Korupsi Sistemik, Solusinya Bikin Pesimis

Oleh: Eno Fadli
(Pemerhati Kebijakan Publik).

Baru-baru ini bola panas kasus korupsi sedang hangat diperbincangkan masyarakat. Terbongkar, beberapa kasus di negeri ini dengan jumlah fantastis. Tentu saja ini mencengangkan masyarakat. Belum usai kasus yang menjerat Jiwasraya mencuat kembali ke publik kasus Asabri, Pelindo, proyek fiktif di Kemen PUPR, suap di KPU yang melibatkan partai penguasa, kasus Garuda, dan banyak lagi kasus-kasus korupsi lainnya yang sampai saat ini belum terselesaikan.

Dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (8/1) Wahyu Setiawan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditangkap atas dugaan suap dan ditetapkan sebagai tersangka terkait penetapan anggota DPR terpilih periode 2019-2024 (Kompas.com, 10/01/2020).

PT. Asabri (Persero) belakangan ini juga menjadi sorotan, menurut  Ketua  Umum IAPI (Institut Akuntan Publik Indonesia) Tarkosunaryo di Jakarta, Senin (13/1) menilai kasus laporan keuangan Asabri dan Jiwasraya memiliki pola yang sama. Tarko menuturkan keduanya cenderung menutupi laporan keuangannya kepada publik, perihal laporan keuangan yang belum dipublikasikan karena adanya masalah keuangan pada perusahaan tersebut (Kompas.com, 13/01/2020). Ditambah cuitan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD soal dugaan kasus korupsi di Asabri senilai Rp 10 Triliun. (CNBCIndonesia.com, 13/01/2020).

Pasca OTT, KPK sebagai Komisi Pemberantas Korupsi melakukan penggeledahan sejumlah tempat terkait kasus suap terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan, penggeledahan yang dilakukan di kantor DPP PDIP urung dilaksanakan karena terhambat persetujuan Dewan Pengawas KPK, yang hingga kini belum memiliki standar operasional prosedur SOP dalam tugasnya, selain itu penggeledahan semestinya tidak diumumkan, tutur Erry Riyana Hardjapamekas. (alinea.id, 15/01/2020).

Gagalnya penggeledahan yang dilakukan KPK, tidak mampu memberantas mega korupsi, karena kinerjanya hanya berorientasi kepada penindakan dan sanksi semata. Pakar hukum Fickar Hadjar pun menilai hal ini sebagai  pelemahan KPK dan kemunduran dalam tindak pidana korupsi di negara ini. (tirto.id, 13/01/2020).

Korupsi yang kerap terjadi bukan saja pada tingkatan tertentu, tetapi sudah merambah setiap tingkatan pemerintahan. Mengingat persoalan korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang pada dasarnya bawaan sistem sekuler yang mengenyampingkan nilai-nilai agama dalam kehidupan baik itu dari segi individu, masyarakat ataupun bernegara.

Sudah berbagai cara dilakukan untuk memberantas persoalan korupsi ini, bukannya meminimalkan tetapi malah semakin merajalela. Itu artinya, demokrasi gagal menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. Tidak ada cara lain lagi untuk mengatasi persoalan korupsi ini, selain dengan Islam. 

Islam merupakan agama paripurna yang mengatur seluruh lini kehidupan, termasuk urusan pemerintahan. Syariah Islam mempunyai cara efektif untuk memberantas korupsi baik secara preventif (pencegahan) maupun kuratif (penindakan). 

Dalam sistem Islam, korupsi termasuk tindak pidana yang bisa menyeret pelakunya terkena sanksi. Oleh karena itu butuh sinergi antara individu rakyat, masyarakat dan negara. Individu rakyat terdidik dalam sistem Islam. Sehingga pandangan hidup, motivasi melakukan sesuatu semata dengan standar Islam. Individu akan memahami betul konsep rizki minallah dan menjemputnya dengan jalan yang halal, tidak melabrak rambu-rambu Syari'at. Qona'ah pada Rizki yang Allah swt berikan kepada kita, sehingga bisa mengerem segala keinginan manusia yang tidak akan pernah puas jika distandarkan pada hawa nafsu.

Pemerintahan Islam juga kelak akan memberikan gaji yang memadai kepada aparatur negara. Dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier mereka. Dalam pengangkatan aparatur negara, pemerintahan Islam menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas, dengan begitu mereka memiliki selfcontrol yang kuat. 

Untuk mengetahui aparatur negara korupsi atau tidak,  pemerintahan Islam menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan sebelum dan setelah menjabat, jika ada selisih yang tidak masuk diakal, maka negara bisa menyitanya. Pemerintahan Islam juga menetapkan hukuman keras bagi para koruptor, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Hal ini pernah dicontohkan secara konkrit pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatab. Amirul Mukminin pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif setelah dikurangi gaji selama masa jabatan, maka beliau tidak segan-segan untuk menyitanya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus yaitu Muhammad bin Maslamah yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.

Rasulullah saw sendiri pernah menyita harta yang dikorupsi pegawainya. Nabi pernah mempekerjakan Ibn Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat. Setelah selesai melaksanakan tugasnya Ibn Atabiyyah datang kepada Rosulullah saw seraya berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku. Lalu Rasulullah saw bersabda: "Seorang pegawai yang kami pekerjakan, kemudian dia datang dan berkata: “Ini ku serahkan kepadamu, sedangkan harta ini yang diberikan orang kepadaku". Apakah tidak lebih baik dia duduk (saja) di rumah bapak/ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang nyawaku ada di tangan-Nya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa unta dilehernya.(HR. Bukhari- Muslim).

Inilah cara yang dilakukan pemerintahan Islam dalam menangani persoalan korupsi dengan metode yang benar yang pernah dipraktekkan oleh Rasulullah saw dan Khalifah terdahulu. Islam memberi penanganan yang serius terhadap persoalan korupsi. Dengan sistem demokrasi yang dipakai sekarang ini, tidak akan pernah bisa memberantas penyakit yang satu ini.

Wallahu a’lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post