Oleh : Hamsia
(ibu rumah tangga)
Belum lama ini masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pembuangan beras Bulog 20 ribu ton. Jakarta, CNN Indonesia- Perum Bulog menyatakan akan membuang 20 ribu ton cadangan beras pemerintah yang ada di gudang mereka. Nilai beras tersebut mencapai Rp160 miliar. Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan “pemusnahan dilakukan karena usia penyimpanan beras tersebut sudah melebihi 1 tahun.”
Sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permenten) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), “beras yang usia penyimpanannya sudah melampui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi atau mengalami penurunan mutu. Karena itulah, beras harus dibuang atau dimusnahkan.” Kata Tri seperti dikutip dari Antara, Jumat (29/11).
Bagi Bulog buang beras nampaknya sudah hal yang biasa, bahkan tak hanya buang beras. Buang telur, buang gula, buang jagung, buang bawang, hingga pemusnahan jutaan anak ayam tak berdosa pun lumrah dilakukan. Alasan yang sering diungkap karena terlanjur busuk atau demi stabilisasi harga.
Sungguh ironis, kebiasaan ini dilakukan saat keuangan negara dan ekonomi rakyat sedang dalam kondisi susah payah. Bahkan, beberapa waktu sebelumnya, Asian Development Bank (ADB) bersama International Food Policy Research Institute sempat merilis hasil riset yang menyebut bahwa di era 2016-2018 ada 22 juta rakyat yang menderita kelaparan kronis.
Sementara disaat yang sama, penguasa terus berusaha membangun citra seolah ekonomi rakyat sedang baik-baik saja, seraya terus menggembar-gemborkan nilai-nilai Pancasila yang salah satunya berisi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Seyonginya untuk kasus buksuknya 20 ribu ton beras ini, akibat kebijakan impor yang ugal-ugalan dilakukan mantan Menteri Perdagagan di periode pemerintahan Jokowi sebelumnya (2018). Saat itu, pemerintah menarget impor beras hingga 1,8 juta ton. Padahal stock cadangan di gudang Bulog masih cukup banyak dan situsnya menjelang panen raya.
Itulah mengapa, terkait hal ini ekonom senior Rizal Ramli sempat menyatakan, kondisi ini hanyalah “the tip of the iceberg” alias fenomena puncak gunung es. Di mana potensi kerugiannya tak hanya 160 miliar, tapi jauh lebih besar. Bahkan menurutnya, melebihi kerugian negara akibat kasus Bank Century.
Wajarlah jika pengamat politik dan ekonomi dari Universitas Airlangga, Ichasanuddin Noorsy menilai segala dampak impor tersebut sebagai bentuk keegoisan pemerintah. Wajar pula jika masyarakat luas pun begitu geram dan diekspresikan melalui viralnya tagar tuntutan #TangkapEnggar yang marak di media sosial.
Dengan kekayaan alam Indonesia yang telah dianugerahkan sang pencipta kepada kita, sudah sewajarnya dikelola dengan baik, bukan malah diberikan kepada pihak asing atau malah dikuasai sendiri. Kekayaan alam Indonesia tidaklah sedikit jumlahnya. Banyak tenaga ahli yang bisa mengelola hasil kekayaan alam Indonesia. Bahkan bisa jadi kekayaan alam yang kita miliki dikelola sendiri, Indonesia bisa membangun kemandirian ekonominya.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Di luar faktor alam yang memang kian tak menentu, kebijakan pangan yang diambil pemerintah dari waktu ke waktu kian memperlemah kondisi ketahanan pangan, sehingga menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap ancaman krisis.
Padahal di era 80an, Indonesia pernah mengalami masa keemasan dalam produksi pangan hingga berhasil mencapai swasembada, khususnya untuk komoditi beras dan kedelai. Indonesia saat itu, bukan hanya mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri dan menyimpan cadangan di gudang-gudang Bulog, bahkan mampu menjadi negara eksportir pangan.
Disamping itu, jebakan berbagai perjanjian internasional seperti perdagangan bebas atau IMF dan World Bank pada pertemuan Bretton Woods di tahun perjanjian tentang pengurangan hambatan tarif dan nontarif (GATT) serta pembentukan WTO dan disetujuinya The Agreement of Agriculture (AoA) pada 1994, yang kemudian diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No 7/1994, termasuk saat Indonesia menyerahkan penyelesaian krisis kepada IMF, telah membuat pemerintah Indonesia kian kehilangan kedaulatan pangan.
Ironisnya, menghadapi realitas berkurangnya produksi pangan ini, pihak pemerintah dengan entengnya mengambil kebijakan membuka lebar impor. Hingga pasar dalam negeri pun dibanjiri produk-produk pangan luar negeri, termasuk beras sebagai komoditas pangan terpenting dan memiliki nilai politis.
Sistem kapitalisme inilah yang telah begitu lama mengukuhkan penjajahan negara besar atas negara-negara kecil melalui lembaga Internasional yang mereka ciptakan sebagai alatnya serta melalui para penguasa lokal sebagai eksekutornya.
Dalam sistem Islam, selain sebagai pelayan, penguasa pun diibaratkan sebagai benteng pelindung bagi umat yang wajib menjaga mereka dari berbagai bahaya, termasuk berupa ancaman krisis pangan melalui penerapan kebijakan politik dan ekonomi yang kuat dan tegak diatas pradigma yang benar yakni akidah Islam.
Seharusnya negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, lintah darat, monopoli dan penipuan. Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi yang biasanya dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk mengambil keuntungan secara tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, pemerintah memberikan perhatian terhadap persoalan dalam negeri secara real time. Pemerintah bertanggungjawab secara langsung akan ketersediaan kebutuhan pangan dalam negeri.
Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya bila negara Islam yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam memenuhi kebutuhan rakyat termasuk persoalan pangan yang sedang kita alami saat ini. Wallahu a’lam bi ash-Shawab.
Post a Comment