Oleh: Lina Wati, S. Pd.
Baru-baru ini mencuat wacana rencana buang beras yang akan dilakukan oleh perum Bulog. Sebagaimana dirilis cnnindonesia. com (29/11/19), Perum Bulog menyatakan akan membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang mereka. Nilai beras tersebut mencapai Rp160 miliar.
Sebetulnya, pembuangan cadangan beras ini mengikuti Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah. Beras CBP harus dibuang apabila melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau mutunya menurun.
Saat ini, dari 2,3 juta stok beras di gudang Bulog tadi, usia simpan sekitar 100.000 ton sudah di atas empat bulan. Dari jumlah itu, 20.000 ton beras memiliki usia penyimpanan lebih dari satu tahun sehingga mesti “dibuang”. Mirisnya, sekitar 900 ribu ton stok beras tersebut berasal dari impor tahun lalu.
Aktifitas mubadzir yang merugikan hingga ratusan milyar di saat keuangan negara dan ekonomi mayoritas rakyat sedang dalam kondisi susah, tentu satu hal yang sangat ironis. Bahkan beberapa waktu sebelumnya Asean Development Bank (ADB) bersama International Research Institute sempat merilis hasil riset yang menyebutkan bahwa di era 2016-2018 ada 22 juta rakyat menderita kelaparan kronis.
Fakta lain juga dirilis oleh Global Hunger Index (GHI) yang dikeluarkan oleh Concern Worldwide dan Wealth Hungerlife yang baru- baru ini melaporkan, meskipun sedikit membaik namun indeks kelaparan Indonesia berada pada kategori serius dengan skor 20,1. ( warta ekonomi)
Munculnya fakta-fakta di atas menunjukan betapa buruknya kinerja rezim penguasa khususnya menyoal masalah pangan. Bagaimana mungkin di tengah surplus cadangan bahan pangan ada jutaan orang mengalami kelaparan. Ibarat tikus mati di lumbung padi. Sungguh ironis.
Buruknya Tata Kelola Distribusi Pangan
Sebagaimana kita ketahui bersama, Indonesia adalah Negara kapitalis sekuler dimana setiap kebijakan di bangun atas landasan pemikiran tersebut. Termasuk di bidang ekonomi. Liberalisme ekonomi menjadi satu hal yang tidak dapat dielakkan. Oleh karena itu, tidak heran jika negara memberikan peluang bagi produsen besar, korporasi, importir swasta, untuk terlibat dalam persoalan distribusi pangan sebagai konsekuensi liberalisasi ekonomi. Bahkan kartel beras menguasai 94% distribusi beras, sisanya hanya 6% dikuasai Bulog. Hal ini menjadikan Bulog selaku kepanjangan tangan pemerintah tidak mampu mengedalikan distribusi di sektor pangan. Sementara terbukanya pasar bebas menjadikan importir bebas bermain di sektor ini. Korporasi bahkan menguasai rantai pangan dari produksi hingga konsumsi.
Di sisi lain, praktik pengelolaan pangan hari ini melahirkan regulasi yang minus pengurusan hajat rakyat. Bahkan model desentralisasi kekuasaan ala demokrasi menciptakan ego sektoral dan regulasi saling menegasi antar lembaga Negara termasuk dalam distribusi pangan. Hal ini terlihat seperti tidak singkronnya kebijakan antara Bulog, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Ketiganya seolah tidak satu visi misi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Impor beras terjadi secara ugal-ugalan padahal tidak dibutuhkan. Dari 1,8 juta ton yang terdistribusi hanya sekitar 150 ribu ton. Sisanya mengendap di gudang Bulog.
Paradigma neoliberal telah mengarahkan wajah pemerintah pada Entrepreneurial State yaitu Negara yang menjalankan roda pemerintahan seperti perusahaan menjalankan bisnis. Lembaga-lembaga pemerintah digiring menjadi pelaku bisnis pasar alias pengusaha. Sehingga pemerintah akan mengarahkan perannya untuk memutar aset yang dimiliki dengan menyediakan layanan bagi masyarakat untuk mendapatkan keuntungan finansial. Jebakan model ini juga berlaku pada Bulog. Berubahnya mekanisme pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah menjadikan Bulog menanggung utang besar karena mengandalkan pembiayaaan dari sektor perbankan.
