Oleh : Rismawati
Masuknya kapal asing dari negeri tirai bambu yang melanggar Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Natuna secara illegal merupakan babak baru hasil kerjasama yang terjalin antara China dengan Indonesia. Bahkan, kapal penjaga pantai (coast guard) dari negara itu ikut mengawal dan memasuki Perairan Natuna yang terletak di Kepulauan Riau. Tanpa tanggung-tanggung hal itu mereka lakukan secara terang-terangan. Ditambah lagi Pemerintah Beijing mengklaim bahwa kapal nelayan dan coast guard mereka tak melanggar kedaulatan Indonesia. Sebab, menurut mereka, perairan Natuna masuk ke dalam wilayah Laut China Selatan. Klaim tersebut dihitung berdasarkan sembilan garis putus-putus atau nine dash line.
Nine dash line merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang disebut juga sebagai Konvensi Hukum Laut internasional atau Hukum Perjanjian Laut. Dalam UNCLOS telah ditetapkan batas-batas ZEE dari setiap negara yang ada kaitannya dengan hak melakukan eksploitasi dan kebijakan lain di wilayah perairannya sesuai hukum laut internasional.
Menteri Luar Negeri Retno Marsuadi telah menegaskan bahwa Indonesia tak pernah mengakui klaim sepihak oleh China tersebut. "Indonesia tidak pernah akan mengakui nine-dash line, klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok. Karena tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama UNCLOS 1982," kata Retno kepada Kompas.com beberapa waktu lalu. Namun pendapat ini sangat berbeda dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang tidak tegas dalam menindak kasus di Natuna. Buktinya, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dinilai bersikap lunak dalam insiden kapal China yang wara-wiri di perairan Natuna. Prabowo mengatakan pemerintah akan menempuh jalan yang baik. Sebab, bagaimanapun China adalah negara sahabat ujarnya .usai rapat di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi.(Jakarta, Jumat (3/1/2020). Ditambah lagi, pendapat dari Menko Kemaritan dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, beliau meminta ketegangan dengan China karena masalah Laut Natuna tak perlu dibesar besarkan. Dia justru ingin Indonesia berintroveksi diri . “Sebenarnya enggak usah dibesar besarin lah . kalau soal kehadiran kapal itu, sebenarnya kan kita juga kekurangan kemampuan kapal untuk melakukan patroli di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) kita itu,” kata Luhut di kantornya pada jumat ((3/1/2020) JAKARTA, KOMPAS. TV).
Perbedaan respon yang ditunjukkan oleh pemerintah menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia memang tak acuh dalam menyelesaikan perkara yang terjadi ditengah umat. Sistem kapitalis-sekuler yang diambil adalah momok dari setiap masalah yang terjadi di Indonesia. Masuknya kapal China yang mengklaim kedaulatan Natuna menunjukkan bahwa sebenarnya Indonesia telah kehilangan kedaulatannya di mata dunia. Sikap lunak yang ditunjukkan pemerintah dalam merespon kasus natuna bukan tanpa alasan. Jika menelisisk lebih jauh, China merupakan investor terbesar bagi Indonesia. Hal ini menyebabkan Indonesia tidak mampu bersikap tegas karena takut China akan menarik pinjaman-pinjaman yang telah mereka tanamkan demi memenuhi kebutuhan para penguasa.
Ironis sekali, sebagai negara yang berdaulat tidak sepantasnya Indonesia takut terhadap ancaman dari luar baik pihak asing maupun aseng. Jika pemerintah berani mengambil sikap tegas dengan memboikot berbagai barang hasil buatan China maka China tidak akan berani memberi ancaman kepada Indonesia disebabkan mereka akan kehilangan konsumer terbesar yang notabene adalah pasokan dana terbesar bagi trademark China.
