila', sudah dapat dikategorikan sebagai penistaan terhadap agama. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 156a KUHP, yang berbunyi sebagai berkut: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia." Artinya pernyataannya bisa terjerat hukum. Di samping itu, menyalahi dan menodai prinsip demokrasi itu sendiri.
Bukankah dalam sistem demokrasi, salah satu pilarnya adalah kebebasan? Dalam hal ini menjamin dan memberikan kebebasan keragaman ideologi. Kecuali yang bertentangan dengan Pancasila yaitu ateisme, komunisme dan marxisme- leninisme sebagaimana yang termaktup dalam UU Ormas 17, Tahun 2013, kemudian diubah dengan UU No.16 Tahun 2017. Jadi salah besar jika membenturkan agama dengan Pancasila.
Namun sangat disayangkan bahwa, dalam sistem demokrasi sering kali Pancasila diselewengkan, dipakai sebagai alat gebuk oleh penguasa terhadap pihak-pihak yang dianggap berseberangan atau berbeda dengan pemerintah. Dengan mudahnya menuduh kelompok-kelompok yang tidak sehaluan dengan penguasa sebagai pihak anti-Pancasila
Semua itu karena asas yang diadopsi oleh negara Indonesia adalah sekularisme. Merupakan paham yang memisahkan agama dengan kehidupan. Agama dilarang ikut campur dalam mengatur negara.
Di sisi lain, kaum muslimin ingin mengimplementasikan wujud keimanannya dengan menerapkan syariat Allah secara kaffah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal inilah yang membuat penguasa menolak dan menuduh serta membenturkan kaum muslimin dengan Pancasila, dicap anti-Pancasila, bahkan agama pun jadi tumbal diposisikan sebagai musuh Pancasila.
Bukankah selama ini hukum yang dipakai adalah buatan manusia warisan penjajah Belanda, yang tidak memberikan keadilan dan kesejahteraan?
Apakah salah, jika umat Islam mayoritas di negeri ini menuntut diterapkannya syariat kaffah, sebagai konsekuensi bentuk ketaatan dan ketundukannya kepada Allah dan Rasulnya?
Semua yakin dan paham bahwa agama adalah wahyu Allah sebagai petunjuk hidup, yang lahir sejak ribuan tahun silam, bersifat universal. Sedangkan Pancasila adalah falsafah buatan manusia, umurnya pun belum seratus tahun dan bersifat lokal. Seakan-akan kedudukannya lebih tinggi dan mulia dibanding agama. Sangat tidak matching jika keduanya disandingkan dan diperbandingkan. Hanya karena ambisi jabatan, kekuasaan, harta, sampai rela mengorbankan iman dan agama dijadikan tumbal.
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah (berkuasanya) para pemimpin yang menyesatkan." (HR Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi)
Mengapa? Karena pemimpin yang rusak dan menyesatkan itulah, yang menghancurkan kehidupan masyarakat.
Mengacu dari hadis tersebut, sungguh apa yang dilakukan penguasa di negeri ini amatlah keliru. Bukankah sudah diketahui bahwa jauh sebelumnya di awal Maret 2018, Yudian mengatakan bahwa, cadar disebut sebagai simbol ideologi dan kepentingan politik tertentu. Kemudian melarang mahasiswanya memakai cadar. Akhirnya terjadi kontroversi, karena cadar adalah bagian dari ajaran Islam.
Aneh dan tidak nalar apa yang dilakukan seorang rektor Perguruan Tinggi Islam sekaligus seorang kiai melawan arus, Prof. Yudian kembali membuat kontroversial. Mendapat hujatan keras karena bertentangan dengan hukum syara'.
Dimana disertasi Doktor Abdul Azis tentang hubungan intim di luar nikah memperoleh nilai sangat memuaskan dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.(Tempo.co.Yogjakarta, 30/8/2019)
Muncul pertanyaan: Mengapa sudah mengetahui Prof Yudian seperti itu masih dipilih dan dilantik menjadi Ketua BPIP? Dengan keseleonya lidah Prof Yudian yang mengatakan agama musuh Pancasila, sama artinya dengan membuka aib penguasa itu sendiri. Menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya, bahwa mereka adalah rezim anti- Islam. Pancasila hanya dipakai alat untuk berlindung dan kedok. Slogan aku Pancasilais sejatinya untuk menutupi bopengnya.
Wajar, jika kritikan dan hujatan datang dari segala penjuru. Semua itu disebabkan tidak hanya sekali, bahkan sering kali tokoh-tokoh BPIP melontarkan statement yang mengoyak kerukunan dan persatuan umat. Menilik gajinya yang fantastis, sangat tidak etis dengan kondisi umat yang sedang menangis karena menanggung beban hidup yang sulit. Apalagi dilihat hasil kinerjanya tidak signifikan. Seperti memakan gaji buta, hidup bagaikan benalu. Bahkan pernyataan-pernyataannya yang menyesatkan menjadi sumber perpecahan. Wajar jika banyak yang menuntut BPIP dibubarkan.
Semua itu seperti yang disabdakan Rasulullah saw.: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya, bagaimana maksud amanat disia-siakan? Nabi menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (Bukhari – 6015)
Sesungguhnya biang kerusakan adalah penguasa. Karena mereka berlaku tidak adil alias zalim kepada rakyatnya. Mengapa mereka zalim? Karena mereka tidak berhukum kepada hukum Allah Swt. atau tidak menerapkan syariat Islam. Allah Swt. berfirman (yang artinya): "Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum yang zalim" (QS al-Maidah [5]: 45).
Terbukti demokrasi telah gagal, tidak bisa menghasilkan pemimpin yang menyejahterakan rakyatnya, justru ironis agama dijadikan tumbal.
Bagaimana pemimpin dalam perspektif Islam?
Menurut ajaran Islam jabatan pemimpin adalah sesuatu yang tidak layak untuk diperebutkan, sebagaimana disebutkan dalam hadis, Rasulullah saw. : “Sesungguhnya kalian akan berebut untuk meraih jabatan (pemimpin), tetapi akan menjadi penyesalan besok di hari kiamat,” (HR. Bukhari).
Dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.
Artinya di dalam Islam, masing-masing individu adalah pemimpin. Semua pemimpin harus terikat dengan hukum syara'. Dimana Al-Qur'an dan hadis sebagai pedoman dan petunjuk
hidupnya.
Kepemimpinan dalam Islam disebut imamah atau khalifah, yang bertugas mengatur dan memelihara urusan umat dengan menerapkan syariat kaffah, mengemban dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia.
Islam adalah agama yang sempurna, mengatur semua segi kehidupan, dari bangun tidur hingga tidur kembali. Hanya kembali kepada Islam kaffah, semua problem kehidupan akan tersolusi. Agama akan terjaga kemuliaannya, dengan demikian akan terwujudlah rahmat untuk semesta alam.
Allah berfirman dalam Surat al-A’raf: 96
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment