Oleh : Mujianah, S.Sos.I
Sudah menjadi rahasia umum bahwa keberadaan ormas selalu laris manis di saat pemilu. Partai politik atau kontestan pemilu akan berlomba-lomba dengan berbagai cara untuk mendekatinya. Demi meraup dukungan dalam rangka memenangkan sang kontestan. Dengan kata lain, keberadaan masa pendukung ormas ini hanya dimanfaatkan suaranya untuk kepentingan kontestan pemilu tersebut.
Hal ini semakin jelas dengan pernyataan langsung dari Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Agil Siroj yang disampaikan saat berpidato dalam acara wisuda mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) di Parung, Bogor, Jawa Barat, Sabtu 14 Desember 2019. Said mengatakan : "Jangan salahkan siapa-siapa, kalau ketika Pemilu, ketika Pilpres suara kita dimanfaatkan, tapi ketika selesai kita ditinggal." Tak hanya itu, Ketua Umum PBNU ini juga menagih janji kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk memberikan kredit murah sebesar 1.5 triliun kepada PBNU. Janji yang tertuang dalam nota kesepahaman antara PBNU dan Kementrian Keuangan, Sri Mulyani. (Pojoksatu.id, 27 Desember 2019)
Dalam sistem kapitalis sekuler, fakta yang terungkap dari pernyataan KH Said Agil Siroj tersebut sejatinya bukanlah hal yang aneh. Sistem kapitalis menjadikan orang senantiasa berpikir tentang untung dan rugi semata. Termasuk dalam hal kekuasaan. Bahwa kekuasaan hanyalah jalan melanggengkan kepentingan. Begitupun yang terjadi pada sebagian para pengurus ormas. Manfaat dan kuatnya kepentingan pribadi membuat mereka seringkali memanfaatkan ormas sebagai kendaraan untuk meraih tujuannya semata.
Maka wajar jika kemudian terjadi politik transaksional. Saling tawar menawar antara ormas dan penguasa demi kepentingan masing-masing pihak. Dalam pemilu misalnya, untuk meraih dukungan rakyat, partai atau kontestan pemilu seringkali mengumbar janji dan menawarkan "imbalan" atas dukungan tersebut. Namun setelah itu rakyat dan ormas ditinggalkan.
Hal ini seharusnya bisa membuka mata rakyat dan juga pengurus ormas. Bahwa rezim dalam sistem sekuler yang melahirkan prinsip demokrasi ini, berkarakter ingkar janji. Mereka hanya memanfaatkan rakyat dan ormas sebagai mesin pengeruk suara dan pendorong mobil mogok. Janji-janji yang diberikan seringkali tak ditepati. Yang terpenting bagi mereka adalah memenangkan pertandingan. Karena kemenangan dalam sistem ini ditentukan oleh suara terbanyak, bukan kebenaran.
Oleh karenanya, keberadaan ormas di tengah masyarakat harus dikembalikan pada tujuan awalnya. Yaitu amar ma'ruf nahi munkar. Sebagaimana firman Allah swt : "Dan Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran : 104)
Tugas ormas adalah mendidik umat dan melakukan koreksi (muhasabah) terhadap penguasa. Mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak adil bagi rakyat. Apalagi jika kebijakan tersebut zalim terhadap rakyat. Maka ormas tidak boleh berkompromi dengan kezaliman tersebut. Ormas juga tidak boleh melakukan tawar menawar dengan penguasa untuk sekedar mendapat imbalan. Karena ormas bukanlah kendaraan untuk meraih kekuasaan.
Keberadaan ormas harus senantiasa berpegang teguh pada syariat dan hanya mengharap ridha Allah. Tidak mudah tergiur dengan janji-janji ataupun bantuan dana yang diberikan oleh penguasa. Karena bantuan dana yang diberikan penguasa seringkali membuat ormas terlena. Sehingga tidak menyadari kezaliman yang dilakukan penguasa. Bahkan ketika terjadi pertentangan rezim terhadap ajaran Islam, ormas seolah tak bisa berbuat apa-apa.
Oleh karenanya, ormas harus senantiasa menjaga misi awalnya yaitu amar ma'ruf nahi munkar. Jangan sampai terbelokkan. Sehingga bisa maksimal mendidik umat dan melakukan muhasabah kepada penguasa. Dan ormas seperti inilah sejatinya yang didambakan oleh umat.
Wallahu a'lam bish shawab
Post a Comment