Penanggulangan Banjir Butuh Manajemen Penanganan Alternatif dan Solutif

Oleh : Yeni Marlina 
(Pemerhati Sosial)

Baru saja memasuki awal tahun 2020, tepatnya pada tanggal 1 Januari, sejak malam hari hujan sudah mengguyur kota Jakarta dan sekitarnya.  Karena hujan yang terus menerus dan cukup deras, seperti biasa akhirnya berdampak banjir.  Banjir masih menjadi masalah krusial sampai saat ini belum mampu terselesaikan oleh negara secara tuntas.

Hingga kamis 2 januari 2020 air masih merendam permukiman hingga jalanan dan mengganggu arus lalu lintas. Daerah Jakarta masih dikepung banjir, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Barat dan Jakarta Pusat, termasuk Tangerang dan Bekasi. (Detiknews.com)

Di Tangerang, pemerintah kota mencatat jumlah warga terdampak banjir mencapai 16 ribu jiwa lebih yang tersebar di 13 kecamatan (CNNIndonesia.com/ 02-01-2020). 

Begitu juga Kabupaten Tangerang, beberapa daerahnya masih digenangi air. Tidak hanya wilayah Jabodetabek, banjir bandang juga melanda Kabupaten Lebak Banten.  Seperti yang dikutip oleh Pikiran-Rakyat.com dari rilis BPBD, banjir bandang yang terjadi tanggal 1 Januari diakibatkan oleh meluapnya sungai Ciberang dan sungai Cidurian. Mengakibatkan 6 kecamatan terendam.  Untuk sementara total kerusakan diperkirakan  135 rumah rusak berat, 185 rusak ringan dan 1747 rumah terendam dan memutus sekitar 20 jembatan.

Jelas fenomena ini membuat seluruh warga berduka dan sangat membutuhkan uluran bantuan.  Selain dari pemerintah setempat, bantuan juga digalang oleh banyak warga masyarakat, lembaga-lembaga sosial dan kelompok-kelompok peduli masalah umat.

Namun, ada pemikiran jangka panjang yang sudah saatnya menjadi program dalam penyelesaikan masalah banjir ini.  Harus ada sikap perbaikan totalitas yang komprehensif karna menyangkut kemaslahatan rakyat banyak. Bukan hanya soal hilangnya aset,  harta secara finansial saja, bahkan terganggunya efektifitas publik bahkan korban jiwa harus menjadi pertimbangan mendasar.  Karna kejadian banjir yang berulang secara terpola ini bukan hanya semata-mata karna fenomena alam, tapi lebih karna kesalahan dan kelalaian manusia.  Maka butuh sebuah manajeman yang kuat dan mampu merancang seluruh masalah akibat bencana.

//Manajemen Penanganan Alternatif dan Solutif//

Banjir adalah salah satu bagian dari bencana, bahkan jadi bencana nasional yang selalu berulang.  Solusi praktis dan 
manajemen penanganan yang dilakukan terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah secara mendasar.  Butuh manajeman alternatif dan solutif yang sudah mampu membuktikan penanggulangan bencana.  

Bencana alam termasuk banjir, baik karena faktor-faktor alam maupun akibat ulah tangan manusia merupakan bagian dari qadla’ Allah subhanahu wa ta’ala yang harus diterima dengan penuh keridaan dan kesabaran. Seorang Mukmin dituntut meyakini bahwasanya tidak ada satupun musibah yang menimpa umat manusia kecuali atas izin Allah. Tidak hanya itu saja, seorang Mukmin diperintahkan untuk mengambil pelajaran dari musibah agar ia memperbaiki diri dan kembali taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Adapun dalam konteks penanganan terhadap musibah,  Islam memiliki model tersendiri dalam menangani berbagai musibah, termasuk banjir selain fenomena alam dan Al-Qur'an pun sudah disebutkan sejak beberapa abad silam.  Seperti dikisahkan bahwa kaum 'Ad, negeri Saba dan kaum Nabi Nuh pernah menjadi korban banjir.  Dan juga terdapat kisah-kisah dari beberapa surat dalam al-Qur'an, seperti surat Hud ayat 32-49 dan surat Saba' ayat 15-16.  Secara prinsip Ad-diin (agama), banjir terjadi karna pembangkangan manusia terhadap perintah Allah.  Tetapi secara ekologi banjir dapat terjadi karna kesalahan manusia dalam memperlakukan alam sekitar.

Lalu bagaimana pengatasinya? Islam punya solusi yang solutif.  Yang pernah dilaksanakan secara serius seorang Khalifah dalam sistem Khilafah Islamiyah. 

Sistem khilafah menghimpun dalam manajemen yang terukur dan teruji dalam menangani bencana.  Manajemen bencana model Khilafah Islamiyah tegak di atas akidah Islamiyah. Prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam, dan ditujukan untuk kemashlahatan rakyat seluruhnya.

Manajemen bencana dalam Khilafah Islamiyah meliputi penanganan pra bencana, ketika, dan sesudah bencana.
Penangangan pra bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Kegiatan ini meliputi pembangunan sarana-sarana fisik untuk mencegah bencana, seperti pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, dan lain sebagainya. Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada Amdal, memelihara kebersihan lingkungan, dan lain-lain.  Termasuk juga dalam kegiatan pra bencana.

