Oleh: Anggun Permatasari
Sektor pariwisata di Indonesia dianggap sangat potensial untuk menjadi kunci dan solusi dalam menghadapi dampak ekonomi akibat perang dagang yang memanas antara Amerika Serikat dan China.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Amalia Adininggar Widya mengatakan di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, sektor pariwisata dapat menjadi kunci pertumbuhan ekonomi suatu negara. (Sumber: Monitorday.com).
Berangkat dari carut-marut kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia yang saat ini menyentuh hampir ke semua lini kehidupan. Pemerintah ingin mengambil jalan pintas dengan memanfaatkan pariwisata untuk mengisi pundi-pundi kekayaan negara.
Letak geografis serta keragaman suku dan budaya dijadikan asbab pariwisata menjadi sektor penggenjot laju perekonomian daerah. Keunikan Indonesia juga diharapkan mampu menjadi magnet bagi turis asing. Tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap devisa negara. Karena pariwisata merupakan salah satu sektor yang diperhitungkan dalam produk domestik bruto (PDB).
Namun, pandangan tersebut sepertinya harus ditinjau lebih dalam. Pasalnya, menjadikan pariwisata sebagai komoditas dagang suatu daerah atau negara merupakan eksploitasi tak terbendung atas alam dan manusia dalam memenuhi syahwat segelintir orang yang haus kekuasaan dan harta.
Faktanya, karena alasan untuk menjadikan suatu wilayah lebih maju dan berkembang, pastinya pemerintah melibatkan lingkungan dan manusia yang bermukim di sekitarnya. Akan tetapi, justru keduanya acap kali menjadi korban.
Dilansir dari laman TRIBUNJATENG.COM., Proses pengembangan wisata dan pengelolaan kawasan Lereng Gunung Lawu di Kelurahan Blumbang Kecamatan Tawangmangu Karanganyar dihentikan lantaran merusak alam. Penghentian kegiatan dilakukan lantaran penggunaan alat berat dan menumbangkan pohon di kawasan tersebut.
Terjadinya alih fungsi lahan secara massif membuat kualitas tanah menurun dan kerap memicu terjadinya banjir, longsor, dan erosi. Selain itu, sampah berkontribusi besar sebagai dampak pengembangan pariwisata yang jor-joran.
Yang lebih parah, keragaman suku dan tradisi di sekitar wilayah pariwisata dijadikan bumbu penyedap industri pariwisata di Indonesia. Hal-hal berbau klenik dan mistis yang tentunya menabrak rambu-rambu syariat tidak jarang menjadi salah satu unsur yang menjual dari sebuah tempat wisata.
Sebagai contoh; tradisi larung sesaji ke laut yang dilakukan nelayan dan pemerintah setempat di bulan suro atau setelah waktu panen, festival namoni di Palu dan tradisi buang nahas di Kampung Talisayan.
Seperti yang diberitakan di lama PROKAL.CO. Tradisi adat Buang Nahas di Kampung Talisayan, Kecamatan Talisayan, kembali digelar masyarakat, di kawasan Pantai Talisay, Rabu (23/10) lalu. Tradisi adat yang selalu digelar di akhir bulan Safar tahun hijriah tersebut, bertujuan untuk membuang segala keburukan dan berdoa bersama untuk mendapat keselamatan, kemakmuran, dan dijauhkan dari segala bencana.
Miris! Di negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia masih memelihara tradisi pengundang murka Tuhan. Harusnya, segala aktivitas tersebut dibuang jauh-jauh dari kehidupan negeri mayoritas kaum muslimin.
Allah swt. berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
(QS. An Nisa': 48)
Tampak jelas, segala pandangan terhadap hal tersebut merupakan indikasi kemunduran berpikir umat saat ini. Rapuhnya aqidah yang diemban umat Islam membuat mereka masih sibuk dengan aktivitas kesyirikan yang merupakan termasuk dosa besar. Semua dilakukan semata-mata demi terpenuhinya pundi-pundi kekayaan mereka.
