Oleh: NELLY, M.Pd
Pegiat Dakwah, Alumnus Magister Manajemen Pendidikan Islam IAIN Palangka Raya, Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Kemasyarakatan
Memasuki awal tahun 2020, dengan berbagai catatan refleksi bahwasannya Indonesia tidak dalam keadaan baik-baik saja, kita liat arah kebijakannya semakin menguatkan cengkraman hegemoni asing dan aseng di bumi pertiwi ini. Begitu banyak problem bangsa yang tak kunjung usai seperti kasus korupsi yang terus menggurita, ekonomi yang anjlok, angka kemiskinan yang semakin meningkat, grafik pengangguran juga meningkat tiap tahunnya, maraknya kasus LGBT, Sumber Daya Alam yang di keruk oleh para korporat, carut marutnya dunia pendidikan, yang ini semua adalah persoalan pelik bangsa ini dan sampai sekarang belum terlihat adanya solusi untuk mengatasinya, bahkan diawal tahun ini rakyat kembali harus menerima kesengsaraan akibat kebijakan rezim dengan dicabutnya subsidi gas 3kg, naiknya iuran BPJS kesehatan 100%, naiknya tarif tol, naiknya cukai rokok, dicabutnya subsidi listrik, ruas jalan tol dijual, beberapa bandara dikelola oleh asing, dan jual-beli online akan dikenai pajak. Alih-alih menyelesaikan problem bangsa ini dan mencari solusinya, yang terjadi malah pemerintah mengalihkan dan memfokuskan kerja para menterinya untuk memberantas radikalisme yang di jadikan kambing hitam persoalan bangsa.
Sejumlah pengamat dan para tokoh nasional pun bersuara, salah satunya datang dari Dr. Rizal Ramli, yg mengatakan bahwa isu radikalisme akan terus di goreng dan di mainkan pemerintah untuk menutupi anjloknya perekonomian bangsa dan ketidakbecusan mereka dalam mengelola negeri ini. Hal senada juga di sampaikan oleh penelit LIPI ibu Siti Zuhro, bahwa hendaknya pemerintah jangan mengalihkan masalah utama bangsa dengan isu Radikalisme, tapi fokuslah dengan hal yang urgent dan menjadi permasalahan serius bangsa ini yaitu ketimpangan sosial ekonomi, dimana 1% orang kuasai 50% aset nasional. Semakin kesini wilayah Republik Indonesia mulai terkikis oleh banyaknya kepentingan yang hinggap. Mulai dari kepentingan kepemilikan, kepentingan keamanan, bahkan kepentingan keselamatan. Ekonomi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kepentingan elit-elit kekuasaan.
Bahkan tak tanggung-tanggung ketua PBNU Said Aqil pun mulai angkat bicara bahwa indonesia sedang dikuasai oleh sekelompok orang yang punya uang/modal. Rentetan kasus dan peristiwa yang terjadi selama kurun waktu 1 tahun terakhir semakin menunjukkan kepada masyarakat dan dunia luar bagaimana sebenarnya pengelolaan negara ini dilakukan dan bagaimana para birokrat negeri ini bekerja. Semua kejadian yang menimpa bangsa ini merupakan skenario global untuk menciptakan ketergantungan ekonomi negara dunia ketiga dan terbelakang melalui politik “utang” kepada negara adikuasa. Akhirnya, negara penerima utang itu menjadi target yang lunak ketika negara kreditor membutuhkan apa yang dikehendakinya, seperti pangkalan militer, suara di PBB, serta akses yang mudah untuk mengeksplorasi sumber daya alam yang dimiliki negara penerima utang. Jadi, sangat terlihat bahwa kebijakan dan arah tata kelola negeri ini adalah untuk kepentingan korporatokrasi. Korporatokrasi hadir dalam sebuah system yang tersusun secara sistematis yang menguasai berbagai unsur politik (kekayaan, militer, media massa dsb) untuk mengumpulkan dan mengakumulasi sumber daya alam secara terus-menerus. Pada prinsipnya korporatokrasi bekerja hampir sama dengan system kapitalisme bekerja. Tetapi korporatokrasi tidak hanya menggunakan modal yang dimilikinya untuk terus melakukan pengakumulasian modalnya menjadi lebih banyak, lebih lanjut korporatokrasi juga menggunakan elemen-elemen lain selain elemen kapitalisme itu sendiri. Pokok kekuatan korporatokrasi adalah korporasi.
Menurut Bapak Amien Rais, korporatokrasi memiliki 7 unsur, yaitu: korporasi-korporasi besar; kekuatan politik pemerintahan tertentu, terutama Amerika dan kaki tangannya; perbankan internasional; kekuatan militer; media massa; kaum intelektual yang dikooptasi; dan terakhir yang tidak kalah penting adalah elite nasional Negara-negara berkembang yang bermental inlander, komprador atau pelayan. Konsep korporatokrasi ini yang membuat pemerintah dalam banyak hal bekerja di bawah tekanan, tunduk kepada, dan sekaligus melayani kepentingan “lain” yang besar. Dengan kata lain Korporatokrasi adalah perselingkuhan paling haram yang terjadi antara birokrasi dan korporasi. Celakanya, ini adalah model standar sebuah negara dalam kapitalisme.