Kegiatan lain yang tidak kalah penting adalah membangun mindset dan kepedulian masyarakat, agar mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana; dan agar mereka memiliki perhatian terhadap lingkungan hidup, peka terhadap bencana, dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar ketika dan sesudah bencana. 

Untuk merealisasikan hal ini, khalifah akan melakukan edukasi terus-menerus, khususnya warga negara yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana alam; seperti warga di lereng gunung berapi, pinggir sungai dan laut, dan daerah-daerah rawan lainnya.
Edukasi meliputi pembentukan dan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penjagaan dan perlindungan lingkungan; serta peningkatan pengetahuan mereka terhadap penanganan ketika dan pasca bencana. Harapannya, masyarakat terbiasa peduli terhadap lingkungannya dan mengetahui cara untuk mengantisipasi dan menangani bencana, dan me-recovery lingkungannya yang rusak—akibat bencana—agar kembali berfungsi normal seperti semula.

Selain itu, Khilafah Islamiyah membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih–seperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana, dan lain-lain–, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-daerah bencana. Tim ini juga bergerak secara aktif melakukan edukasi terus-menerus kepada masyarakat, hingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mengantisipasi, menangani, dan me-recovery diri dari bencana.

Adapun manajemen ketika terjadi bencana adalah seluruh kegiatan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah korban dan kerugian material akibat bencana. Kegiatan-kegiatan penting yang dilakukan adalah evakuasi korban secepat-secepatnya, membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban, serta memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke tempat-tempat yang tidak dihuni oleh manusia, atau menyalurkannya kepada saluran-saluran yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Kegiatan lain-lain yang tidak kalah penting adalah penyiapan lokasi-lokasi pengungsian, pembentukan dapur umum dan posko kesehatan, serta pembukaan akses-akses jalan maupun komunikasi untuk memudahkan team SAR untuk berkomunikasi dan mengevakuasi korban yang masih terjebak oleh bencana. Oleh karena itu, berhasil atau tidaknya kegiatan ini tergantung pada berhasil tidaknya kegiatan pra bencana.

Ilustrasi sederhana penanganan bencana yang dilakukan oleh Daulah Khilafah Islamiyah adalah apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu ketika menangani paceklik yang menimpa jazirah Arab. Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah–pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah—untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab radhiyallahu radiyallahu anhu segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud radhiyallahu anhu. Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, sekaligus merancang apa yang akan dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat. Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berjumlah 10 ribu orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang. Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Dan selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.

 Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu memerintahkan agar pengungsi-pengungsi itu diantarkan kembali di kampung halamannya masing-masing. Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan.

Aspek yang ketiga adalah manajemen pasca bencana, yakni seluruh kegiatan yang ditujukan untuk; (1) me-recovery korban bencana agar mereka mendapatkan pelayanan yang baik selama berada dalam pengungsian dan memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi, stres, ataupun dampak-dampak psikologis kurang baik lainnya. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah kebutuhan-kebutuhan vital mereka, seperti makanan, pakaian, tempat istirahat yang memadai, dan obat-obatan serta pelayanan medis lainnya. Recovery mental bisa dilakukan dengan cara memberikan taushiyah-taushiyah atau ceramah-ceramah untuk mengokohkan akidah dan nafsiyah para korban;
(2) me-recovery lingkungan tempat tinggal mereka pasca bencana, kantor-kantor pemerintahan maupun tempat-tempat vital lainnya, seperti tempat peribadahan, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya. Khilafah Islamiyah, jika memandang tempat terkena bencana, masih layak untuk di-recovery, maka, ia akan melakukan perbaikan-perbaikan secepatnya agar masyarakat bisa menjalankan kehidupannya sehari-harinya secara normal, seperti sedia kala.
Bahkan jika perlu, khalifah akan merelokasi penduduk ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif. Untuk itu, Khalifah Islamiyah akan menerjunkan tim ahli untuk meneliti dan mengkaji langkah-langkah terbaik bagi korban bencana alam. Mereka akan melaporkan opsi terbaik kepada khalifah untuk ditindaklanjuti dengan cepat dan profesional.

Inilah langkah-langkah yang akan ditempuh khalifah untuk menangani bencana yang melanda di wilayah Khilafah Islamiyah.

 Manajemen semacam ini disusun dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”.
Pasalnya, khalifah adalah seorang pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanan yang ia lakukan. Jika ia melayani rakyatnya dengan pelayanan yang baik, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah. Sebaliknya, jika ia lalai dan abai dalam melayani urusan rakyat, niscaya, kekuasaan yang ada di tangannya justru akan menjadi sebab penyesalan dirinya kelak di hari akhir.

Tentunya manajeman semacam ini tidak akan mampu direalisasikan secara totalitas oleh sistem selain Islam. Karena dari pijakan orientasi kemaslahatan umat saja berbeda pandangan, seperti dalam sistem kapitalis saat ini. Berapa banyak korban-korban bencana tetap sebagai penanggung resiko kerugian terbesar. Pasca bencana harus kembali berjuang memulai hidup.  Hanya Islam sebagai satu-satunya solusi dalam mengelola Alam agar Allah memberikan ridho dan berkah dari langit dan bumi.  Sebagaimana Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :

 وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
 "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."(QS Al-A'raf : 96)

Wallahu a'lam bish Shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post