Oleh: Ana Mardiana
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta memberikan Anugerah Adikarya Wisata 2019 kepada Colloseum Club 1001.
Sebagaimana dikutip dari laman resmi Provinsi DKI Jakarta klab malam itu memenangkan penghargaan untuk kategori hiburan dan rekreasi-klab malam dan diskotik yang diberikan pada Jumat (6/12/2019).
Pelaksana tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Alberto Ali, menjelaskan. "Penghargaan Adikarya Wisata itu ada 31 kategori bukan cuma itu. Salah satunya diskotek dan dari 31 diskotek itu yang menang Colosseum,sedikitnya ada tiga alasan mengapa Colloseum menang. Pertama karena dedikasinya, kedua karena kinerjanyan. Kemudian ketiga, karena kontribusi terhadap pariwisata Jakarta. Ada tim yang menilai itu semua," ucap Alberto.
Lebih lanjut, Alberto mengatakan pemberian penghargaan kepada diskotek tidak dilarang menurut peraturan. Dalam peraturan yang tertulis, kata Alberto, diskotek adalah salah satu tempat usaha pariwisata. "Kan diatur dalam undang-undang bahwa diskotek masuk salah satu tempat usaha pariwisata kan, pariwisata jadi kan nggak ada yang melarang," tutur dia.
Dan sudah pasti pemberian penghargaan ini menuai banyak cibiran dari sejumlah pihak. Sehingga Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah menyatakan pencabutan penghargaan karena adanya hasil laporan di lapangan. Dalam laporan yang disampaikan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP), Diskotek Colosseum disebut menjadi salah satu lokasi yang dipantau terkait peredaran narkotika. “Jadi proses ini semuanya ada di Dinas Pariwisata dan Budaya. Berdasarkan fakta di lapangan maka penghargaan Adikarya Wisata kepada Colosseum dibatalkan,” Kata Saefullah di Balai Kota DKI Jakarta, seperti dikutip liputan6.com, Senin (16/12/2019).
Meskipun perhargaan ini dicabut, alasannya hanya karena melanggar peraturan yang ada yaitu terlibat narkoba. Sanksinya, hanya diberi teguran saja. Hal ini sungguh berbeda dengan Islam, sebelum menentukan kriteria atau aturan tempat hiburan terlebih dahulu akan dikaji sesuai hukum syara. Hal-hal yang melanggar hukum syara ditiadakan. Seperti beredarnya minuman keras, narkoba, prostitusi (legal/ilegal), campur baur laki dan perempuan dll. Meskipun tempat seperti ini dapat menyumbang devisa pariwisata, menyerap tenaga kerja, dan menyumbangkan pajak bagi negara, maka tetap saja melanggar dari hukum syara.
Namun realitas yang terjadi sekarang ini menunjukkan bahwa Islam tidak dijadikan sebagai sumber hukum bagi setiap aturan di dalam negara ini. Realitas ini tidak terpisahkan dari pandangan sekuler yang dianut oleh negara. Pandangan ini memisahkan agama dari kehidupan. Baik dan buruk ditentukan oleh akal manusia, bukan berdasarkan wahyu Allah SWT atau dengan arti tidak membutuhkan campur tangan sang pencipta.
Mereka bersepakat membuat aturan berdasarkan akal dan hawa nafsunya. Jadilah demokrasi sebagai sistem politik pemerintahnya, kapitalisme dasar ekonominya dan liberalisme yang mengatur segala perilakunya.
* Diskotek di Mata Kapitalisme dan Islam *
Dalam pandangan kapitalisme, segala sesuatu yang sifatnya tidak bertentangan dengan yang lain boleh. Sehingga, aktivitas minum minuman berakohol, campur baur laki dan perempuan, “dugem” untuk menghilangkan stres dan lain-lain itu hal yang lumrah. Asalkan sesuai standar yang ditentukan.
Berbeda dengan Islam, aktivitas seorang muslim tidak bergantung pada kebutuhan atau keinginan sendiri. Tapi senantiasa terikat dengan hukum syara’. Islam sendiri telah mengharamkan minum alkohol, ikhtilat (campur baur), “dugem” yang membuat lalai, bahkan berpakaian memperlihatkan aurat, zina dan narkoba pun dilarang. Sehingga Islam melarang ada tempat-tempat yang menyediakan pelayanan tersebut.
Di sini jelas, pemimpin baik dan salih saja tidak cukup. Harus ada sistem baik pula untuk menghapus tempat hiburan malam yang isinya notabene maksiat.
Sejatinya hal ini tidak lepas dari tanggung Jawab negara dan pemerintah untuk memberantas tempat-tempat maksiat agar keimanan dan ketaqwaan umat Islam tetap terjaga sesuai dengan syariat islam itu sendiri.
Post a Comment