Oleh : Anhy Hamasah Al Mustanir
(Pemerhati Media)
Sejumlah daerah di Indonesia mulai terendam banjir. Skala banjir di setiap daerah berbeda – beda karena curah hujan yang berbeda pula . Salah satu daerah banjir terparah terdapat di jantung ibukota yakni di Jakarta. Seperti dilansir dimedia RMOL.ID jakarta dilanda hujan deras sejak selasa sore (31/12) hingga Rabu pagi (1/1). Akibatnya, hampir seluruh wilayah ibukota lumpuh karena terendam banjir. Tercatat ada 63 titik banjir yang menyebar di kawasan Jakarta. Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis data terbaru sampai dengan Kamis (2/1) pukul 21.00 wib jumlah korban meninggal akibat banjir di kawasan Jakarta, Bogor, Depok Tanggerang dan Bekasi (Jabodetabek) sebanyak 30 orang. Peristiwa inipun dijadikan segelintir orang untuk menyalahkan salah satu pihak bahwa dialah yang menyebabkan terjadinya banjir tersebut.
Sejalan dengan itu, yang perlu dilakukan bukanlah dengan cara menyalahkan salah satu pihak karena semua itu tidak akan mendapatkan solusi apapun kecuali hanya perdebatan dan klaim mengklaim dan kemudian berakhir harapan kosong. Oleh karena itu, permasalahan banjir tidak akan terselesaikan jika bukan berasal dari pemberi solusi yang hakiki.
Oleh sebab itu, pemberi solusi hakiki hanya berasal dari Sang Pencipta yakni Allah SWT melalui apa – apa yang terkandung dalam syariatNya. Ketika kita mengatakan bahwa solusinya adalah syariat maka akan banyak yang menanggapi secara sinis. Bahkan mereka akan menuduh bahwa memperjuangkan syariat Islam seperti ini sebagai eskapisme yaitu lari dari kenyataan dan bukti ketidakmampuan mengatasi berbagai persoalan real.
Kenyataannya Memang, bila syariat dipahami hanya sebatas kewajiban menutup aurat, shalat, atau hukum hudud untuk pelaku kriminal maka tuduhan-tuduhan di atas agak beralasan. Pasalnya, syariat yang berkaitan dengan pakaian, ibadah, atau uqubat memang bukan solusi yang diberikan Allah untuk menghadapi banjir. Umat ini juga bukan umat Nabi Nuh a.s. yang keingkarannya akan langsung dibalas di dunia dengan azab berupa banjir. Kalau begitu, syariat yang bagaimana?
Banjir, Ulah manusia
Allah SWT menciptakan alam semesta termasuk bumi ini dengan sangat sempurna. Dilekatkan pula pada penciptaan alam semesta, bumi dan seisinya yaitu aturan-aturan, siklus, dan kaidah-kaidah kausalitas yang pasti terjadi. Itu merupakan ‘sunnatullah’ yang tidak berubah-ubah dan bersifat fixed (tetap). Allah SWT berfirman:
“Sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah; sekali-kali kamu tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu. (TQS Fathir : 43).”
Oleh karena itu, secara alami alam semesta, bumi dan seisinya berjalan secara harmonis mengikuti hukum alam atau sunnatulah yang telah dilekatkan Allah SWT dalam penciptaan. Sayangnya, manusia kemudian melakukan ‘intervensi’ terhadap keharmonisan bumi dan seisinya, entah itu dengan pengrusakan dan penggundulan hutan, penataan tata kota yang keliru, pembuangan limbah industri, transportasi, nuklir, limbah militer, limbah rumah tangga, dan lain-lain. Sehingga mengakibatkan keseimbangan ekosistem terganggu, dan membawa implikasi yang amat dahsyat. Misalnya saja, berkurangnya lapisan ozon yang melindungi makhluk hidup dari serangan sinar UV overdosis dari matahari, penyakit, kualitas udara dan air terganggu, termasuk banjir.
Berbagai fenomena alam yang menimpa negeri ini tidak lepas pula dari campur tangan manusia yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Allah SWT berfirman:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (TQS ar-Ruum: 41).”
Sehingga makna ayat tersebut, menegaskan bahwa akibat ulah manusia, bumi dan seisinya menjadi tidak terkendali. Dan semua kejadian itu terjadi agar manusia sadar dan kembali ke jalan yang benar. Yakni ke jalan Islam karena pada hakikatnya tidak ada kebenaran kecuali kebenaran bersumber dari Islam.
