Tahun Baru Momentum Untuk Bermuhasabah

Oleh: Yeni

Dalam rangka menyambut tahun baru 2020 kemarin, Pemerintah Kabupaten Sumedang telah menyiapkan beberapa event untuk menyambut pergantian tahun. Berbeda dengan penyambutan sebelumnya, Pemkab Sumedang kali ini mengadakan event yang konon khusus untuk mengangkat budaya-budaya lokal yang ada di wilayah Sumedang. Menurut Protokol Sekretariat Daerah Kabupaten Sumedang H. Asep Tatang Sujana. Pemkab akan menggelar pertunjukan Seni Kolosal Tari Umbul di Kawasan Waduk Jatigede. Pementasan Tari Umbul ini, akan digelar di wilayah Desa Cijengjing Kecamatan Jatigede, tepat di sekitar lokasi pintu pengelak Waduk Jatigede, pada tanggal 31 Desember 2019 sekitar pukul 09.00. Bukan hanya tari umbul saja yang diselenggrakan, panitia juga melanjutkannya dengan berbagai pertunjukkan seni tradisional yang lain, seperti pasanggiri jaipong, bangreng, dan kesenian-kesenian khas Sumedang yang lain (kabar-priangan.com, 29/12/2019). 

Khusus untuk event Seni Kolosal tari Umbul, kemungkinan masyarakat di seluruh Kabupaten Sumedang juga pasti akan hadir, mengingat peserta Tari Umbul itu sendiri merupakan perwakilan dari 270 desa yang ada di Sumedang. Dan melibatkan 5.555 penari, sedikitnya setiap desa mengirimkan perwakilan 20 Penari untuk memeriahkan pagelaran tari tersebut. Para penari umbul ini menjadi pusat perhatian pengunjung di sekitar lokasi, bukan karena lihainya penari menarikan tarian kolosal ini melainkan banyaknya penari yang mengalami kesurupan dan pingsan. Sedikitnya 6 orang mengalami kesurupan dan 78 orang lainnya jatuh pingsan saat mengikuti Tari Umbul. Penari yang mengalami kesurupan rata-rata disembuhkan langsung di lokasi oleh ustadz atau orang pintar lainnya di lokasi. 78 penari yang pingsan rata-rata mengalami dehidrasi dan kepanasan akibat panas matahari yang menyengat (kompas.com, 31/12/2019). Selain diwarnai dengan adanya kejadian kesurupan massal dan banyaknya peserta yang pingsan, pagelaran Tari Umbul Kolosal ini ternyata mendapat kritik pedas dari sejumlah peserta. Sejumlah peserta yang tak lain adalah seniman tari dari wilayah sumedang mengeluhkan pelayanan dari pihak panitia yang dinilai tidak maksimal. Selain itu, sejumlah peserta juga menilai jika kinerja panitia penyelenggara tidak bekerja secara professional (notif.id, 31/12/2019). 

Tari Umbul sendiri adalah seni tari tradisi khas Sumedang yang telah ada ratusan tahun silam. Tarian ini dilestariakn secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Seni Tari Umbul berasal dari Desa Situraja. Kesenian ini mulai ada di Parugpug sekitar tahun 1940-an, muncul dari wilayah Indramayu ke Sumedang. Tari Umbul pertama kali dibawa oleh seniman bernama Kalsip yang berasal dari kota Indramayu, kemudian dikembangkan oleh penari asal kecamatan Paseh yang bernama Bu Misren atau kerap di sebut dengan Ma Jaer. Dalam pagelarannya, para penari akan membawakan lagu yang berjudul Umbul atau adem ayem sambil menari secara bergantian. Menurut budayawan Sumedang, Tatang Sobana, Tari Umbul muncul sebagai bentuk ketidaksenangan masyarakat terhadap pejajah. Tari Umbul mempunyai ciri khas pada pakaian penarinya dan gerakan pinggulnya yang erotis, sehingga pada awal kemunculannya pernah mengalami penentangan. Namun setelah mengurangi nilai-nilai erotiknya, Tari umbul kembali muncul dan berkembang luas khususnya di wilayah kecamatan Situraja dan Paseh (sumedang.online, 31/12/2019).

Pagelaran Tari Umbul Kolosal yang diadakan di Waduk Jatigede oleh Pemkab Sumedang dalam rangka menyabut tahun baru ini perlu menjadi evaluasi. Bukan hanya banyak peserta yang mengalami kesurupan dan pingsan, melainkan eventnya sendiri yang juga menghasilkan kemudharatan terlebih aktivitas yang dilakukan adalah aktivitas yang jauh dari mendekatkan diri kepada Allah SWT. Penyambutan tahun baru harusnya dijadikan momentum untuk bermuhasabah bukan pesta pora penuh kemaksitan.

Pada jaman sekarang, menari menjadi hal yang biasa. Seni tari digelar jika ada suatu acara misalnya pernikahan, kelulusan sekolah, perayaan hari jadi seperti hari lahir, hari kemerdekaan, dan lain-lain. Menari umumnya dilakukan oleh wanita karena dianggap lebih menarik dan mampu memberi minat lebih pada yang menonton. 

