Oleh : Mariyatul Qibtiyah, S.Pd
Akademi Menulis Kreatif
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak omnibus law cluster ketenagakerjaan yang secara langsung berarti melakukan revisi terhadap UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Khususnya terhadap pasal tertentu, seperti pasal tentang upah, pesangon, tenaga kerja asing (TKA), jam kerja, outsourcing, jaminan sosial, dan lain sebagainya.
Isi omnibus law tersebut sangat merugikan buruh. Antara lain pengurangan nilai pesangon, pembebasan TKA buruh kasar, penggunaan outsourcing yang masif, jam kerja yang fleksibel, termasuk upah bulanan diubah menjadi upah per jam," kata Presiden KSPI, Said Iqbal, belum lama ini. (wartaekonomi.co.id, 28/12/2019)
Nasib buruh di negeri ini tampaknya akan semakin suram dengan hadirnya omnibus law ini. Dengan sistem pengupahan per jam, penghasilan buruh akan semakin minim. Mereka akan mendapatkan upah sesuai dengan jam kerja mereka. Jika mereka cuti karena sakit, melahirkan, atau berhaji, upah mereka akan dipotong.
Selama ini, nasib buruh masih tertolong oleh keberadaan upah minimum. Upah minimum itu menjadi safety net atau jaring pengaman bagi mereka. Meski masih jauh dari kata sejahtera, setidaknya mereka tidak absolut miskin.
Buruh sejahtera hanya merupakan ilusi dalam sistem kapitalis. Keberadaan mereka hanya sebagai sapi perah bagi para pemilik modal. Tenaga mereka dieksploitasi untuk kepentingan para pengusaha. Hal itu karena pemilik modal ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu, para buruh dibayar dengan upah yang rendah. Upah yang dilandaskan pada tingkat kehidupan yang paling minim di wilayah tersebut. Inilah yang disebut dengan upah minimum. Upah yang hanya cukup bagi mereka untuk melangsungkan kehidupannya agar mereka tetap dapat bekerja.
Minimnya upah yang diterima buruh itu berasal dari kesalahan asas yang digunakan. Yaitu, asas kebebasan kepemilikan. Dengan asas ini, siapa pun bebas untuk memiliki harta apa pun serta mengembangkannya dengan cara apa pun. Para pengusaha pun berlaku sewenang-wenang kepada para buruh. Akibatnya, para buruh merasa tertekan, sehingga lahirlah doktrin sosialis yang menawarkan prinsip keadilan pada kaum buruh.
Untuk mengatasi problem buruh ini, para pemilik modal melakukan modifikasi terhadap teori kebebasan kepemilikan dan berusaha. Mereka membuat kontrak kerja bagi para buruh dengan memasukkan kaidah-kaidah yang bertujuan untuk melindungi para buruh. Mereka juga memberikan kepada para buruh hak berserikat, mogok kerja, membentuk asosiasi, uang pensiun, kenaikan upah, libur mingguan, jaminan kesehatan, serta berbagai bonus lainnya. Namun, semua ini dilakukan hanya untuk menutupi kekurangan sistem ekonomi kapitalis.
Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam tidak dikenal problem perburuhan. Hal itu karena dalam sistem ekonomi Islam tidak terdapat kebebasan kepemilikan dan berusaha. Kepemilikan terhadap barang serta melakukan usaha memang diperbolehkan. Namun, semua harus dalam batasan-batasan yang diperbolehkan dalam Islam.
Demikian pula saat melakukan transaksi ijarah, harus sesuai dengan hukum Allah. Landasan dalam menentukan upah seorang pekerja adalah jasa yang diberikannya sesuai dengan upah yang berlaku di daerah tersebut. Bukan berdasarkan tingkat kehidupan minimum. Jika antara pekerja (ajir) dengan pemberi kerja (musta'jir) terjadi perselisihan terkait upah, upah akan ditentukan oleh para ahli. Para ahli dipilih oleh kedua belah pihak. Jika kedua belah pihak tidak bersepakat dalam memilih para ahli, negara yang akan memilihkannya. Para ahli inilah yang akan menentukan upah yang sepadan (ajr al-mitsl). (al-Maliki, Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, hlm 156)
Kewajiban pemberi kerja hanya mengupah sesuai dengan jasa atau manfaat yang diberikan oleh pekerja. Pengusaha atau pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk menyejahterakan pekerjanya. Yang berkewajiban untuk menyejahterakan pekerja dan masyarakat pada umumnya adalah negara.
Negara harus menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar setiap warga negara. Kebutuhan itu berupa sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan serta keamanan. Tidak dibedakan antara miskin atau kaya, muslim atau nonmuslim, semua berhak mendapatkannya.
Seperti itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para penggantinya. Rasulullah saw. telah meminta kepada tawanan perang Badar untuk mengajarkan baca tulis kepada anak-anak di Madinah. Begitu pula, para khalifah pengganti Beliau saw. menyediakan pendidikan gratis hingga perguruan tinggi. Banyak madrasah maupun perguruan tinggi yang didirikan oleh mereka. Salah satunya adalah Universitas al-Azhar yang terkenal hingga sekarang.
Dengan demikian, para pengusaha bisa menjalankan usahanya dengan tenang. Mereka tidak dibebani oleh kewajiban yang bukan tanggung jawab mereka. Demikian pula, para pekerja akan lebih fokus pada pekerjaan mereka. Mereka tidak lagi risau dengan berbagai kebutuhan dasar mereka. Hal ini memungkinkan mereka untuk meraih kebutuhan sekunder dan bahkan tersier.
Di dalam Islam juga tidak terdapat kenaikan upah tahunan. Penentuan upah telah disepakati sejak awal, sebelum pekerjaan dimulai. Jika pekerja menginginkan kenaikan upah, hal itu bisa disepakati menjelang berakhirnya kontrak kerja.
Demikian pula, tidak ada uang pensiun dalam sistem Islam. Jika seseorang tidak mampu lagi bekerja, negara adalah pihak yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan primernya. Dengan demikian, jika kewajiban membayar uang pensiun ini dibebankan kepada pengusaha, berarti beban negara telah dialihkan kepada pengusaha tersebut.
Karena itu, sudah saatnya kita tinggalkan sistem ekonomi kapitalis. Sebagai gantinya, kita terapkan sistem ekonomi Islam yang akan memberi kesejahteraan. Kesejahteraan yang tidak hanya dinikmati oleh para pemilik modal, namun oleh seluruh masyarakat. Wallahu a'lam bishshawaab.
Post a Comment