Oleh : Aminah Darminah, S.Pd.I.
(Muslimah Peduli Generasi)
Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 diraih dengan nyawa, darah dan air mata para syuhada. Para pahlawah rela berkorban demi kemerdekaan negeri tercinta ini, demi keberlangsungan hidup anak cucuk dimasa depan. Negeri ini diwariskan oleh para pahlawan kepada putra putri bangsa ini untuk melanjutkan estafet pembangunan, demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Tapi kini Indonesia menjadi sarang korupsi, bak jamur dimusim hujan mega kasus korupsi terus bermunculan, rakyat hanya mampu gigit jari.
Belum lama ini, dilansir dari REPUBLIKA.co.id 10 januari 2020. Mantan anggota bawaslu Agustiani Tio Fredelia ditahan KPK, kena OTT terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji pada penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024. Kasus serupa menimpa komisioner pemilihan umum Wahyu Setiawan, dugaan menerima suap, setelah berjanji untuk menetapkan caleg sebuah partai yaitu Harun Masiku, sebagai anggota DPR melalui mekanisme PAW, KPK menyebut Wahyu menerima uang senilai 600 juta dari Haris (Kompas.co.id 10 januari 2020). PT pelindo mengalami hal serupa, menurut ketua BPK Agung Firman Sampurna, empat proyek di lingkungan pelindo II merugikan negara lebih dari 6 triliun. Empat proyek itu yakni perpanjangan kontrak Jakarta Internasional Container Terminal (JICT), terminal peti kemas koja, proyek kalibaru dan juga global bond. (FAKTA KINI. 11 januari 2020).
Beragam upaya ditempuh untuk menuntaskan kasus korupsi, tetapi korupsi terus terjadi mulai kelas kakap sampai kelas teri. Mengapa korupsi terus menggurita sementara solusi untuk memnghentikan kasus korupsi terus dilakuka? Ini membuktikan bahwa solusi yang diberikan hanya tambal sulam. Wajar demikian, sebab asasnya mengalami cacat cela bawaan yaitu sekulerisme, menapikkan aspek agama dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pemerintahan. Penguasa yang memiliki jabatan, tidak menjadikan sebagai amanah yang sangat berat pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT kelak.
Sekulerisme sebagai asas hukum yang diterapkan tidak memberikan efek jera.
Solusi tambal sulam selama ini justru memberikan ruang kepada para pelaku korupsi, tanpa mampu disentuh oleh hukum. Berkaca dari para sahabat seperti Umar bin Khattab, Beliau akan menuliskan perjanjian dan mensyaratkan kepada para pejabat untuk tidak mengendarai kuda, tidak memakan makan yang berkwalitas tinggi. Tidak memakai baju yang lembut dan empuk. Tidak menutup rumahnya untuk orang-orang yang membutuhkannya.
Dalam Islam ada beberapa cara untuk menghentikan praktek korupsi agar memberi efek jera. Pertama, gaji dan santunan yang mencukupi. Islam melarang seseorang yang diamanahi tanggung jawab mengurusi urusan rakyat, memiliki aktivitas lain untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Oleh karena itu Islam memberikan santunan atau gaji yang layak, untuk keperluan hidupnya dan keluarga. Sehingga lebih fokus kepada tugas kenegaraan.
Kedua, sistem pembuktian terbalik harta pejabat. Dengan pembuktian terbalik terhadap harta para pejabat, cara ini sangat mudah untuk membuktikan dan menjerat para koruptor harta rakyat. Maka akan terlihat jika ada pejabat yang memiliki harta yang mencolok diluar gaji yang diterimanya.
Ketiga, sanksi yang setimpal. Abdurrahman al Maliki dalam nizom uqubat menyebutkan, bagi seseorang yang melakukan penggelapan uang, akan dikenakan takzir 6 bulan sampai 5 tahun. Jika jumlahnya membahayakan ekonomi negara, koruptor bisa dijatuhi hukuman mati. Dengan aturan yang tegas ini akan memberikan efek jera kepada pelaku koruptor.
Umar bin Abdul Aziz ketika dilantik menjadi khalifah, mencabut semua tanah garapan, hak-hak istimewa bani umayah. Umar bin Abdul Aziz menjual semua kekayaanya 23.000 dinar dan diserahkan kepada baitul mal. Para sahabat masa itu enggan menjadi pejabat negara, khawatir terjerumus ke dalam pebuatan haram.
Dalam islam, keimanan adalah modal utama untuk menciptakan birokrasi yang bersih. Atas dorongan ketaqwaan, bahwa seluruh aktivitas akan diminta pertanggung jawaban oleh Allah SWT.
Sudah seharusnya ummat Islam, kembali pada tatanan kehidupan bernegara yang mengaitkan semua perbuatannya, dengan perintah dan larangan Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam surat al-maidah ayat 48: "Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu".
Wallahualam.
Post a Comment