Fakta tersebut tidak lepas dari peran negara yang abai terhadap aqidah umat. Sejatinya, pariwisata adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab yang idealnya juga tidak melanggar rambu-rambu syariat. Pandangan terhadap sektor pariwisata akan berpengaruh terhadap produk undang-undang yang berlaku.
Dengan dipeliharanya aktivitas berbau syirik dalam industri pariwisata, aqidah umat sebagai kunci kekuatan umat semakin terkikis. Tentunya, penjajah kian leluasa mengokohkan kuku-kukunya di negeri para wali ini.
Banyaknya permasalahan di negeri ini membuat pemerintah tidak fokus dalam menjalankan peran dan fungsinya. Sehingga, energinya terkuras pada pembangunan aspek non strategis seperti pariwisata.
Sumber daya alam yang jelas bisa mendatangkan keuntungan seperti emas di Tembaga Pura dan cadangan minyak bumi serta gas alam justru pengelolaannya diserahkan kepada pemodal yang notabene adalah penjajah asing.
Hamparan daratan dengan iklim tropis ini juga memiliki keanekaragaman vegetasi. Tanahnya yang subur sejatinya sudah cukup memenuhi hajat hidup manusia yang tinggal di dalamnya apabila dikelola dengan benar.
Dengan penjabaran di atas, pemerintah menciptakan pandangan sesat dengan menganggap pembangunan pariwisata yang bisa mendatangkan keuntungan dan membantu menghadapi kesulitan ekonomi akibat perang dagang Cina-AS. Jelas hal ini merupakan opini sesat yang disebarkan ke publik.
Alih-alih memperkaya diri dengan menggenjot sektor pariwisata, penguasa tidak sadar telah didikte penjajah agar mereka leluasa mengeruk kekayaan strategis negeri ini.
Inilah wajah buruk buah pemikiran ala kaum kapitalis liberal. Demi meraup keuntungan yang besar, penguasa dengan suka rela menggadaikan aqidah dengan menabrak rambu-rambu syariat, merusak alam dan lingkungan.
Sangat berbeda dengan sistem kekhilafahan yang menjadikan sektor pariwisata justru sebagai wasilah agar umat bertambah taqwanya. Bukan, sebagai sumber devisa negara. Karena dalam Islam, sektor yang menjadi andalan perekonomian adalah pertanian, perdagangan, industri dan jasa. Dan sumber lainnya yaitu zakat, fa'i, ghanimah, jizyah, Khazraj dan dharibah.
Keindahan alam yang merupakan karunia Allah swt. seperti hutan, air terjun, gunung dan pantai dijadikan objek wisata yang bertujuan sebagai sarana dakwah. Diharapkan dengan mengunjungi tempat-tempat wisata umat bisa mentadaburi kehebatan Allah swt. sebagai Sang Pencipta alam semesta.
Karena tujuannya bukan sebagai pemasok devisa negara, tentunya keberadaan objek wisata akan dijaga ekosistemnya dan tidak dieksploitasi. Apalagi menjalin kerjasama berkedok investasi dengan penjajah dalam pengelolaannya. Dan hal-hal berbau mistis pastinya tidak akan ditemukan dalam pariwisata Islam.
Situs sejarah Islam juga bisa dijadikan objek pariwisata sebagai penunjang bagi dunia pendidikan. Diharapkan dengan melihat kehebatan dan kegemilangan kaum muslimin membangun peradaban di masa kekhilafahan, umat lebih semangat dalam mempelajari Islam dan semakin bertambah imannya.
Objek wisata yang berasal dari peradaban asing, situs sejarah yang mengandung hadharah asing tidak termasuk kategori tempat yang bisa dijadikan objek wisata.
Karena, negara Islam akan senantiasa mengemban ideologi islam dan mendakwahkan nya. Negara akan senantiasa menjaga kemurnian aqidah umat dan peradabannya dari berbagai invasi budaya asing. Wallahu alam.
Post a Comment