Skandal Jiwasraya, Kebobrokan Kapitalisme Kian Nyata

Oleh : Susi Firdausa S.Hut 
Manager Firdausa Corner 

Sejak tiga bulan lalu, kasus skandal perusahaan asuransi pertama di Indonesia ini mencuat menggegerkan publik. Skandal Jiwasraya bisa dianggap sebagai kasus yang merugikan negara terbesar kedua setelah skandal BLBI yang melibatkan Bank Century di rezim penguasa sebelumnya. 

Berawal dari ketidakmampuannya membayar klaim polis yang jatuh tempo pada periode Oktober-Desember 2019 senilai 12,4 triliun rupiah dan meminta dana talangan negara sebesar 32,89 triliun rupiah untuk membuatnya kembali sehat. Kesalahan Jiwasraya ini berujung dengan penyelesaian oleh DPR, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, dan Kejaksaan Agung.

Menguatnya indikasi tindak pidana di balik skandal perusahaan yang berdiri tahun 1859 ini memunculkan beragam pendapat tentang latar belakang kebangkrutannya. Dilansir m.economy.okezone.com (23/12/2019) bahwa penyebab Jiwasraya mengalami permasalahan tekanan likuiditas adalah investasi yang dilakukannya pada sebagian besar aset berisiko tinggi (high risk) untuk mengejar keuntungan yang tinggi (high return). Sebagian besar dana investasi itu ditaruh pada saham berkinerja buruk dan reksa dana yang dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja buruk. 

Bahkan mantan komisaris PT Bukit Asam Tbk, Muhammad Said Didu, mengistilahkan perusahaan tempat menaruh saham Jiwasraya itu sebagai perusahaan gorengan (perusahaan yang ‘digoreng’ seakan sahamnya sangat menguntungkan). Lebih jauh, mantan staf khusus Menteri ESDM era Rini Soemarmo itu menganggap ada ‘perampokan keuntungan’ terutama menjelang tahun politik. “Terjadi perampokan (di Jiwasraya). Perusahaan yang sangat sehat pada 2016-2017, lalu defisit puluhan triliun di tahun berikutnya, berarti ada penyeditan dana yang terjadi,” ujarnya seperti yang diberitakan kompas.com pada Kamis, 19 Desember 2019 lalu. Ini seakan membenarkan adagium BUMN sebagai sapi perah partai dan rezim penguasa. Said pun tak yakin masalah gagal bayar ini disebabkan kesalahan dalam proses berbisnis. Ia yakin ada indikasi korupsi dalam persoalan ini.

“Saya sepakat ini ada perampokan terstruktur, karena tidak mungkin investasi yang dilakukan tanpa ada kehati-hatian, pasti ada unsur kesengajaan,” kata Mukhtarudin (anggota komisi VI DPR RI) mengamini pendapat Said Didu seperti yang dilansir detikfinance.com pada Senin, 16 Desember 2019 lalu.

Sementara itu, Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengakui telah menjalankan skema Ponzi dalam bisnis yang dinakhodainya. Ia mengatakan skema ini membuat perusahaan harus menggunakan setoran premi dari anggota untuk membayarkan klaim yang jatuh tempo setiap hari. Ketika klaim polis diajukan dalam waktu hamper bersamaan, menjadikan perusahaan gagal bayar karena tidak memiliki cukup dana untuk itu (cnbcindonesia.com, 29/12/2019).

Persoalan kian buruk karena seringkali BUMN dijadikan sebagai tumpuan sponsorship untuk proyek-proyek individu di lingkaran kekuasaan. Sebagaimana yang dilakukan Jiwasraya. Di tengah kondisi perusahaan yang tidak stabil, Jiwasraya berani mengadakan perjanjian kerjasama dengan klub sepakbola Inggris Manchester City pada Juni 2014. Kerjasama ini dihentikan pada 2018. Padahal kondisi keuangan Jiwasraya telah buruk saat itu (money.kompas.com, 27/12/2019).

Di tengah kekacauan yang ditimbulkan Jiwasraya, orang nomor satu di negeri ini malah sibuk menyalahkan rezim sebelumnya. Perdebatan pun tak bisa dihindari. Saling menyalahkan dan pembelaan diri pun menghiasi kisah sejarah negeri ini. Senada dengan itu, Menteri ESDM, Erick Thohir pun bungkam seribu bahasa menghadapi cercaan pertanyaan para pemburu berita. 

Jika ditilik lebih jauh ke belakang, sesungguhnya persoalan yang membelit aset rakyat dan negara yang dikelola BUMN tidak hanya terjadi pada Jiwasraya. Ragam masalah yang menerpa sejumlah BUMN seperti serbuan baja impor dan kisruh manajemen PT Krakatau Steel, laporan keuangan bermasalah PT Garuda Indonesia, kebocoran gas dan tumpahan minyak PT Pertamina, sistem teknologi informasi yang eror di PT Bank Mandiri, gangguan transmisi PT PLN, rapor merah PT Pos Indonesia dan sebagainya, semakin membuktikan bahwa ada yang salah pada sistem pengelolaan negara yang diterapkan di negeri ini. Sistem kapitalisme yang hanya berpihak kepada para konglomerat dan pemilik kekuasaan.

Dari skandal Jiwasraya dan berbagai BUMN lainnya kita belajar, cengkeraman gurita kapitalisme terasa sangat kuat. Mulai dari skema pengelolaan BUMN model korporasi, keterlibatan lingkar kekuasaan yang memanfaatkan perusahaan plat merah bagi kepentingan kursi dan partai, hingga cara-cara mencari keuntungan yang sarat riba dan gambling berujung kebangkrutan. Sebagai jalan keluarnya, negara memberi talangan dengan menggunakan uang rakyat. Ini jelas perampokan besar-besaran terhadap aset negara secara legal dan terstruktur yang dinikmati oleh segelintir pemilik kekayaan, pemilik bank, elit BUMN dan kursi kekuasaan.

Sudah tiba saatnya sistem yang rusak dan merusak, serta menyengsarakan seluruh makhluk yang ada di dunia, tidak hanya manusia, ini ditinggalkan. Tidak ada sedikit pun kebaikan dan kemaslahatan yang dirasakan rakyat. Sistem yang hanya dipertahankan oleh mereka yang rakus kekuasaan tanpa peduli bahwa itu semua didapat dari persekongkolannya dengan kelompok kapitalis dengan cara mengisap darah rakyat. Meminjam kalimat yang sering didengungkan Menteri Kelautan di Kabinet Jokowi Jilid I, Susi Pudjiastuti, satu kata untuk kapitalisme: Tenggelamkan! Ganti dengan sistem kehidupan yang terbukti menyejahterakan seluruh umat selama lebih dari 14 abad, sistem yang diturunkan oleh Zat Yang Maha Memahami Makhluknya dan Maha Sempurna, yaitu Sistem Islam.

Post a Comment

Previous Post Next Post