Ormas Hanya Pendongkrak Suara Rezim

Oleh : Nurhalidah Muhtar

Sudah menjadi rahasia umum jika kontestasi politik demokrasi amat keras. Didalam atmosfir demokrasi tidak ada hubungan yang abadi. Saling telikung serta menempuh berbagai macam cara demi meraih kekuasaan. Hanya demi SUARA kontestan pemilu melakukan pendekatan kepemilih (masyarakat). Tidak hanya kemasyarakat secara umum, namun sudah menjadi wacana umum bahwa Ormas menjadi rebutan partai atau kontestan pemilu, untuk meraih suara demi memenangkan kontestan.

Ditengah arus politik sekuler yang transaksional, Sang kontestan memberikan sejumlah janji dan menawarkan imbalan yang menggiurkan atas dukungan tersebut. Sehingga mampu memikat masyarakat maupun ormas tertentu untuk mendukungnya dalam ajang kontestan pemilu tersebut.

Terlansir oleh pojoksatu.id. pidato Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj yang menagih kredit murah Rp 1,5 triliun ke Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Mantan Sekretaris BUMN, Said Didu ikut mengomentari janji Sri Mulyani ke PBNU. Melalui akun twitternya, ia mempertanyakan kewenangan Menkeu bagi-bagi uang kepada ormas. Jika sumber keuangan dari APBN, apa dasar hukumnya? Jika sumbernya perbankan, berarti Menkeu mengintervensi bank.
“Jika demi suara, berarti  Menkeu sudah berpolitik,” tegas Said Didu (Sabtu, 28/12/2019.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli turut mengomentari video pernyataan Said Aqil saat berbicara dalam wisuda mahasiswa Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) di Parung, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Dimenit 17.45 video, Said Aqil mengatakan “Ketika Pilpres suara kita dimanfaatkan. Tapi ketika selesai, kita ditinggal”.
Kata Rizal, pemimpin formal NU menjadikan NU sebagai “kendaraan dinas” pemerintah. (RMOLBANTEN 29/12/2019).

Pengakuan ketua ormas ini hanya menegaskan bahwa rezim sekuler demokrasi berkarakter ingkar janji dan hanya memanfaatkan rakyat dan ormas sebagai mesin pengeruk suara dan pendorong mobil mogoknya. Ketika mereka sudah memperoleh suara dari pemilih maka keberadaan pemilih seharusnya dijadikan subjek dan kontestan sebaiknya menempatkan diri sebagai pelayan serta agen pembaharuan dalam masyarakat. Pada kenyataannya, hubungan antara kontestan dengan pemilih begitu kerap dengan pengkhianatan. Setelah memenangkan pemilu, mudah sekali kontestan melupakan janji dan harapan politik yang telah mereka wacanakan di hadapan para pemilih. Mereka sangat sibuk mengurusi berbagai macam hal tentang distribusi kekuasaan untuk mengamankan posisi yang telah didapat.

Penghianatan yang dilakukan oleh kontestan sudah menjadi wabah. Hal ini terjadi karena semua kemenangan distandarisasi suara terbanyak, bukan kebenaran. Ketika nilai-nilai kebenaran dari syariat islam diabaikan niscaya para kontestan akan mengemudi sesuai asas kepentingannya serta hawa nafsunya.

Oleh karena itu hendaknya, menjadi I’tibar bahwa ormas tidak boleh beralih dari tanggung jawab amar makruf nahi mungkar. Sebagaimana Allah berfirman  dalam QS. Ali Imran : 104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : "Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung".

Dan menasehati para penguasa menyimpang dan zalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya. Sebagaimana muhasabah li al-hukkam yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, para sahabat, dan generasi-generasi al-salaf al-shalih sesudah mereka. sehingga sesuai dengan misi kehadirannya ditengah masyarakat. Semua dilakukan tanpa imbalan dari penguasa, tidak berkompromi dengan kezalimannya dan selalu teguh berpegang pada prinsip syariat dengan hanya mengharap ridha Allah. Amal inilah yang saat ini menjadi kebutuhan hakiki umat, bukan dana dan suntikan modal yang justru membuat umat tidak menyadari pertentangan rezim dengan system kepemimpinan Islam. Wallahu a’lam bish-showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post