Oleh karena itu, alih-alih membagikan beras secara gratis untuk masyarakat yang kelaparan. Bulog justru disibukkan dengan masalah internal berupa kerugian akibat stok yang tidak tersalurkan.
Problematika Suplai Pangan
Di tengah makin meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat, pemerintah justru menggantungkan pemenuhannya pada impor. Sektor pertanian yang harusnya menjadi penyokong ketahanan pangan justru terabaikan. Kondisi pertanian makin memburuk karena minimnya dukungan. Regenerasi petani mandeg, usaha pertanian makin banyak ditinggakan karena tidak menguntungkan. Alih fungsi lahan pertanian pun semakin massif.
Korporatisasi dalam tata kelola pangan pertanian telah menyandera target pencapaian kedaulatan pangan. Menurut Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) 82% lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi besar. Umumnya digunakan untuk konsesi sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Ketersediaan lahan pangan perkapita semakin sempit, dalam rentan 2007-2010 di jawa saja laju konversi rata-rata 200 hektar per tahun. Akibatnya produksi pangan terus merosot.
Pengabaian sektor pertanian juga terlihat dari semakin tingginya biaya produksi akibat mahalnya benih, pupuk, pestisida dan alat pertanian. Sehingga harga jual tidak bisa bersaing. Petani semakin termarginalisasi dan tidak bergairah bertani. Ujung –ujungnya suplay pangan tidak mampu terpenuhi di dalam negeri dan mendorong impor dengan alasan suplay dan stabilisasi harga. Padahal ketergantungan terhadap impor menunjukkan gagalnya pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan utamanya di sektor pangan.
Islam Mewujudkan Kedaulatan Pangan
Kedaulatan pangan pada suatu Negara dapat diartikan kemampuannya memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara mandiri. Di samping itu, Negara juga mampu secara mandiri menentukan kebijakan pangannya tanpa diintervensi pihak lain. Dalam Islam kedaulatan mutlak diwujudkan. Sebab ketergantungan pada impor dari Negara lain dapat menjadi jalan untuk menguasai kaum muslim.
Untuk merealisasikannya Khilafah akan menjalankan politik ekonomi Islam dalam pengelolaan pangan dan pertanian. Syariat Islam menetapkan Negara wajib bertanggung jawab dalam pengurusan hajat hidup publik. Sebab Negara memiliki dua peran yang tak tergantikan sebagai pelayan dan pelindung umat.
Hal ini ditegaskan oleh rasulullah saw. dalam hadits beliau :
“Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus urusan rakyatnya dan ia bertanggung jawab terhadap yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Tanggung jawab ini mutlak diemban oleh Khilafah tanpa boleh dialihkan pada pihak lain. Sebagai wujud tanggung jawabnya Negara Khilafah hadir secara utuh dalam pengelolaan pangan dari aspek hulu hingga ke hilir. Di ranah hulu Khilafah bertanggung jawab menjamin berjalannya proses produksi dan menjaga stok pangan. Karena itu, Khilafah akan mendukung penuh usaha pertanian. Negara menerapkan hukum pertanahan Islam sehingga mencegah penguasaan lahan dan menjamin semua tanah terkelola maksimal.
Begitupula dalam aspek distribusi dan stabilisasi harga. Secara prinsip distribusi dan pembentukan harga mengikuti hukum permintaan dan penawaran secara alami, tanpa adanya intervensi Negara. Pengawasan dilakukan jika terjadi kondisi tidak normal. Pemerintah mengambil dua kebijakan utama yaitu menghilangkan sebab distorsi pasar seperti penimbunan, kartel dan sebagainya. Kedua dengan menjaga keseimbangan supplay (penawaran) dan demand (permintaan).
Tanggung jawab penuh Negara Khilafah akan menjamin pemenuhan pangan rakyat terjadi secara merata, mencukupi dan harganya pun terjangkau.
Dukungan dalam sektor produksi menjadikan petani bergairah untuk berusaha. Pengawalan dalam distribusi akan menciptakan pasar yang sehat. Dengan pengelolaan dalam negeri secara baik sesuai syariah, akan menghilangkan kebutuhan terhadap impor. Sehingga kedaulatan pangan akan benar-benar terwujud.
Wallahualam 'alam bi ash showab
Post a Comment