NEGARA KORPORATOKRASI MENGABAIKAN KEPENTINGAN UMAT
Negara model seperti ini menyerahkan program-program pembangunannya pada korporasi. Keuntungan menjadi orientasi pembangunannya. Menurut Busro Muqoddas, mantan pimpinan KPK, Indonesia telah beralih dari demokrasi ke negara korporatokrasi karena hampir seluruh program pembangunannya menggandeng swasta. Maka jangan heran jika pemerintah menggenjot habis investasi. Bahkan Pemerintah mewacanakan menghapus AMDAL dan IMB demi kelancaran investasi. Artinya, kerusakan lingkungan dan jeritan warga tak dipedulikan sama sekali. Bentuk negara korporatokrasi sedang menjadi tren seiring dengan kapitalisme global yang mencengkeram dunia. Korporasi membutuhkan sejumlah kebijakan yang mampu memuluskan dan mengamankan bisnis mereka. Sementara penguasa membutuhkan dana besar dalam menjalankan program-program pembangunannya. Terciptalah simbiosis mutualisme. Bagaimana dengan rakyat? Negara hanya berfungsi sebagai regulator, pengurusan kebutuhan publik diserahkan pada korporasi/swasta.
Tugas negara bukan lagi melayani kebutuhan rakyat tapi untuk melayani kepentingan korporasi. Caranya dengan menyiapkan aturan yang bisa menjauhkan konflik antara rakyat sebagai konsumen dan swasta sebagai operator penyedia layanan. Akhirnya rakyat dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhannya sendiri di tengah kebijakan yang sama sekali tak menguntungkan rakyat. Sektor-sektor yang memenuhi hajat hidup rakyat dibangun bukan berlandaskan pelayanan penguasa terhadap rakyatnya.
Sebaliknya, pemerintah mengelola dan menggandeng swasta semata untuk mendapatkan keuntungan. Seperti yang dikatakan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin baru-baru ini, saat menanggapi kerugian salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena tarifnya yang murah. Sungguh, pernyataan Wapres ini adalah bukti bahwa pengelolaan air oleh negara untuk rakyat adalah transaksi jual beli. Bukan bentuk kepengurusan sebuah negara untuk kemaslahatan rakyatnya. Negara menjual air, sedangkan rakyat membeli air, jadi harus ada benefit di dalamnya. Semakin terlihat bentuk korporatokrasinya saat Wapres memberikan solusi atas permasalahan PDAM dengan menggandeng lebih erat pihak swasta, dengan alasan agar pelayanan semakin prima. Korporasi dan negara malah bekerja sama untuk menjual air kepada rakyat Indonesia. Ini baru air, bagaimana sektor lainnya? Sayangnya, nasibnya serupa. Listrik, transportasi, pendidikan, kesehatan, pangan, dan seluruh sektor yang harusnya dibangun untuk mengurusi kebutuhan umat, justru menjadi ajang korporasi dan negara untuk mencari keuntungan dengan menjualnya kepada rakyat.
Artinya di sini negara telah berlepas tangan terhadap kepengurusan rakyatnya. Contoh lain pada kasus impor beras, impor jagung, impor garam, impor gula dll, sangat memprihatinkan, Indonesia sebagai negeri yang subur, setelah lebih dari 75 tahun Indonesia merdeka, terpaksa menjadi pengimpor. Pertimbangan yang tidak jelas dari pemerintah membuat rakyat malah menjadi korban. Alih-alih lebih murah, harga beras, garam, gula, dan lain-lainnya itu justru melambung tinggi menjadi dua kali lipat harga sebelumnya. Di sini yang lain, cengkeraman hegemoni peradaban barat demokrasi-sekuler terhadap negeri ini dan berbagai negeri Muslim lainnya memberikan ruang kepada korporasi mengeruk kekayaan alam kita, Indonesia lebih dari 70% sumber daya alam dikuasai asing. Kondisi semakin parah karena situasi rezim hari ini yang pro asing dan aseng dan ini terlihat dalam paket kebijakan ekonomi ke-16 yang diluncurkan 16 November 2018 lalu, bahwa Rezim Jokowi mengizinkan asing menguasai bahkan hingga 100 persen saham di 54 industri.
