Oleh : Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Tetiba Pak Wakil Presiden bersuara lantang. Beliau meminta khatib turut serta memiliki komitmen kebangsaan. Hal tersebut disampaikan Wapres Ma'ruf Amin saat membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II Asosiasi Khatib Indonesia dan Halaqah Khatib Indonesia di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (14/2/2020). Beliau juga mengatakan dakwah harus berada dalam bingkai kenegaraan dan kebangsaan. Siapapun tidak boleh membawa sistem lain selain NKRI. Menurutnya, Khatib memiliki peranan penting karena cermahnya didengar dan berpotensi mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap, dan perilaku masyarakat. Masih kata beliau, Khatib harus membawa kemaslahatan, kemanfaatan, perbaikan untuk dunia dan agamanya. Beliau juga berpesan kepada BNPT agar para Khatib dibekali sebagai penyampai pesan menangkal radikalisme di masyarakat.
Di tengah problem serius yang dihadapi Indonesia, pemerintah ini masih saja sibuk dengan urusan radikalisme. Mungkin ini menjadi tugas utama Wakil Presiden yang sangat perhatian dengan isu radikalisme. Ada mega korupsi di BUMN, ada corona yang mendunia, kemiskinan, perundungan pelajar, hingga narkoba, mengapa beliau tak berkomentar? Malah bersibuk diri dengan narasi radikal radikul yang tak berkesudahan. Bangsa ini masalahnya banyak, Bapak.
Sebagai wakil dari orang nomor satu di Indonesia, harusnya memberi masukan dan kebijakan yang menenangkan bagi rakyat Indonesia. Rakyat sudah banyak beban. Mikir besok makan apa, mikir anaknya lanjut sekolah dimana? Mikir pejabat dimana urat malunya saat merampok duit negara? Mikir janji-janji kampanye yang nol realisasinya. Mikir utang negara dan utang rumah tangga. Sumpek. Dan mirisnya, penguasa masih saja memfasihkan narasi radikalisme untuk menutupi kegagalannya membangun negeri dan bangsa yang berdaulat. Ada beberapa hal yang patut dicermati dari pesan-pesan beliau yang dapat dirangkum sebagai berikut:
Pertama, tentang komitmen kebangsaan. Sebelum Khatib diminta menekankan komitmen kebangsaan. Cobalah ajari kami praktik komitmen kebangsaan itu dengan tindakan nyata. Sebab, keteladanan di negeri ini bagai mimpi. Rakyat diminta bersyukur di saat harga dan biaya hidup naik. Rakyat diminta bersabar saat penguasa korupsi berjamaah. Rakyat diminta khusnuzon di saat negara sedang down. Syukur, sabar, dan berprasangka baik itu sudah kami lakukan. Bahkan kami pun mendoakan kalian agar segera sadar dan bertobat. Lantas, siapa yang semestinya harus mengamalkan komitmen kebangsaan.
Komitmen kebangsaan itu, ketika tak rela negara dikuasai segelintir elit dan pengusaha. Komitmen kebangsaan itu ketika tak suka penguasa berbuat lalim. Komitmen kebangsaan itu saat marah melihat harga diri negeri ini tergadai dengan mengemis utang ke asing. Komitmen kebangsaan itu saat jengkel melihat penguasa lebih memihak kapitalis asing dan aseng dibanding rakyat sendiri. Komitmen kebangsaan itu ketika sedih negara curiga dengan umat Islam dan berlindung dibalik nama Pancasila.
Apakah komitmen kebangsaan itu memakan uang rakyat dengan korupsi? Atau memihak konglomerat dengan kebijakan yang menzalimi? Ataukah menjual negeri ini kepada penjajah dan kapitalis asing? Seperti apa komitmen kebangsaan itu? Karena kami, rakyat Indonesia sudah berkomitmen. Tak akan membiarkan negeri ini hancur di tangan pemimpin culas dan kepemimpinan yang khianat. Ajari kami, apa arti komitmen kebangsaan itu. Bukan hanya sekadar retorika saja. Atau lip service belaka.
Kedua, dakwah itu harus berada dalam bingkai syariat Islam. Karena apa yang disampaikan harus sesuai tuntunan al quran dan as sunnah. Sebab, menyampaikan ilmu Allah haruslah didasari pada aturan Islam. Dakwah Islam adalah menyampaikan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Jadi, bila memang Khatib harus menyampaikan dakwah, maka dakwahnya haruslah yang bersesuaian dengan syariat Islam. Bukan yang lain. Artinya, Khatib harus menyampaikan Islam apa adanya. Apa yang diperintah dan dilarang Allah haruslah tersampaikan kepada umat. Apa yang mungkar dan menyalahi ketentuan syariah juga wajib disampaikan tanpa menambah ataupun menguranginya. Dakwah jangan diatur sesuai selera penguasa. Karena dakwah itu menyampaikan kebenaran dari Allah Ta'ala.
Ketiga, mengenai radikalisme. Sebenarnya saya pribadi agak malas dengan bahasan ini. Sebab, narasi ini sering dipakai saat negara sedang berada di puncak masalah. Entah untuk menutupi isu penting atau untuk mengalihkan perhatian rakyat dari masalah utama negara. Narasi berulang, membosankan, dan menjemukan. Saya berkata demikian karena pada faktanya radikalisme sendiri tak pernah memiliki arti baku. Bisa diseret kemana kemari sesuai kepentingan yang ingin diraih. Radikalisme ini bagai hantu. Isunya ada, wujudnya tidak ada. Maka tidak perlu heran bila melihat reaksi rakyat terhadap isu radikal. Pasti kebanyakan buang badan dan ogah menanggapinya. Apapun problemnya, radikalisme biang keroknya. Begitulah penampakannya.
Semoga, Pak Kyai Makruf tidak latah dengan mereka yang demen menyerang umat dengan narasi radikal radikul. Menjadi penguasa itu berat, harus jernih melihat persoalan umat. Menjadi pejabat itu berat, karena setiap yang terucap akan tercatat dan dihisab. Menjadi ulama itu sungguh sangat berat. Salah bertindak, ditiru umat, dan bahayanya menjadi dosa jariyah. Menjadi pemimpin itu berat, kalian tidak akan kuat. Karena kepemimpinan yang berasas sekuler tak akan menjadikannya memiliki keimanan dan ketundukan total kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jadi, mau mengajari kami tentang komitmen kebangsaan? Mulailah dengan perilaku nyata, bukan basa basi semata.
Post a Comment