Kalau kita lihat dari sisi Islam. Islam menjaga kehormatan wanita dengan mewajibkannya menutup aurat dan menjaga iffah (kehormatan). Menari dalam Islam hukumnya makruh, namun jika dilakukan oleh wanita di depan lelaki ajnabi (non-mahram) maka hukumnya haram. Karena jelas hal ini tidak menjaga iffah, menimbulkan fitnah (godaan) yang besar bagi lelaki, termasuk perbuatan fahisyah (perbuatan keji) dan mendekati zina. Tari Umbul yang diselenggarakan untuk menyambut tahun baru tampak membawa mudharat. Pasalnya, tarian ini menimbulkan syahwat dan mengarah pada tindakan yang merendahkan diri. Islam sendiri tidak memperbolehkan wanita menari dengan gerakan badan yang mengundang syahwat apalagi dipertontonkan dihadapan laki-laki non-mahram.

Sebenarnya bukan hanya menarinya saja yang menjadi permasalahan. Penyambutan tahun baru yang dilakukan, erat kaitannya dengan tasyabbuh (menyerupai suatu kaum) terhadap agama lain. Momentum tahun baru selalu dirayakan meriah. Dilihat dari asal-usulnya, model perayaan seperti ini jelas tidak pernah ada dalam ajaran Islam. Karena Islam hanya mengenal dua hari raya saja, yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Selain dua hari tersebut umat Islam dilarang untuk ikut-ikutan perayaan lainnya. Apalagi hari raya ini bagian dari tradisi orang musyrik atau orang kafir yang sarat dengan keyakinan-keyakinan sesat mereka.

Perayaan tahun baru adalah tradisi jahiliyah. Merayakan tahun baru merupakan perayaan besar bangsa pagan Romawi yang dilakukan setiap awal tahun. Pesta tersebut mereka lakukan untuk menghormati Dewa Janus (baca: Januari) yaitu Dewa yang bermuka dua sehingga ia bisa melihat ke depan dan ke belakang secara bersamaan.

Pesta tahun baru 1 Januari pertama kali dirayakan oleh Julius Caesar pada tahun 45 SM, yaitu kompilasi ia memutuskan untuk menggantikan penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke-7 SM. Penanggalan dibuat dengan berpusat pada heliosentris, artinya mengikuti peredaran matahari. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari yang dimulai dari tanggal 1 Januari. Lalu pada tahapan berikutnya, momentum ini juga dijadikan sebagai salah satu perayaan suci orang-orang kristen. Itulah sebabnya mengapa kalau ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu atau yang biasa mereka tulis dengan Merry Christmas and Happy New Year (selamat hari natal dan tahun baru).

Merayakan tahun baru berarti sama saja meniru-niru tradisi orang kafir. Jika umat Kristiani menggunakan lonceng untuk memanggil jama’ahnya ketika beribadah, orang Yahudi menggunakan terompet sementara orang Majusi menggunakan api, maka pada jam 00:00 WIB malam tahun baru semua model tersebut hadir dalam satu waktu. Lonceng berbunyi, terompet berbunyi, kembang api pun dinyalakan.
Sehingga benarlah sabda Rasulullah saw., “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika mereka itu masuk ke lubang biawak, pasti kalian pun akan mengikutinya.” Lalu kami bertanya, “Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara” (Majmu’ Al Fatawa, 27:286).
Oleh karena itu, Rasulullah saw. mengingatkan para sahabatnya agar mereka menyelisihi Yahudi dan Nasrani dalam segala hal, beliau bersabda, yang artinya: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Besarnya perhatian Nabi saw. dalam masalah ini menyebabkan orang Yahudi berkata:
“Apa yang diinginkan orang ini (maksudnya Nabi SAW –pent.), tidaklah ia meninggalkan sesuatu dari urusan kami, kecuali dia menyelisihi kita’.

Dengan demikian, meramaikan tahun baru bisa berdampak pada kondisi keimanan seseorang. Dalam hal ini secara tidak langsung dia telah mengagungkan hari kebesaran mereka. Kalaupun tidak demikian, maka minimal hatinya akan condong dan senang terhadap hari raya orang-orang kafir. Padahal umat Islam diperintahkan untuk bara’ (berlepas diri) dari syi’ar-syi’ar mereka.

Tahun baru seharusnya dijadikan sebagai momentum muhasabah bukan hura-hura. Seharusnya kita melewati pergantian tahun ini dengan muhasabah bersama bukan melawati detik-detik pergantian tahun dengan segala bentuk kemaksiatan. Pesta sampai larut malam, hiburan pengundang syahwat, campur baur laki-laki dan perempuan, pesta seks dan narkoba, tak dipungkiri dilakukan di pergantian tahun ini.

Bagi Sumedang, hal ini pun menjadi pelajaran. Penyambutan tahun baru dengan event tarian yang menimbulkan kejadian kesurupan dan pingsan massal ini jelas-jelas tidak menggambarkan kota Sumedang yang agamis. Tahun baru seharusnya dijadikan momentum muhasabah agar Sumedang kembali kepada jati dirinya sebagai kota yang agamis. Dengan bermuhasabah ini tentu akan menuai banyak keberkahan bagi kota Sumedang itu sendiri. Dan sebagai kaum muslimin kita dituntut untuk senantiasa melakukan perubahan positif, tentu kita perlu memanfaatkan momen tahun baru ini untuk melakukan perubahan yang hakiki.  Perubahan hakiki yang dimulai dengan menerapkan aturan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahua’lam bish-shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post