Natuna bukan kasus pertama yang melonggarkan kedaulatan NKRI. Jauh sebelum China mengklaim Natuna, Indonesia sudah terpecah-belah. Terpisahnya Papua menjadi Papua Nugini, Timor-timor yang menarik diri menjadi Timor Leste dan berbagai daerah lain yang menuntut kedaulatan juga bukti bahwa Pemerintah Indonesia tidak serius melindungi kekuasaan negara.
Ada Apa di Natuna ?
Membicarakan Natuna akan terpikir sebuah kabupaten yang terdiri dari ribuan pulau terletak di ujung utara Indonesia dengan jarak lebih dari 1.250 km dari Jakarta. Kepulauan Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di kawasan Asia Pasifik bahkan di Dunia. Di dalam perut buminya juga bergelimang minyak. Tak hanya itu, di kepulauan yang terletak di teras depan Negara Indonesia ini menghampar aneka jenis terumbu karang yang sangat memukau.
Banyak pantai dan pulau yang masih “perawan” di Natuna yang super kaya dengan kandungan gas maupun minyak bumi. Menurut data Ditjen Migas Kementerian ESDM pada Januari 2016, Natuna memiliki cadangan gas alam terbesar di Indonesia, yakni mencapai 49,87 persen. Bahkan disebutkan oleh para ahli, cadangan gas alam Natuna ini adalah yang terbesar di dunia. Kekayaan alam itulah yang membuat banyak kapal asing ilegal mengintai Natuna.
Inilah mengapa kaum muslimin, khususnya di Indonesia, memerlukan perisai politik yang sejati. Hal ini demi menjaga jengkal demi jengkal tanah negeri muslim terbesar di dunia ini. Agar negara-negara penjajah kapitalis itu tak seenaknya menciptakan alasan ideologis demi melanggar batas teritorial politik negeri-negeri muslim.
Rasulullah ï·º bersabda:
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا الْØ¥ِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)MediaUmat.07/01/2020
Khilafah Sebaik-baik Penjaga Kedaulatan Negara.
Demokrasi-kapitalis yang bercokol dalam tubuh negara, tidak akan mampu membebaskan negara dari cengkeraman asing. Hal ini dikuatkan dengan pepatah tua,“sahabat bisa menjadi musuh, musuh bisa menjadi sahabat”, dan bagi mereka adalah untung dan rugi semata. Berbeda halnya dalam islam yang menjadikan kedaulatan negara ditangan syara maka segala tindakan yang di lakukan seorang khalifah haruslah sesuai dengan hukum syara.
Islam menetapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melakukan tindakan makar terhadap negara (bughat). Al-Muhâmî al-‘Alim Syaikh ‘Abdurrahman al-Mâliki, dalam kitabnya Nidzam al ‘uqubatt, menjelaskan bahwa sanksi bagi mereka adalah had. Sanksi had ahl al baghy adalah diperangi, sebagai pelajaran (qital ta ‘dit) bagi mereka, bukan diperangi untuk dihabisi (qital harb) (al-Mâliki, Nidzam al ‘uqubat, hal. 79).
Jika mereka adalah non-Muslim (ahlil dzimmah), maka mereka akan diperangi untuk dihabisi (qital harb). Hukum memerangi mereka ini pun statusnya sama dengan jihad fi sabilillah, karena kelompok yang diperangi adalah orang-orang kafir, meski asalnya adalah ahlil dzimmah. Dengan tindakan mereka ini, dengan sendirinya, mereka juga telah kehilangan dzimmah -nya dari kaum Muslim (negara Khilafah). dikutip dari tulisan KH. Hafidz Abdurrahman, M.A.
Namun, ketiadaan negara islam hari ini membuat kita tak mampu untuk melawan negara asing yang hendak mengklaim bagian dari negara muslim sebagai milik mereka. Oleh karena itu kaum muslim saat ini sangat membutuhkan daulah islam (Khilafah). Sebab hanaya Khilafahlah yang mampu menjaga kedaulatan negerinya serta menjaga segala SDA yang telah Allah anugrahkan kepada negeri-negeri muslim yang ada di dunia. Wallahu a’lam.
Post a Comment