Mendudukkan Makna Toleransi Beragama

Oleh : Sinta Nesti Pratiwi
(Pena Muslimah Konawe)

Bulan Desember tanggal 25 merupakan salah satu perayaan besar bagi umat Nasrani yaitu Hari Natal. Perayaan tersebut begitu meriah diselenggarakan di berbagai penjuru dunia, tidak ketinggalan juga di Indonesia.

Dilansir dari Detik.com, Putri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid, berbicara mengenai larangan perayaan Natal di Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar). Menurut Yenny, negara sudah menjamin hak warga negara dalam memeluk agama. Ia mengatakan bahwa hal itu sudah jelas melanggar UU. Di Indonesia semua setara. Konstitusi sudah menjamin kesetaraan, hak setiap warga untuk merayakan, untuk beribadah sudah dijamin oleh UU (22/12/2019).

Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Menteri Agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi. Ia menegaskan bahwa mengucapkan selamat Natal kepada penganut Nasrani tidak bakal melunturkan akidah seorang Muslim. 

Tak jauh beda, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan pandangannya. Sebagaimana Ketua Komisi Infokom MUI Pusat Masduki Baidlowi mengatakan, ada pendapat yang menyatakan ucapan selamat Natal dari seorang Muslim tidak masalah jika tidak diniatkan secara keimanan. Jadi, kata Masduki, semua kembali ke niat umat Muslim soal pengucapan selamat Natal (Detik.com, 19/12/2019).

Sementara itu, Ustaz Abdul Somad memiliki pandangan sendiri terkait ucapan natal dari seorang muslim. Dalam sebuah video yang diunggah akun Fodamara TV, UAS menyampaikan konsekuensi dari ucapan tersebut, yang mana bisa memengaruhi keyakinan atau akidah seorang muslim tatkala dialamatkan kepada nonmuslim yang merayakan Natal.

Ya, penting untuk mendudukkan makna toleransi antar umat beragama agar kondusivitas tetap terjaga tanpa harus mencederai keyakinan masing-masing. Sebagaimana syariat memandang bahwa sikap toleransi merupakan sikap menenggang (menghargai, membiarkan, atau membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan lain sebagainya) yang berbeda dengan pendirian kita sendiri. Kita memberikan toleransi terhadap agama lain, berarti kita membiarkan penganut agama lain untuk menjalankan aktivitas agama mereka.

Perez (2003), dalam bukunya How the Idea of Religious Toleration Came to the West memberi batas toleransi sebagai sikap menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lainnya yang berbeda. Jadi inti makna toleransi yang dikenal juga di dalam agama kita, yaitu agama Islam, maknanya adalah membiarkan, menghormati, dan tidak mengganggu penganut agama lain.

Jika pun ada pendapat sebagian orang bahwa tidak mengapa  memberi ucapan selamat hari raya kepada umat non-Mulsim dengan mengatasnamakan toleransi beragama, tentu perlu dipertanyakan pendapat dari manakah itu? Apakah berasal dari syariat-Nya? Sebab, dalam Islam sudah ada aturan berkenaan bagaimana menyikapi perayaan hari besar umat lain/non-Muslim.

Sebagaimana ijma’ haramnya mengucapkan selamat pada hari raya non-Muslim terdapat dalam perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah berikut ini, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama."

Rasulullah saw juga memberi peringatan bagi orang yang tasyabuh (meniru) tradisi agama lain. Nabi Muhammad saw. bersabda yang artinya, “Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (H.R. Abu Daud).

Pun, sebagaimana dalam Al-Qur’an surah Al-Kafirun ayat 6 yang artinya, “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”.

Kalau dalam pandangan Islam tidak membenarkan ucapan bagi hari raya non-Muslim, lalu mengapa masih banyak kaum Muslim yang melakukan dengan alasan toleransi terhadap umat non-Muslim? Sebab, jangan sampai tergelincirnya lisan dapat membatalkan akidah (keyakinan) meski itu hanya berupa ucapan saja yang terkadang dianggap sepele. 

Jika dicermati secara politis, yang berkembang saat ini adalah toleransi model Barat, bukan toleransi ala Islam. Menurut Prof. Muhammmad Ahmad Mufti dalam kitabnya Naqdu at-Tasâmuh al-Librâli (Kritik Terhadap Toleransi Liberal), ide toleransi Barat didasarkan pada 3 (tiga) gagasan pokok: sekularisme (al-lâdiniyyah), relativisme (an-nisbiyyah) dan pluralisme-demokrasi (at ta’addudiyah wa ad dimuqrathiyyah).

Sekularisme menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya toleransi. Sebabnya, kalau agama campur tangan dalam urusan masyarakat, yaitu negara menggunakan suatu agama untuk mengatur masyarakat, maka yang terjadi adalah dominasi satu agama atas agama lain. Dominasi satu agama ini tidak akan dapat dihentikan, kecuali dengan jalan memisahkan agama dari negara.

Relativisme menjadi konsekuensi logis sekularisme. Relativisme merupakan pandangan bahwa kebenaran masing-masing agama itu relative. Tidak ada kebenaran sebuah agama yang absolute. Karena itu tidak boleh ada pemaksaan suatu keyakinan agama kepada penganut agama lain. Pandangan ini tak mungkin ada, kecuali setelah ada sekularisme, yaitu setelah agama dipisahkan dari urusan negara.

Adapun pluralisme-demokrasi, merupakan cara pandang liberal terhadap kemajemukan masyarakat baik kemajemukan secara agama, politik, budaya, dan asal usul, sedemikian sehingga masing-masing kelompok dianggap mempunyai hak legal untuk eksis di tengah kemajemukan yang ada.

Dengan memahami tiga ide dasar itu, kita bisa menjelaskan dan mendudukkan berbagai alasan yang sering dipakai untuk menjustifikasi toleransi ala Barat yang ada saat ini. Misalnya kalau dikatakan toleransi perlu agar “tidak boleh satu ajaran mendominasi”, ini berarti akar idenya adalah relativisme agama. Kalau dikatakan bahwa “harus menghormati agama lain” atau “masyarakat ini beragam bukan hanya Islam” maka akar idenya adalah pluralisme-demokrasi. Begitu seterusnya.

Dengan demikian, sebelum melakukan sesuatu baiknya mengetahui terlebih dahulu bagaimana syariat memandang berkaitan dengan apa yang akan kita lakukan. Karena umat Islam sejatinya telah memiliki pedoman yang dijadikan rujukan dalam bertindak. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post