Syariat Sebagai Solusi
Harus disadari bahwa syariat Islam adalah atau seruan Pembuat Hukum (yaitu Allah dan Rasul-Nya) yang menyangkut perbuatan-perbuatan hamba-Nya (manusia), baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliknya, dengan dirinya sendiri, serta dengan manusia lain, termasuk terhadap lingkungan. Singkatnya, syariat Islam itu berisi sekumpulan peraturan, undang-undang, hukum, yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu perkara pun yang lolos dari sergapan syariat Islam, karena kesempurnaan syariat ini mengharuskan cakupannya bersifat kaffah.
Syariat Islam juga ditawarkan kepada umat manusia sebagai penjelas, rahmat, kabar gembira, termasuk solusi bagi seluruh problem manusia. Aturan ini diciptakan oleh Zat Yang tidak memiliki kelemahan dan juga tak punya kepentingan. Oleh sebab itu, aturan ini pasti sempurna. Allah SWT berfirman:
“Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (TQS an-Nahl: 89).”
Dengan demikian, akibat ulah manusia yang tidak mengikuti aturan-aturan yakni perintah dan larangan Allah SWT dan Rasul-Nya, manusia menerima akibat dari perbuatan-perbuatannya, termasuk bencana banjir. Lalu syariat macam apa yang berhubungan dengan-apalagi mampu memberikan-solusi terhadap masalah banjir?
Syariat Ekonomi
Salah satu cabang syariat terpenting yang saat ini banyak dilupakan adalah syariat ekonomi, terutama perkara yang menyangkut kepemilikan dan tanah. Islam membagi kepemilikan menjadi kepemilikan umum, pribadi, dan negara. Kepemilikan umum di antaranya mencakup sumber alam-seperti minyak bumi, tambang emas, perak, tembaga, dan lain-lain serta benda-benda yang pembentukannya tidak mungkin dimiliki individu seperti masjid, jalan raya dan juga benda-benda vital yang dibutuhkan dan dicari-cari oleh manusia dan memiliki jumlah kandungan (deposit) yang amat besar, misalnya sumber mata air. Rasulullah saw. bersabda:
“Manusia berserikat atas air, api dan padang rumput. (HR Ahmad dan Abu Dawud).”
Kepemilikan umum ini ti dak boleh dialihkan oleh negara dengan menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain atau menjadi milik pribadi, baik swasta nasional ataupun asing. Pengelolaannya diatur oleh negara, sebagai wakil rakyat karena tidak mungkin masing-masing individu rakyat beramai-ramai terjun mengatur dan mengelola kepemilikan umum tersebut. Oleh karena itu, kawasan-kawasan vital dan berfungsi sebagai penyeimbang dalam siklus air, daerah resapan air yang pada umumnya berupa bukit-bukit, hutan, gunung, pantai, daerah aliran sungai tidak boleh diubah menjadi milik pribadi. Negara tetap mengontrol daerah-daerah tersebut sebagai daya dukung alam terhadap populasi manusia. Negara tidak berhak mengubah kepemilikan umum yakni milik masyarakat menjadi milik individu, apapun alasannya.
Dengan demikian, daerah-daerah seperti gunung, perbukitan, hutan-hutan, rawa-rawa, daerah aliran sungai, dan sejenisnya wajib dikelola oleh negara untuk digunakan bagi kemaslahatan rakyat. Salah satu bentuk kemaslahatan itu adalah pengelolaan daerah-daerah tersebut secara profesional sebagai daya dukung alam bagi kesejahteraan umat manusia dan keseimbangan lingkungan.
Selain itu, Islam memiliki seperangkat aturan yang bersifat spesifik dan berkaitan dengan tanah. Islam mendorong umat manusia untuk mengelola tanah secara produktif. Tanah-tanah terlantar (yang dibiarkan tidak tergarap, meskipun berpotensi subur) akan menjadi hak milik si penggarap. Syaratnya, selama tanah tersebut dikelola dan digarap. Rasulullah saw. bersabda:
“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah itu adalah miliknya. (HR al-Bukhari).”
Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab r.a. yang pernah mengeluarkan keputusan yang mengalihkan kepemilikan tanah-tanah pertanian yang dibiarkan pemiliknya hingga terlantar selama tiga tahun menjadi milik siapa saja yang sanggup menghidupkan atau mengelolanya. Ini menunjukkan bahwa perhatian Daulah Islamiyah saat itu terhadap produktivitas tanah sangat besar. Tentu saja, kebijakan semacam itu sangat bermanfaat dalam memotivasi rakyat untuk bekerja produktif, mengatasi pengangguran, dan berdampak pada pemerataan harta melalui pembagian tanah-tanah terlantar.
Lebih dari itu, jika seseorang memiliki tanah pertanian berlebih, Rasulullah saw. memberinya dua pilihan: tetap mengupayakan untuk menggarapnya atau memberikan begitu saja kepada saudaranya sesama Muslim yang sanggup menggarapnya dan tanah tersebut akan menjadi miliknya. Rasulullah saw. bersabda:
“Barangsiapa yang memiliki tanah (lahan pertanian), hendaknya ia menggarapnya atau memberikannya kepada saudaranya. (HR al-Bukhari).”
Itulah konsep dasar yang ditawarkan oleh syariat Islam. Jadi, hukum-hukum Islam tentang tanah amat spesifik, bukan hanya ditujukan untuk mengatasi ketenagakerjaan, tetapi juga penyeimbang ekosistem. Akan tetapi, yang paling penting, pengelolaan tanah ditujukan untuk mendukung populasi manusia berupa hasil-hasil produksi berbentuk pangan, seperti padi, gandum, sagu, jagung dan lain-lain. Itu diperoleh melalui pemberdayan tanah-tanah terlantar maupun tanah-tanah potensial untuk pertanian yang tidak digunakan untuk kawasan permukiman ataupun kawasan industri.
Masalahnya, apakah negara (terutama penguasanya) maupun sebagian besar kaum Muslim mengetahui dan menyadari hukum-hukum Islam yang menyangkut pertanahan ini, yang secara langsung berhubungan dengan dampak-dampak negatifnya seperti banjir serta tanah gundul dan kering?
Jika demikian halnya, mengapa kita masih enggan mengambil serta menerapkan sistem hukum Islam, termasuk syariat Islam tentang pertanahan?
Menuju Penerapan Syariat
Penerapan syariat Islam tidak bisa terlaksana tanpa adanya political will dari penguasa dan tanpa disandarkan pada keinginan masyarakat. Tanpa itu, mustahil sistem hukum Islam dapat ditegakkan kembali di negeri-negeri Islam.
Di samping itu, keinginan dan perjuangan untuk menerapkan kembali sistem hukum Islam tidak boleh dilandasi oleh faktor-faktor pertimbangan kemaslahatan ataupun kemadaratan. Pernyataan seperti, “Kita harus menerapkan syariat Islam karena syariat Islam akan mampu mensejahterakan umat manusia,”artinya umat Islam bersedia menerapkan sistem hukum Islam hanya melihat adanya implikasi memperoleh kekayaan atau kesejahteraan dan itu tidak dibenarkan.
Kaum Muslim wajib menerapkan kembali sistem hukum Islam, karena memang Allah SWT dan Rasul-Nya telah mewajibkan hal itu. Siapa pun orang yang mengaku Muslim wajib terikat dengan syariat Islam dan harus menerapkan sistem hukum Islam tanpa melihat lagi implikasi maupun komentar orang banyak.
Begitu pula pernyataan bahwa sistem hukum Islam merupakan sistem hukum alternatif yang layak dicoba dan diterapkan setelah sistem hukum kapitalis dan sosialis-komunis gagal. Pernyataan semacam ini juga tidak layak dilontarkan oleh seorang Muslim. Sebab, pernyataan tersebut menyiratkan bahwa penerapan sistem hukum Islam terpaksa dilakukan karena sistem-sistem hukum lain terbukti gagal dan tidak sanggup memberikan pemecahan yang adil. Dengan kata lain, hal itu menunjukkan suatu sikap bahwa penerapan sistem hukum Islam, bukanlah kewajiban dari Allah SWT dan Rasul-Nya, melainkan keterpaksaan, dan karena tidak ada alternatif lain. Na‘ûdzu billâh min dzâlik.
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya: “Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan taqwa, pasti Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka dustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka oleh perbuatannya” (QS al-A’râf : 96).
Post a Comment