Oleh : Sri Indrianti
(Pemerhati Sosial dan Generasi)
Pada awal tahun 2020 ini benar-benar tahun kemalangan bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, tarif BPJS Kesehatan meningkat sebesar 100 persen. Langkah itu diambil karena dianggap tepat untuk mengatasi masalah keuangan BPJS kesehatan. Sebab keuangan BPJS kesehatan selama dua tahun belakangan terus berdarah-darah, dikarenakan banyak regulasi dan sistem kebijakan BPJS kesehatan yang tidak tepat.
Persoalan pelayanan kesehatan ini sangat ruwet begitu pengelolaan kesehatan diserahkan pada pihak BPJS. Fakta yang terjadi di Tulungagung, penunggakan BPJS ke Faskes sebesar 119,7 M sejak Juli 2019. Begitu pula di Blitar, penunggakan BPJS ke Faskes sebesar 70 M. Angka yang cukup fantastis.
Sesuai dengan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, iuran kepesertaan untuk mandiri kelas I naik dua kali lipat. Dari semula Rp 80 ribu per jiwa, meningkat menjadi Rp 160 ribu per jiwa setiap bulannya. Sementara untuk iuran mandiri kelas II naik dari Rp 51 ribu per jiwa, menjadi Rp 110 ribu per jiwa setiap bulannya. Dan, iuran mandiri kelas III yang semula Rp 25.500, naik menjadi Rp 42 ribu per jiwa setiap bulannya.
Pemberlakuan tarif iuran baru jaminan kesehatan nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, membuat sebagian orang memilih turun kelas. Dari data yang berhasil dihimpun, hingga 28 Desember 2019, tercatat sebanyak 666 peserta melakukan perubahan kelas. Dari jumlah ini, sebanyak 617 peserta pindah ke kelas III. Sementara 49 peserta pindah ke kelas II dan dua peserta pindah ke kelas I. (radartulungagung, 5/1/2020)
Kenaikan tarif berlipat yang diberlakukan pemerintah tidak serta merta menyelesaikan gejolak keuangan yang dialami BPJS Kesehatan. Karena pangkal kesalahan ada pada buruknya tata kelola dan manajemen BPJS Kesehatan. Selain itu, yang tidak bisa dilupakan adalah tindakan dzolim pemerintah terhadap masyarakat yaitu melepaskan tanggung jawab sebagai pelayan masyarakat dengan menyerahkan pengelolaan kesehatan pada pihak BPJS Kesehatan.
Sesuatu hal yang wajar apabila masyarakat berbondong-bondong minta turun kelas. Bahkan masih banyak yang menolak menjadi anggota BPJS dikarenakan tingginya tarif yang harus dibayar masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Padahal beban masyarakat tidak hanya seputar pembayaran BPJS Kesehatan. Masyarakat masih harus merogoh koceknya untuk biaya listrik, air, sekolah, dan berbagai pungutan lainnya yang kesemuanya menuntut untuk dipenuhi.
Berbeda dengan pelayanan kesehatan pada masa Khilafah. Ia adalah pelayanan kesehatan terbaik sepanjang masa. Khilafah bertanggung jawab langsung terhadap pemenuhan hajat pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik setiap individu.
Tidak seorangpun yang datang ke rumah sakit kecuali pulang dengan rasa terhormat dan perasaan bahagia. Sebab, semua diberi pelayanan terbaik hingga yang berpura-pura sakit sekalipun. Di setiap kota, termasuk kota kecil, terdapat rumah sakit, berikut dengan tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dan lain-lain) berkualitas lagi memadai, berikut peralatan medis dan obat-obatan. Bahkan disediakan rumah sakit berjalan, dipenuhi berbagai obat dan peralatan medis serta para dokter dan tenaga medis lainnya. Dibawa sejumlah unta mendatangi orang-orang yang beruzur untuk datang ke rumah sakit. (muslimahnews.com, 25/7/2018)
Karena Khilafah menerapkan Sabda Rasulullah SAW, “Imam(Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Post a Comment