Oleh: Tawati
(PeLiTa Revowriter, Aktivis Muslimah Majalengka)
Rumah tangga yang ideal, sakinah mawaddah wa rahmah, penuh dengan ketenangan dan kasih sayang di antara anggota keluarga merupakan dambaan setiap insan. Walaupun demikian, faktanya kadangkala keinginan ini sulit terwujud. Bahkan tidak sedikit rumah tangga yang kemudian berujung pada perceraian.
Dilansir Antaranews (31/12), Angka perceraian di Cina pada 2019 diperkirakan memecahkan rekor tertinggi selama 15 tahun terakhir. Hingga triwulan ketiga tahun ini saja sekitar 3 juta pasangan suami-istri di negara berpenduduk terbanyak itu telah mengajukan perceraian.
Dalam video yang beredar luas di masyarakat, Ketua Mahkamah Agung Cina Zhou Qiang mengemukakan bahwa 74 persen perkara perceraian yang terjadi selama periode 2016-2017 diajukan oleh pihak istri. Menurutnya, perceraian terjadi setelah tiga tahun masa perkawinan dengan rata-rata selisih usia suami-istri tiga tahun ke bawah.
Memang, perceraian tidak dilarang dalam Islam sekalipun dibenci oleh Allah SWT. Nabi saw. bersabda, “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.” (HR Abu Dawud).
Karena itu, perceraian bukanlah hal yang terlarang karena memang secara faktual pun biduk rumah tangga tidak selalu tenang dan harmonis.
Tingginya angka perceraian, termasuk pergeseran tren perceraian yang dominan diajukan oleh pihak istri, menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa dan ada apa? Pasalnya, selama ini biasanya kaum perempuan malah tidak mau diceraikan, walau ia sudah babak belur akibat dari perlakuan suami yang melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Ketakutan perempuan lebih disebabkan oleh ketidaksiapan secara ekonomi, sosial dan psikologis. Lazimnya perempuan merasa malu menyandang status janda, apalagi jika mereka sudah memiliki anak.
Belum lagi beratnya konsekuensi yang harus mereka tanggung seperti menjadi orangtua tunggal bagi anak-anak yang biasanya ikut ibu, karena umumnya anak-anak lebih dekat kepada ibunya daripada ayahnya.
Apakah ini sebagai dampak dari semakin tingginya kesadaran dan sensitifitas gender yang dipelajari oleh kaum perempuan? Sebagian kalangan berpendapat bahwa keberanian kaum perempuan menggugat cerai dari suami-suami mereka disebabkan oleh semakin tingginya pemahaman kaum perempuan akan hak-hak perempuan yang selama ini dikebiri.
Kaum perempuan semakin sadar bahwa sebagai manusia mereka memiliki kedaulatan atas tubuh mereka. Perempuan semakin sadar bahwa mereka memiliki hak yang harus mereka perjuangkan.
Karena itu, mereka menyiapkan diri mereka secara psikologis, sosial dan ekonomi. Kesiapan ini juga yang membuat mereka semakin berani memilih hidup berpisah daripada hidup bersama yang tidak harmonis.
Menurut sumber dari Departemen Agama, dari kasus yang mereka tangani, diperoleh kesimpulan bahwa tingginya permintaan gugat cerai istri terhadap suami tersebut adalah akibat kaum perempuan merasa mempunyai hak yang sama dengan lelaki, atau akibat globalisasi sekarang ini, atau kaum perempuan sudah kebablasan.
Namun demikian, faktor penyebab utama tingginya angka perceraian dan gugat cerai sesungguhnya adalah karena tidak adanya penerapan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan sosial, yang include di dalamnya kehidupan berumah tangga dan berkeluarga.
Islam memiliki pengaturan yang menyeluruh tentang kehidupan dan mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam urusan pernikahan dan rumah tangga/keluarga.
Jika keluarga yang dibentuk dilandasi oleh pondasi yang kokoh, yaitu akidah Islam, diiringi dengan niat, cara, proses pernikahan yang sesuai dengan syariah Islam, maka keadaan sakinah mawaddah wa rahmah dengan izin Allah akan dicapai.
Maka dari itu, menjadi kewajiban setiap pasangan suami-istri untuk melanggengkan ikatan pernikahan dan kehidupan keluarganya dengan selalu terikat dengan hukum Allah SWT. Wallahua'lam.
Post a Comment