Oleh : Pipit Ayu Kartika Wati
(Aktivis Dakwah dan Pemerhati Sosial)
Seperti anak ayam yang kehilangan induk nya. Begitulah kira-kira ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi umat islam saat ini diberbagai belahan dunia. Belum lama kita mendengar jeritan umat islam di Gaza Palestina, kini umat islam kembali menangisi saudara mereka muslim di Uyghur Cina. Penderitaan yang sangat menyayat hati kaum muslimin melihat kondisi yang dialami etnis minoritas muslim Uyghur mulai dari penyiksaan, pemerkosaan, kehilangan tempat tinggal hingga kehilangan nyawa. Tindakan keras Pemerintah China terhadap etnis minoritas Muslim Uyghur ini telah mendapat kecaman internasional.
Namun beberapa suara yang sebenarnya signifikan, yakni dari negara-negara Muslim malah nyaris tak terdengar. PBB memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uyghur, Kazakh dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang barat laut China sejak 2017. Etnis minoritas berbahasa Turkic telah ditahan di kamp-kamp dimana mereka mendapat 'pendidikan ulang' dan menjadi sasaran indoktrinasi politik, termasuk dipaksa belajar bahasa yang berbeda dan melepaskan keyakinan mereka. Penelitian terbaru mengungkapkan ada 28 fasilitas penahanan yang digunakan dan telah diperluas lebih dari 2 juta meter persegi sejak awal tahun lalu.
Para pengamat mengatakan pemerintah negara-negara Muslim memang tidak dimasukkan ke dalam satu kategori, namun, ada sejumlah kesamaan utama di balik kebisuan mereka, yakni pertimbangan politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri. Sebaliknya, negara-negara seperti Australia dan Amerika Serikat secara terbuka mengecam tindakan Pemerintah China di wilayah tersebut. Bahkan posisi Indonesia sebagai pemimpin ASEAN maupun anggota Dewan Keamanan pun tidak berpengaruh terhadap sikap pembelaannnya. Padahal Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim mayoritas muslim namun justru pembelaan terhadap kaum muslim yang sedang terdzalimi di Uyghur tidak terdengar. Pemerintah Indonesia tetap diam mengenai topik ini, sampai ketika masalah ini diangkat di parlemen. "Tentu saja, kami menolak atau ingin mencegah pelanggaran hak asasi manusia," Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla, mengatakan kepada wartawan, Senin lalu (17/12). "Namun, kami tidak ingin campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain," katanya. Begitu juga Pakistan.
Selain itu, China disebut berupaya membujuk sejumlah organisasiIslam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, media Indonesia, hingga akademisi agar tak lagi mengkritik dugaan persekusi yang diterima etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.
Laporan the Wall Street Journal (WSJ) yang ditulis Rabu (11/12), memaparkan China mulai menggelontorkan sejumlah bantuan dan donasi terhadap ormas-ormas Islam tersebut setelah isu Uighur kembali mencuat ke publik pada 2018 lalu. Beijing bahkan disebut membiayai puluhan tokoh seperti petinggi NU dan Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), akademisi, dan sejumlah wartawan Indonesia untuk berkunjung ke Xinjiang. (CNN Indonesia | Kamis, 12/12/2019)
Fakta diamnya dunia Islam terhadap kekejaman Cina pada muslim Uyghur, juga derita Muslim Rohingya dan Palestina memperpanjang derita umat Islam di berbagai belahan dunia. Kaum muslim saat ini menanggung penderitaan yang menahun. Hal ini tampak jelas ketika saat ini umat islam tidak memiliki pelindung atau perisai maka derita ini akan terus-menerus dirasakan umat islam. Perisai tersebut adalah khilafah. Sejak Khilafah islamiyah runtuh tepatnya tanggal 3 Maret 1924 maka menjadikan kaum muslim tidak lagi memiliki institusi yang mampu melindungi dan memberikan rasa aman. Kekerasan demi kekerasan terus menimpa kaum muslimin, darah nyawa kaum muslim teramat murah. Kaum muslimin terpecah belah hingga saat ini. Tersekat sekat oleh dinding nasionalisme. Yang melumpuhkan kekuatan kaum muslimin. Pemimpin yang sekiranya mampu mengayomi justru menjadi kaki tangan para kapital. Buta mata dan buta hati sebab tersumpal oleh materi dan kekuasaan yang dimiliki.
Sudah saatnya dan seharusnya umat pahami bahwa umat harus keluar dari Kungkungan Demokrasi kapitalis ini. Memutuskan rantai nasionalisme yang menjerat tubuh kaum muslimin agar mampu membebaskan saudara muslim lainnya diberbagai belahan dunia. Tidak ada pilihan lain selain kembali kepada hukum Allah, sebab dengan diterapkannya syariat Islam secara kaffah dalam sebuah institusi. Maka umat kembali memiliki perisai untuk melindungi diri. Umat memiliki tempat mengadu dan kembali memiliki pemimpin yang mampu meri'ayah kehidupan umat.
Bukan dengan sekedar memberikan bantuan obat obatan,sandang pangan. Umat membutuhkan lebih dari itu untuk menghentikan penderitaan mereka.Tidak ada solusi lain selain memperjuangkan kembali penerapan syariah dalam naungan khilafah Ala minhaji nubuwah. Negara yang benar benar mampu memberikan solusi tanpa masalah. Membebaskan manusia, memutus rantai perbudakan, dan menjaga eksistensi kehormatan umat. We Need Khilafah.
"Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
Wallahu a'lam bisshowab.
Post a Comment