SEBUAH PARADOKS
Saat ini, korporatokrasi merupakan duri terbesar dalam daging bangsa Indonesia. Lambat laun, bisa jadi penyakit bangsa ini menjadi bertambah parah seandainya kita tetap menjadi orang yang tak acuh terhadap negeri ini. Ditengah himpitan persoalan dan anjloknya perekonomian serta di klaimnya perairan Natuna di kepulauan Riau sebagai wilayah milik China, namun menjadi unik ketika di awal tahun ini, pemerintah “merayakan” keberhasilannya dalam memimpin negeri ini dengan menyampaikan sejumlah klaim keberhasilan kinerja selama satu tahun terakhir, Mulai dari kinerja pemberantasan korupsi, tangkap tangan, pesatnya infrastruktur, turunnya angka kemiskinan, hingga klaim kembalinya mayoritas saham Freeport ke pangkuan Ibu Pertiwi. Padahal terpampang nyata kegagalan pemerintah dalam mengelola negara ini, dimana sejatinya memang karena salah tata kelola dengan diterapkannya sistem aturan yang membuat bangsa ini sulit keluar dari problem bangsa. Semakin kesini terlihat jelas arah kebijakan pengelolaan Negara yang lebih mementingkan korporasi dari pada rakyat. Patut menjadi perhatian bersama bahwa korporatokrasi yang demikian adalah sebuah konsekuensi dari sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis.
Sejak dari asasnya, kedua sistem ini telah menjadikan posisi manusia sebagai pengatur independen segala hal yang berkaitan dengan hidup sehari-hari termasuk dalam aktivitas pemerintahan dan pencarian harta kekayaan. Konsep sekularisme yang dipegang oleh demokrasi kapitalisme ini menjauhkan peran Tuhan dalam kehidupan. Tuhan masih diyakini keberadaannya namun penempatannya hanya khusus saat menjalankan ibadah ritual semata. Walhasil tata kelola apapun, aturan manusialah yang digunakan. Bahayanya, ketika aturan tersebut lahir dari manusia yang sifatnya serba kurang maka aturan yang dibuat akan menguntungkan satu pihak dan mematikan pihak yang lain. Demikianlah yang terasa dalam korporatokrasi saat ini. Terjadi simbiosis mutualisme antara pengusaha dan penguasa. Para korporat (para pengusaha kaya raya atau konglomerat) memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain dalam suatu negara.
PENGELOLAAN NEGARA YANG MENSEJAHTERAKAN
Prediksi kedepannya jika negeri ini masih mempertahankan sistem rusak kapitalisme yang melahirkan korporatokrasi ini maka yang akan terjadi adalah: 1). Sumber daya alam habis dijarah asing dan aseng, 2). Angka pengangguran yang tinggi pada SDM (sumber daya manusia) lokal, karena pasar kerja dikuasai SDM asing dan aseng, 3). Revolusi 4.0 menjadi ‘wasilah’ (alat) peradaban barat untuk memperpanjang penjajahan di negara berkembang, 4). Jeratan utang (debt trap) yang tidak bisa dilepaskan, sehingga ekonomi Indonesia akan didikte asing & aseng, 5). Anjloknya rupiah akan terus berulang, selama ekonomi dunia tidak stabil. Adapun dampak yang terasa langsung di masyarakat adalah hidup terasa sulit. Karena harga terus naik (inflasi permanen), kelangkaan barang, dan pengangguran yang meningkat.
Ketidakadilan yang ditimbulkan sistem kapitalisme inilah yang berusaha dihilangkan oleh Islam. Sistem Islam menjadikan Tuhan ada dalam setiap aktivitas, dalam urusan ibadah, maupun dalam urusan publik sehari-hari. Walhasil, segala aturan yang digunakan untuk mengelola kehidupan, dari urusan pribadi hingga urusan negara, semuanya disandarkan pada apa yang diatur rinci berdasarkan tuntunan agama. Ketaqwaan individu sebagai pilar awal penyangga sistem akan menjadikan orang takut aji mumpung. Takut memanfaatkan jabatan untuk mengokohkan korporasinya sebab akan ada hisab di kemudian hari. Kontrol masyarakat sebagai pilar kedua, akan memantau kekayaan alam yang masuk pada kantong yang tepat sesuai dengan dimensi kepemilikannya. Dan pilar yang ketiga adalah adanya sanksi yang berat bagi siapa saja dari birokrat atau pegawai pemerintahan yang tidak amanah dalam jabatannya. Berbeda dengan konsep negara korporatokrasi yang memposisikan perannya sebatas regulator, sistem pemerintahan Khilafah memposisikan perannya sebagai pelayan bagi umat. Posisi ini telah dijelaskan dalam hadis bahwasanya seorang Khalifah adalah pengurus umat. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Makna raa’in telah digambarkan dengan jelas oleh Umar bin Khaththab ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan dua anaknya yang kelaparan. Begitu pula yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorang pun yang berhak menerima zakat. Dalam Islam haram hukumnya penguasa berlepas tangan terhadap kepengurusan umat, seperti yang terjadi saat ini. Apalagi kebijakannya prokapitalis dan menzhalimi umat.
Wallahu A’lam
Post a Comment